Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

Edisi 7

Edisi 8

Edisi 9

Edisi 10

Edisi 11

Edisi 12

Edisi 13

Edisi 14

Edisi 15

Edisi 16

Edisi 17

Edisi 18

Edisi 19

Edisi 20

Edisi 21

Edisi 22

Edisi 23

Edisi 24

Edisi 25

Edisi 26

Edisi 27

Edisi 28

Edisi 29

Edisi 30

Edisi 31

Edisi 32

Edisi 33

Edisi 34

Edisi 35

  Editorial

 

Belajar Agama

“Apa bedanya belajar beragama dan belajar agama?” Pertanyaan ini pernah ditanyakan oleh seorang ustadz ketika saya akan belajar mengaji padanya. Saya hanya terbengong menerima pertanyaan itu dan berpikir di mana bedanya. Agama bukan hanya dipelajari saja, tapi kita juga harus belajar mengamalkannya juga. Mungkin maksudnya seperti itu.

Ilustrasi itu saya contohkan untuk melihat apakah pelajaran agama yang sekarang ini diajarkan pada generasi muda kita telah ditujukan untuk mendidik mereka, atau hanya sekedar mengajari mereka apa yang dilarang dan diperintahkan agama saja. Atau agar paham pada agamanya, sehingga paham mengapa ini-itu dilarang dan mereka tahu konsekuensi apa yang diperbuat dan tahu apa aktivitas alternatif lain yang lebih positif mereka lakukan.

Rasanya semua umat Islam sudah tahu betul bahwa zina, narkoba, korupsi, kejahatan itu dilarang agama. Semua anak sekolah rasanya juga tahu bahwa sholat itu diwajibkan bagi umat Islam. Jika pengajaran agama hanya sekedar mengajari mereka apa yang dilarang dan diperintahkan saja, lalu apa signifikansinya? Jika pada realitasnya kita menemukan narkoba marak diperjualbelikan di sekolah-sekolah, tawuran sudah menjadi makanan sehari-hari, korupsi merajalela, seks bebas menjadi tren, lalu apa yang salah dengan pengajaran agama kita?

Melihat minimnya porsi yang diberikan sekolah untuk pendidikan agama, kita boleh saja pesimis para pelajar kita akan “belajar beragama”, bukan hanya “belajar agama”. Tetapi jika saja di setiap pelajaran dimuati nilai-nilai kegamaan; ditambah di rumah oleh orang tua diberi bimbingan keagamaan yang baik, niscaya agama bukan hanya menjadi pajangan generasi kita, tapi juga menjadi acuan moralitas yang mampu mengubah dunia menjadi beradab.

irvan alif

 

 

Kajian


 

Mendidik Diri Sendiri dengan Agama

Beberapa waktu yang lalu, dunia pendidikan diramaikan dengan perdebatan tentang Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang dusulkan oleh pemerintah kepada DPR, terutama pada pasal 13 Ayat (1). Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Berbagai kalangan mengkritisi isi pasal tersebut karena muatan agama dalam pasal tersebut dianggap tidak mewaklili pendidikan yang pluralis. Selain itu mereka berpendapat bahwa draft RUU Sisdiknas tersebut dapat memperkuat sentimen-sentimen religius yang terbungkus dalam formalisme agama. Terlepas dari perdebatan-perdebatan yang terjadi, bagaimana sebenarnya para pelaku proses belajar mengajar;  guru, murid, dan praktisi pendidikan menyikapi adanya pendidikan agama di sekolah?

“Pendidikan agama sangat penting karena bisa menjadi kendali perbuatan-perbuatan negatif,” demikian Dra. Harsining Subagyono, Kepala Sekolah Triguna Utama, Ciputat. “Hal ini menyangkut moral dan sikap,” tambahnya. Pendapat senada juga disampaikan Drs. Aswad Syahrier MM, Kepala Sekolah  SMU 86, Departemen Sosial Bintaro Jakarta Selatan, bahwa sekolah wajib mengadakan pelajaran agama karena disebut dalam UUD 1945 pasal 29. Menurutnya, agama penting sekali diajarkan karena sebagai landasan kehidupan moral. Dengan moral orang bisa berbuat yang berlandaskan pada kemanusiaan.

Sebetulnya begitu besar harapan yang disandarkan pada pendidikan agama. Lalu cukupkah pendidikan agama yang didapatkan di sekolah selama ini? Mampukah  pendidikan agama mengajarkan satu hal yang lebih luas dari sekedar anjuran moral atau ajaran ritual seperti sholat, puasa dan mengaji? Hetty Daryeni, 18 tahun,  murid Kelas II SMK Triguna Utama, punya pendapat lain tentang pendidikan agama. Menurutnya, pendidikan agama bukan hanya sekedar belajar mengaji dan retorika moral tapi juga toleransi pada penganut ajaran agama lain. Setiap orang berhak mendapatkan pelajaran agama yang diyakininya ataupun mempelajari agama lainnya, yang jelas tidak boleh ada pemaksaan. Menurutnya, agama adalah dasar untuk membentuk mental kita sehingga tetap penting untuk diajarkan.

Tanggal 28 Mei 2002 Walikotamadya Jakarta Selatan menerbitkan Instruksi No. 28 tahun 2002 yang berisi anjuran bagi siswa-siswi di wilayah Jakarta Selatan untuk memakai busana muslim setiap hari Jumat. Rupanya, anjuran seperti ini juga berlaku di beberapa wilayah di Jakarta. Beberapa sekolah bahkan menganjurkan setiap mata pelajaran agama juga memakai busana muslim ini. Pertanyaannya kemudian, apakah hal ini bukan berarti akan terjebak pada formalisme dan simbolisme agama? Dan rupanya anjuran ini telah menjadi kewajiban karena jika tidak memakainya maka para siswa-siswi akan dikenai sanksi berupa tambahan poin pelanggaran. Sebagaimana pengakuan Hetty, “Berbusana muslim menurut saya bukan bagian dari pelajaran agama tapi dari kesadaran masing-masing individu, tidak bisa dipaksakan. Karena masing-masing orang memiliki keinginan yang berbeda-beda dalam berbusana.Yang terjadi kemudian adalah para siswa mematuhinya karena ketakutan terhadap sanksi yang akan dikenakan.” 

Seberapa pentingkah anjuran ini? Menurut Harsaining Subagyo, adanya anjuran berbusana muslim ini sebagai langkah antisipasi dan tameng terhadap tindak kekerasan oleh siswa karena orang yang memakai busana muslim akan malu jika terlibat dengan tawuran. Karena bagaimanapun berbusana muslim diasosiasikan pada orang yang saleh dan tidak terlibat dengan tindakan kriminalitas. “Lalu bagaimana dengan siswa-siswi non muslim? “Mereka dianjurkan berpakaian rapi dan sopan.”

Lalu cukupkah anjuran ini mengurangi tingkat kriminalitas atau tawuran di kalangan pelajar? Harsaining dan Aswad menjawab bahwa banyaknya tawuran tidak ditentukan oleh pakaian semata, tapi dari faktor dalam diri si pelajar dan juga faktor lingkungan, termasuk media informasi dan budaya kekerasan yang masuk dari luar. Hal ini merangsang anak untuk meniru. Ditambah kemudian ada mitos di kalangan pelajar bahwa tawuran adalah tren, dan dianggap banci kalau tidak mau berkelahi. Dan memang terbukti, walaupun sudah memakai busana muslim masih banyak juga yang tawuran. Ini mengindikasikan anjuran berbusana muslim bukanlah sebuah solusi.

Nah, lalu sebetulnya bagaimana konsep pendidikan agama sebenarnya itu? Apakah pendidikan agama hanya melahirkan kesalehan formalistik semata? Apakah benar agama hanya melahirkan satu kebenaran dan anti keberagaman?

Satu hal yang selalu menjadi kritikan kita bersama, bangsa kita dikenal sebagai bangsa beragama akan tetapi korupsi dan kejahatan sangat merajalela. Bukan hanya itu, anjuran berbusana muslim dan pengenaan sanksi bagi yang tidak memakainya juga menunjukkan penekanan pada simbolisasi agama itu sendiri. Mengapa sibuk mengurusi cara berpakaiannya, bukan bagaimana mereformulasi dan mengkritisi kembali konsep pendidikan agama?

Haidar Bagir, Direktur Utama Penerbit Mizan, berpendapat bahwa agama seharusnya bukan hanya sekedar menjadi pengetahuan (kognitif) semata, tapi dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akibat pendidikan agama yang menekankan pada aspek kognisi semata, tidak akan menjadian anak didik sebagai manusia yang tawadhu, manusia yang saleh secara individual dan sosial. Pelajaran agama sebaiknya juga disesuaikan dengan konteksnya. Agama juga bisa diterapkan pada pelajaran lain seperti fisika atau ekonomi, bukan hanya pada pelajaran agama saja. Bahkan di negara-negara maju pelajaran agama adalah pelajaran pilihan yang boleh diambil atau tidak. Dan menurutnya, anjuran memakai busana muslim-muslimah bagi siswa pun tidak ada salahnya asalkan tidak dipaksakan.

Lebih lanjut menanggapi perdebatan RUU Sisdiknas yang menyinggung tentang agama, Haidar mengungkapkan bahwa agama masih penting diajarkan asal bukan mengajarkan pemahaman agama yang sempit. Menurutnya, pelajaran agama itu penting karena salah satu ajarannya menanamkan pendidikan moral yang memiliki orientasi ketuhanan dan pendekatannya tidak sama dengan moral sekuler.

Demikianlah, jika pendidikan dianggap melahirkan individu yang kritis, maka seharusnya kita tidak selalu berkutat dan berhenti pada pola yang sama yang pada akhirnya selalu melahirkan kegagalan yang sama pula. Wallahu A’lam. 

Disarikan dari hasil wawancara oleh Mumun Munaroh

 

Liputan


 

Taman Bacaan Anak; Wahana Mencerdaskan Anak Bangsa

Berawal dari rasa cinta dan peduli terhadap anak-anak, Yessi Gusman, yang lebih dikenal orang sebagai artis populer di tahun ’70-’80 an, mencoba mendirikan taman bacaan untuk anak yang mulai dirintis tahun 1999. Tahun itu adalah tahun di mana krisis ekonomi yang dahsyat benar-benar terasa. Pada saat itu, dan mungkin sampai sekarang, orang jarang berpikir untuk membeli buku. Pertimbangannya, uang untuk membeli makan saja sangat berat apalagi membeli buku. Usaha yang dirintisnya ini juga sebagai wujud keprihatianan terhadap kurangnya bahan bacaan dan minimnya minat baca anak-anak Indonesia.

Taman Bacaan Anak ini dinamakan NAMIRA. “Nama ini diambil dari nama seorang penjaga masjid di Arafah,” tutur Yessi. Ia tidak hanya merintis di Jakarta akan tetapi telah berkembang dan menyebar di beberapa kota, di antaranya; Semarang, Solo, Cirebon, Depok sampai Merauke serta beberapa daerah lainnya. Sampai saat ini telah berjumlah 15 buah. Tiga belas dikelola sendiri sedangkan yang dua pengelolaannya dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan Yayasan Raudhatul Hikmah Pondok Pinang Jakarta Selatan dan Yayasan Nurul Islam Grogol Jakarta Barat.

Taman bacaan yang terletak di daerah Duren Tiga Jakarta Selatan ini dibuka dari hari Senin-Jum'at dan dapat dikunjungi dari pukul 09:00-16:00 Wib. Taman bacaan ini ternyata tidak hanya diminati oleh anak-anak, akan tetapi juga ibu-ibu. Tak tanggung-tanggung, tiap harinya mereka menerima pengunjung mencapai 50-70 orang. Buku-buku yang disediakan juga tidak terbatas buku cerita saja, akan tetapi mencakup buku tentang ajaran agama dan etika, pengetahuan sosial dan umum. Semuanya dapat dibaca secara cuma-cuma. Taman bacaan ini juga memudahkan anak-anak ketika mereka membutuhkan bahan rujukan untuk tugas dari sekolah.

Bukan hanya itu, selain menyediakan buku bacaan, pengelola taman bacaan juga membuka latihan tari, menyanyi, dan kegiatan seni lainnya pada hari Sabtu. Anak-anak dapat menyalurkan serta mengembangkan bakat dan kreativitasnya. Dan semuanya disediakan secara gratis.

Keberadaan taman bacaan ini dirasakan sangat besar manfaatnya bagi anak-anak yang tinggal di sekitar. Muzakir, siswa kelas 6 MI Al-Sudawiyyah Jakarta Selatan, yang kesehariannya mengisi waktu luang dengan berjualan koran ini mengaku sangat senang dengan keberadaan Taman Bacaan Anak ini. Selain dapat meningkatkan minat baca, dia juga dapat berlatih menyanyi dan berpidato, satu hal yang tidak bisa dia dapatkan di sekolah formal.

Sampai sekarang Yessi mengaku pengelolaan dan penyediaan buku untuk Taman Bacaan Anak ini masih menggunakan dana pribadinya. Akan tetapi untuk ke depan  dia berharap lebih bisa mandiri dengan cara penjualan tiket pertunjukan anak-anak yang telah dia rencakan, juuga menjajaki kerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional.

Ide untuk terus mengembangkan Taman Bacaan Anak ini sangat perlu didukung serta dikembangkan. Bagaimanapun, membaca merupakan satu elemen terpenting untuk turut mencerdaskan anak bangsa. Jika taman bacaan semacam itu ada di tiap kelurahan di Indonesia, bisa dipastikan dalam sepuluh tahun ke depan kita akan melihat Indonesia yang jauh lebih maju.

Sumarna

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
untuk informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com