Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

Edisi 7

Edisi 8

Edisi 9

Edisi 10

Edisi 11

Edisi 12

Edisi 13

Edisi 14

Edisi 15

Edisi 16

Edisi 17

Edisi 18

Edisi 19

Edisi 20

Edisi 21

Edisi 22

Edisi 23

Edisi 24

Edisi 25

Edisi 26

Edisi 27

Edisi 28

Edisi 29

Edisi 30

Edisi 31

Edisi 32

Edisi 33

Edisi 34

  Editorial

Haji

 

Sebuah pertanyaan pernah saya ajukan kepada seorang teman: “Kalau saat ini diberikan kepadamu uang sebesar 30 juta, dan disuruh memilih antara melakukan ibadah haji dan jalan-jalan ke Eropa, apa yang akan menjadi pilihanmu?” Tanpa ragu ia memilih ibadah haji. Tanpa ragu juga ia menjelaskan alasannya; status sosial.

Jawaban sederhana itu tampak wajar, karena menggambarkan realitas yang terjadi di masyarakat. Namun jika kita renungkan lebih jauh, justru di situlah letak masalahnya. Fatal akibatnya jika masyarakat memandang bahwa ibadah haji hanya bertujuan untuk pencapaian status sosial lebih tinggi, yang berarti harus didengar setiap ucapannya, harus dianggap benar setiap keputusannya. Apalagi jika seseorang melaksanakan ibadah haji tanpa mempedulikan tanggung jawab sosialnya sepulangnya dari Mekkah al-Mukarramah.

Islam mewajibkan ibadah haji hanya bagi yang mampu. Allah Swt mengukur kemuliaan seseorang berdasarkan ketakwaannya, bukan hartanya. Jika kita menaikkan status sosial orang hanya karena ia mampu menjalankan ibadah haji, bukankah ini bertentang dengan ajaran Allah Swt sendiri? Pandangan bermasalah semacam ini harus kita bongkar. Kaya atau miskin punya hak yang sama untuk dihargai. Status sosial harus diberikan kepada orang yang telah dedngan jelas menunjukkan manfaat bagi orang lain. “Orang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi manusia lain,” begitu Nabi Saw bersabda.

anick h. tohari

 

Kajian


Catatan Kecil Tentang Penyelenggaraan Haji Indonesia

 

Penyelenggaraan haji di Indonesia adalah potret buram peran negara dalam melaksanakan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Sebagai satu-satunya pemegang otoritas dalam penyelenggaraan haji, pemerintah (cq. Departemen Agama) belum menunjukkan kinerja yang semestinya. Terbukti dari tahun ke tahun, wajah perhajian Indonesia tidak lepas dirundung masalah. Contoh yang masih hangat dan lekat di telinga kita sekarang ini adalah keterlambatan pemberangkatan jamaah haji ONH Plus melalui pesawat Indonesia Airlines akhir bulan Januari lalu. 

 

Orientasi Profetis vs Orientasi Bisnis

Bagi para jamaah, haji mungkin dipersepsikan hanya sebatas ibadah mahdah "penyempurna" keislaman. Haji menurut van Gennep adalah perjalanan suci dan napak tilas sejarah para Nabi di Tanah Haram. Di dalamnya terkandung misi suci profetis (kenabian) seperti kesabaran, komitmen sosial, egalitarianisme, ukhuwah, dan lain sebagainya yang harus dinternalisir oleh para jamaah tidak saja pada saat melaksanakannya, namun justru setelah ritus itu selesai. Nilai-nilai profetis dan tujuan ini yang seharusnya menjadi indikator kemabruran haji. Haji dengan demikian tidak dimaknai sekadar ibadah semata, namun ia adalah, mengutip Ali Syari'ati, proses evolusi manusia menuju Tuhan.

Posisi haji sebagai ibadah terakhir dan penyempurna dapat dipahami dalam konteks masyaqqah (kesulitan) dan prasyarat yang menyertainya. Karenanya tidak semua muslim beruntung dapat melaksanakannya. Jamaah yang dapat menunaikan haji dapat disebut sebagai "orang-orang terpilih". Haji secara tidak sadar telah mengkonstruksi konsep gengsi dan strata sosial dalam umat. Pada sisi ini makna haji tidak lagi dipahami dalam paradigma profetis seperti di atas, namun haji seperti disinggung Masdar F. Mas'udi telah melembaga menjadi status sosial tersendiri. Umat muslim tanpa sadar ikut berlomba dalam pencapaian status sosial tersebut. Animo untuk menunaikan haji tidak sekadar dibungkus motivasi ibadah semata, tapi juga telah diselimuti oleh keinginan untuk mencapai status sosial.

Sayangnya kecenderungan di atas oleh para elite birokrasi (Depag) dan para elite agama (KBIH) ditangkap dalam bentuk ekspresi yang tidak pada tempatnya. Mereka justru memanfaatkan haji sebagai lahan basah bisnis untuk mempertebal kantong dan pundi pendapatan. Penyataan ini tentu tidak dimaksudkan untuk menuduh bahwa para elite-elite tersebut tidak peduli terhadap esensi dan hakikat ibadah dalam haji. Namun secara realistis, demikianlah fakta kasat mata yang terlihat, spirit "revolusioner" haji yang pernah ditampilkan para pejuang kemerdekaan nasional pada masa lalu tidak lagi mengendap dalam alam bawah sadar para jamaah dan penyelenggara haji. Justru yang bermunculan dan menjamur adalah biro travel haji yang didukung oleh elite birokrasi.

Faktor ekonomi memang hal yang tidak terelakkan dalam haji. Karena secara implementatif haji membutuhkan infra stuktur ekonomi (bisnis) yang handal. Haji harus dikelola secara profesional, karena ia bagian yang tak terpisahkan dari konstruksi bisnis jasa. Hanya saja bila nafsu bisnis tak profesional dan tanpa dilandasi nilai profetis yang mendominasi penyelenggaraan haji, maka haji tidak lebih sebagai objek bisnis semata yang tolok ukur kesuksesan penyelenggaraannya bersifat teknis. Artinya, indikator kesuksesan penyelenggaraan haji tidak hanya terkait pada prosesi teknis seperti pemberangkatan, akomodasi, pemulangan, dan pelaksanaan haji di Tanah Haram. Celakanya, indikator teknis seperti ini yang memang dipergunakan Departemen Agama dalam melakukan evaluasi haji 2002 lalu di Batam. Belum ada kesadaran di kalangan pemerintah maupun masyarakat untuk memberdayakan jamaah haji pasca-pelaksanaan ritual tersebut.

 

Manajemen Haji

Penilaian rendahnya kualitas haji Indonesia secara kasat mata bersumber dari manajemen yang kurang profesional dan belum berorientasi pada servis yang baik. Padahal ongkos yang dikeluarkan jamaah untuk pelayanan haji sangatlah tinggi bahkan di atas rata-rata ongkos haji negara lainnya di dunia. Dengan nilai tinggi tersebut seharusnya servis yang diberikan pemerintah bisa lebih optimal. Salah satu contoh rendahnya pelayanan haji adalah pemondokan jamaah di Tanah Haram. Selain jarak yang cukup jauh dari Masjid Haram, kualitas pemondokan juga dinilai kurang baik dan "manusiawi". Contoh lain adalah masalah petugas haji yang kadang bukannya membantu jamaah dan memberikan petunjuk-petunjuk operasional haji, tapi justru merepotkan jamaah karena belum berpengalaman dan bahkan tidak mengerti tentang permasalahan haji.

Rendahnya kualitas manajemen dan pelayanan haji menurut penulis berpangkal pada kurangnya transparansi, tidak adanya pertanggungjawaban publik dan kurang maksimalnya peran pemerintah sebagai fasilitator dalam negosiasi dengan pemerintah Saudi Arabia.

Keterlibatan DPR sebagai lembaga kontrol dalam sisi ini belum berjalan maksimal. Bahkan dikhawatirkan DPR tidak mampu berbuat banyak untuk menguak transparansi haji karena terkooptasi pemerintah. Karena itu, masyarakat mesti proaktif mengawasi dan mengontrol secara langsung penyelenggaraan haji sehingga tidak terjadi kebocoran.

Untuk itu, pemerintah harus berani terbuka tidak hanya dalam permasalahan teknis akan tetapi juga berani untuk diaudit secara terbuka dalam penggunanaan dana ONH dan mengumumkannya kepada seluruh rakyat. Jika ini dilakukan, insiden Indonesia Airlines (yang baru beroperasi kurang dari setahun), pengklaiman sisa dana haji sebagai dana abadi umat, dan rekruitmen panitia haji berdasar jatah per departemen tidak akan terjadi.

 

Haji Ke Depan

Banyak hal lain yang tidak mungkin penulis singgung di sini tentang penyelenggaraan haji di Indonesia, termasuk soal Undang-Undang Haji. Dan berikut adalah beberapa solusi untuk membenahi penyelenggaraan haji ke depan:

  1. Reorientasi  penyelenggaraan haji, atau dalam bahasa lain harus ada perbaikan niat. Niat utama dalam penyelenggaraan haji haruslah bertujuan pada ibadah, adapun keuntungan ekonomis hanyalah konsekuensi ekonomis. Dominasi dimensi ibadah ini akan memunculkan motivasi keikhlasan, pengabdian dan pemberian layanan terbaik.

  2. Penumbuhan kesadaran kritis masyarakat untuk ikut serta dalam penyelenggaraan, kontrol, pengawasan, dan pemberdayaan potensi haji, baik dari sisi material maupun dari non-material. Program ini harus dilakukan secara sistemis dan sistematis sehingga tidak lagi ada ketakutan masyarakat untuk kritis terhadap haji karena akan menggangu kemabruran dan kesucian ibadah.

 

Wallahua'lam Bisshawab  

   

Andi Syafrani, alumni fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

Liputan


Belum

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
untuk informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com