Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

Edisi 7

Edisi 8

Edisi 9

Edisi 10

Edisi 11

Edisi 12

Edisi 13

Edisi 14

Edisi 15

Edisi 16

Edisi 17

Edisi 18

Edisi 19

Edisi 20

  Editorial

Kekerasan

Agama manapun tidak akan pernah mengajarkan umatnya melakukan kekerasan. Sebagai lawan dari perdamaian, kerukunan, dan kebaikan, kekerasan adalah kezaliman yang melahirkan kerusakan dan kehancuran. Ia tidak akan menjadi pilihan penyelesaian persoalan bagi kaum beradab.

Islam mengajarkan cinta, perdamaian, dan kasih sayang. Islam sangat mengharamkan segala macam bentuk kekerasan. Kasih dan sayang ini adalah sifat Allah yang paling dominan di antara sifat yang lain. Hal ini tercermin dalam basmalah; bismillahirrahmanirrahim. Setiap umat Islam mengenal basmalah sebagai inti dari keseluruhan Alquran. Setiap hari ia menjadi buah birbir kita. Namun banyak dari kita tidak sadar betul bahwa kasih dan sayang itu harus menjadi pilihan utama kita dalam menyelesaian segala hal.

Dalam salah satu ayat-Nya, bahkan Allah menyuruh kita untuk mengajak orang lain menuju jalan Allah (Islam) dengan jalan kedamaian (hikmah) dan nasehat yang baik (mau’idhah al-hasanah) (Q.S.16:125). Ayat ini secara tegas mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus menyebarkan kebenaran yang kita yakini. Bahkan untuk menyebarkan kebenaran, kekerasan tidak bisa menjadi pilihannya.

Dengan kasih, sayang, dan kedamaianlah seharusnya kita serukan kebenaran. Dengan hati dan kepala dingin kita selesaikan masalah tanpa ada rasa kebencian yang melahirkan kekerasan.

Lisa NH

 

Kajian


Kekerasan menurut Islam

Jihad adalah pembebasan, bukan penindasan. Begitu kata Sayyid Quthb, penulis tafsir Fi Zhilal al-Qur'an (Dalam Naungan al-Qur'an). Meski singkat, kata-katanya sarat makna. Kalimatnya menunjukkan bahwa Islam mengusung pesan pembebasan dan tidak menghendaki adanya penindasan.

Pembebasan adalah perjuangan melawan ketidakadilan, pembelaan atas hak, dan perlindungan terhadap kemerdekaan. Sebaliknya, penindasan adalah pengabaian keadilan, perampasan hak, dan pengekangan kebebasan.    

Dalam hal-hal tertentu, terdapat batasan yang sangat tipis antara pembebasan dan penindasan. Pembebasan membuat diri kita “bebas” dari suatu penindasan. Namun setelah bebas, bukan berarti kita berhak untuk balik menindas. Dalam hal ini, teladan agung diberikan Rasulullah Saw. ketika beliau bersama kaum muslimin menaklukkan kota Mekkah. Rasulullah melakukan penaklukan dengan jalan damai, tanpa kekerasan dan pertumpahan darah, padahal yang ditaklukkan adalah orang-orang yang dulunya selalu mengancam, meneror, dan memusuhi kaum muslimin.  

Pernyataan Sayyid Quthb di awal juga mengisyaratkan bahwa Islam menuntut terwujudnya perdamaian dan kedamaian, sesuai dengan salah satu makna akar kata “Islam” sendiri, yakni “damai” atau “selamat”. Pembebasan adalah proses menuju damai, sementara penindasan adalah pembawa ketidakdamaian dan ketimpangan.        

Bila Islam menghendaki pembebasan dan tidak menghendaki penindasan, itu artinya Islam tidak bisa berdamai dengan bentuk-bentuk penganiayaan satu orang kepada orang lain, atau penganiayaan satu kaum terhadap kaum lain. “Seorang muslim adalah yang menjaga keselamatan saudara-saudaranya dari (bahaya) ucapan lisannya dan ulah tangannya,”  begitu sabda Rasul Saw.        

Pernyataan Sayyid Quthb tersebut juga menunjukkan bahwa sekalipun untuk tujuan yang baik seperti dalam rangka menegakkan agama (jihad), tidak sepatutnya kita sembarangan menempuh cara yang mezalimi orang lain. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka bertindaklah secara teliti...” (Q.S. 4: 94).     

Sampai sini bisa kita katakan bahwa Islam tidak mengesahkan cara kekerasan, sebab kekerasan hanya akan melahirkan atau melestarikan penganiayaan dan orang yang teraniaya (mazlum).      

Kajian al-Qur'an secara seksama menunjukkan keberpihakan al-Qur'an terhadap kaum yang lemah (al-mustadh`afun). Mereka yang menganiaya yang lemah dikategorikan oleh al-Qur'an sebagai “orang-orang yang sombong” (al-mustakbirun) (lihat misalnya Q.S. 7:75, Q.S. 34: 31-34).      

Profil para nabi dalam al-Qur'an pun acapkali ditampilkan selaku pembela mustadh`afun dan penentang mustakbirun, baik para penguasa ataupun orang-orang kaya. Perjuangan Nabi Musa As. yang membebaskan bangsa Israil yang tertindas dari kezaliman Fir`aun menjadi bukti nyata. Simpati dan penghargaan Allah kepada orang-orang yang tertindas misalnya ditunjukkan dalam ayat-Nya: "Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (Q.S. 28: 5).

***

Meski begitu, kekerasan ternyata masih saja mewarnai keseharian kita. Kekerasan acap dialamatkan pada mereka “yang berbeda”; pada penganut agama lain, suku lain, ras lain, atau kelompok yang memiliki keyakinan dan aliran lain. Kekerasan terhadap mereka tidak diperkenankan dalam Islam. “Tiada paksaan dalam agama (din)...” (Q.S. 2: 256). Dalam ayat lain disebutkan, “...Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil...” (Q.S. 5: 8).

Di sini, patut dicatat, masih banyak orang memiliki kesan bahwa Islam telah (atau boleh) disebarkan dengan pedang, alias dengan kekerasan. Padahal, meninggikan syiar Islam (dakwah) tidaklah perlu dengan kekerasan. Rasulullah Saw. menyuguhkan teladan agung dalam berdakwah. Q.S. 3: 159 menggambarkan keutamaan dakwah Rasulullah Saw. secara lemah lembut tanpa kekerasan. “Maka disebabkan rahmat dari Allah, kamu (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras serta berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (peperangan) itu”.

Ketika Musa dan Harun diperintahkan untuk melawan Fir`aun yang tiran pun, Allah menasihati mereka untuk melakukannya dengan lemah lembut. “Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Q.S. 20: 43-44).

Jelaslah, tak ada istilah “kekerasan” dalam kamus dakwah Islam.

***

Kalaupun Islam memberi ruang pembenaran terhadap pilihan kekerasan, ia hanya ditolerir sebagai alternatif terakhir bagi mereka yang tertindas sebagai perlawanan terhadap para penindas. Itupun dalam konteks membela diri. “Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka.”(Q.S. 42: 41). “Telah diizinkan (berperang) bagi orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya...” (Q.S. 22: 39). Dalam hal ini, bahkan umat Islam ditantang al-Qur'an untuk tidak tinggal diam ketika menyaksikan penindasan. “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan-perempuan, maupun anak-anak yang semuanya berdo'a: 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!” (Q.S. 4: 75).

Dalam suatu hadis juga dituturkan, “Barangsiapa melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan(kekuasaan)-mu, bila tak sanggup ubahlah dengan lisanmu, dan bila tak sanggup pula, ubahlah dengan hatimu, yang terakhir itu adalah selemah-lemah iman”.

Dengan demikian, jelaslah bahwa pada prinsipnya Islam menolak segala bentuk perang, kekerasan, dan sejenisnya. Apalagi jika itu dilakukan untuk memaksa seseorang meyakini seperti yang kita yakini atau untuk memaksa orang yang berbeda agar sama dengan kita. Ia hanya boleh dilakukan untuk membela diri ketika tidak ada jalan lain yang bisa dilakukan, untuk mengakhiri penganiayaan, dan untuk melindungi orang-orang lemah dari penindasan. 

Wa Allah a`lam bi al-shawab

Izza Rahman. Mahasiswa Tafsir Hadits IAIN Jakarta.

 

Liputan


Tradisi Bulan Ramadhan

Bulan suci Ramadhan memang bulan yang selalu ditunggu-tunggu oleh kaum muslimin. Ada perasaan bahagia, kegembiraan yang tak mampu dilukiskan ketika bulan yang penuh rahmat, ampunan, dan berkah itu tiba. Untuk itulah, masyarakat tidak ingin jika sampai tidak mengetahui datangnya awal bulan suci ini. 

Masyarakat Semarang dan Kudus Jawa Tengah punya  tradisi yang sangat menarik dan sampai sekarang masih berlangsung. Dalam rangka mengetahui dan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan mereka berkumpul dan menciptakan keramaian.

Di Semarang misalnya, kota yang  terkenal dengan sebutan kota Atlas dan  ibu kotanya Jawa Tengah ini terletak di sisi Pantai Utara Jawa. Dulu, sekitar pertengahan abad 19 masyarakat Semarang sering kebingungan mengetahui awal bulan Ramadhan. Selain banyak perbedaan, belum ada penghitungan yang cukup baku saat itu. Maka, atas inisiatif Bupati Semarang waktu itu, Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Arya Purboningrat memutuskan membunyikan bedug Masjid Agung dan meriam di halaman Kabupaten. Bunyinya sangat keras dan memekakkan telinga, dug dug der der. Keramaian makin terasa dengan datangnya para pedagang yang menggelar barang dagangan di pusat kota Semarang. Masyarakat pun menyambutnya gembira. Mereka pun menamakan tradisi mereka dengan nama dugderan.

Hampir sama dengan itu adalah tradisi di kota Kudus. Kota yang terletak kurang lebih 65 kilometer dari kota Semarang dan terkenal dengan beberapa sebutan; kota santri, kota wali, dan kota kretek. Menara Kudus yang terletak di tengah kota adalah pusat ibadah dan informasi bagi umat Islam pada waktu itu. Sekitar 450 tahun yang lalu, masyarakat Kudus berkumpul di depan Menara Kudus menunggu pengumuman awal puasa dari Sunan Kudus. Setelah keputusan awal puasa itu positif terjadi, maka  dipukullah beduk di Masjid Menara Kudus. Dan bunyi beduk itu dang dang dang. Masyarakat bersuka cita menyambut. Karena banyak masyarakat yang keluar rumah dan berkumpul di Menara Kudus maka kemeriahan semakin tercipta karena berdatangannya para pedagang menjual barang dagangannya yang rata-rata berupa kerajinan terbuat dari tanah liat. Keramaian ini berlangsung satu malam penuh sampai saatsahur tiba. Sampai sekarang tradisi itu masih terus berlanjut dan masyarakat menyebutnya dengan nama Dandangan. Selain bunyi beduk masjid yang dang dang, banyak penjual yang menjual panci masak yang mereka sebut dandang.

Seiring berkembangnya zaman, tradisi ini mungkin akan berubah makna maupun fungsinya. Alat infomasi dan teknologi semakin canggih. Masyarakat tidak memerlukan lagi suara bedug untuk mengingatkan mereka tentang awal puasa. Kemeriahan mungkin hanya sekedar kemeriahan karena banyak pedagang, penjual, atau orang-orang yang berbisnis mencari keuntungan.

 Akan tetapi yang lebih penting dari tradisi ini adalah tidak hilangnya makna bulan suci Ramadhan itu sendiri yang berfungsi sebagai bulan ibadah dan mendekatkan diri pada Allah. Menyambut Bulan Ramadhan dengan berbelanja di acara keramaian seperti dandangan dan dugderan memang tidak salah. Di satu sisi ia mendatangkan rezeki bagi para pedagang. Akan tetapi jika kita berlebih-lebihan maka akan menghilangkan makna puasa yang berarti menahan hawa nafsu dan berlebih-lebihan. Serta menyisihkan uang dan harta kita untuk sedekah  pada yang papa.

Anna Allah A'lam

Lisa Adam (Disarikan dari berbagai sumber)

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyrights @ LS-ADI Online 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
for further information
mailto:ls-adi@plasa.com