Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

Edisi 7

Edisi 8

Edisi 9

Edisi 10

Edisi 11

Edisi 12

Edisi 13

Edisi 14

Edisi 15

Edisi 16

Edisi 17

Edisi 18

Edisi 19

Edisi 20

  Editorial

Kesetaraan

Tersurat dalam konsep penciptaan, bahwa makhluk hidup diciptakan berpasangan, ada laki-laki ada perempuan. Mereka berbeda dalam struktur biologisnya akan tetapi setara dalam hal kemampuan,  kesempatan dan haknya. Coba kita renungi beberapa  firman Allah  yang menyebutkan bahwa Dia akan memberikan pahala dan ampunan sesuai dengan amal baik yang dilakukan laki-laki maupun perempuan dengan sama sekali tanpa membeda-bedakan jenis kelaminnya.

Berbicara soal kesetaraan sama saja membicarakan soal keadilan. Kesetaraan akan melahirkan penghargaan terhadap hak dan kemampuan seseorang tanpa membeda-bedakan jenis kelaminnya apa atau dari golongan mana. Misalnya; jika selama ini laki-laki menjadi kepala rumah tangga karena dia yang mencari nafkah untuk keluarganya, maka dalam kondisi yang sebaliknya, perempuan bisa dalam posisi yang sama, menjadi kepala rumah tangga.

Berbicara soal kesetaraan sama saja membicarakan soal kemanusiaan. Kekerasan yang berbentuk pembunuhan dan pemerkosaan yang banyak dialami  perempuan dalam situasi konflik maupun damai, kematian ibu melahirkan yang sangat tinggi menunjukkan bahwa masih ada pesoalan dengan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan kita.

Untuk itu, menjadi tugas kita sebagai ummat yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan untuk mewujudkan hal tersebut semua dengan segenap usaha

Lisa NH

 

Kajian


Islam dan Perempan

Saya akan  mendasarkan tulisan ini dari berbagai  kisah yang terjadi di dalam kehidupan kaum perempuan di seluruh dunia, terutama di dalam masyarakat Islam. Suara dan kejadian yang dialami adalah fakta yang shahih. Tempat kita bercermin dan menilai keberadaan kita. Semoga semua itu kita lakukan dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Agar tidak seperti kata pepatah “buruk rupa cermin di belah”.

***

Adalah sebuah hadis yang amat populer. Isi hadis tersebut mendudukkan kaum ibu tiga kali lebih “istimewa” dibandingkan kaum bapak. Ingat ummuka ummuka ummuka tsumma abuka. Tanpa ragu lagi, orang bersepakat bahwa hadis tersebut (dan hadis semacamnya seperti al-jannatu tahta aqdamil ummahat) adalah bukti penghargaan Islam terhadap seorang perempuan. Pertanyaannya adalah bagaimana di dalam kenyataan? Apakah nilai kemuliaan yang telah diakui dan dipromosikan Islam itu tergambar dalam realitas kaum muslimin? Nanti dulu. Lihat data dunia yang dikeluarkan United Nation Population Fund (UNFPA); “Setiap menit sekali seorang perempuan mati akibat reproduksi”. Dan para syuhada yang terbanyak adalah perempuan warga negara dunia ketiga dan beragama Islam.

Sampai tahun 2002 ini, Indonesia, negeri yang mempunyai jumlah penduduk muslim terbesar di dunia ternyata memiliki angka rata-rata kematian ibu (AKI) yang sangat tinggi. Pernah mencapai 425 per 100.000 kelahiran. Bandingkan dengan negeri jiran Filipina misalnya yang memiliki AKI “cuma” 26 per 100.000 kelahiran.

Berkaitan dengan masalah tersebut, berbagai analisis sosiologis telah diungkapkan; mulai dari tidak memadainya pelayanan kesehatan masyarakat yang bagi perempuan, hingga alasan kebudayaan yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu tersebut. Adanya pemahaman keagamaan yang menyatakan bahwa kematian akibat melahirkan merupakan “mati syahid” bisa menjadi sarana “pemakluman” melayangnya nyawa kaum ibu.

Di berbagai belahan dunia Islam, masih banyak cerita tentang penderitaan perempuan yang  dikaitkan dengan ajaran agama. Gejala apa ini? Mengapa ini terjadi? Tengok beberapa kisah berikut.

 

Pakistan di Bulan Februari 1994

Seorang perempuan bernama Zainab yang tengah sekarat dibawa suaminya Hail Syarif, seorang imam Masjid, ke sebuah rumah sakit dekat Rawalpindi, Pakistan. Menurut suaminya korban menderita luka bakar akibat terjatuh ke dalam minyak yang sedang mendidih. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan bahwa Zainab menderita luka bakar akut di bagian dalam tubuhnya sehingga tak punya harapan hidup lagi. Namun Allah maha besar, ternyata keadaan Zainab semakin membaik. Korban kemudian bersaksi bahwa alat vitalnya ditusuk oleh sang suami dengan sebatang besi merah yang membara. Kasus ini dibawa ke pengadilan. Hail Syarif dihukum seumur hidup, sementara Zainab atas biaya pemerintahan Benazir Bhutto dirawat  di sebuah rumah sakit di London.

 

Di Beberapa Negeri Afrika

Telah terjadi  pemotongan alat vital perempuan (genital multilation) yang luar biasa sadisnya. Seorang orok perempuan wajib menjalani ritual itu. Motif utama pelaksanaan pola penyunatan itu katanya untuk menyelamatkan  perempuan. Alhasil, semua itu dilakukan karena perempuan dipercaya  mempunyai potensi seksual yang maha dahsyat dan dapat merusak kaum lelaki dan jagad raya ini. Jadi, pelaksanaan sunatan dimaksudkan guna mengurangi bahkan mengebiri nafsu seksual liar mereka yang menurut sumber populer dirunut pada hadis nabi yang menyatakan bahwa “perempuan itu nafsunya sembilan sedang lelaki satu”. Bukankah semua itu sungguh merupakan sebuah praktik penyiksaan yang amat menyakitkan?

 

Menggugat Realitas, Mencari keadilan

Menilik rangkaian kisah di atas pantas kita nggumun (heran,red.), alangkah senjangnya ketetapan Allah dengan kenyataan bikinan manusia. Kini saatnya kita pertanyakan kesenjangan antara  ideal agama dan realita sosial. Seperti yang dikeluhkan dan digugat oleh seorang perempuan Maroko yang telah renta….

“Saya meninggalkan desa dan keluarga saya, tempat dimana ada kehidupan yang aman. Saya harus pergi ke kota mengikuti suami saya. Tetapi adakah jaminan yang dapat saya terima jika cinta suami saya telah surut? Mengapa ia mempunyai hak untuk menalak saya  padahal saya tak berbuat kesalahan  apapun? Negara dan keluarga tidak menghiraukan saya. Satu-satunya yang saya miliki adalah suami dan anak. Tetapi anak-anak telah tumbuh dewasa dan pergi. Suami saya menceraikan saya lalu kawin lagi. Mengapa? Apakah ini hukum Tuhan? Tidak, Tuhan tidak mungkin berbuat sesuatu yang tidak adil.”

Dengan sangat menarik Fatima Mernissi, seorang penegak hak perempuan dari Maroko, mengomentari  bahwa sebenarnya gugatan di atas (dan banyak lagi  peristiwa yang sejenis) menandakan bahwa  telah terjadi sebuah gebrakan yang bersifat revolusioner di dunia muslim. Perempuan telah mempertanyakan ketidakadilan yang diberlakukan kepada mereka atas nama Tuhan.

Menurut kepercayaan pemeluk agama mana pun, secara asasi, agama diturunkan untuk membela kaum tertindas. Dan perempuan adalah salah satu kelompok tertindas dalam pranata kemasyarakatan sepanjang sejarah peradaban manusia. Konon agama-agama pada fase awal kelahirannya datang dengan misi penyelamatan bagi kaum tertindas. Namun dalam perkembangan sejarah agama- agama sejalan dengan birokratisasi dan politisasi agama, para pendukung dan kaum tertindas yang menjadi pendukung utama perkembangan kemajuan agama tersebut ditinggalkan. Bahkan lebih dari itu, malah kembali ditindas dengan berbagai modus yang lebih canggih. Sekarang, lembaga agama telah dihadapkan pada pertanyaan tentang keberpihakannya kepada perempuan.

Lembaga agama (bukan agama itu sendiri) telah melakukan dosa sosial, yang ironisnya oleh pemuka agama ingin dipulihkan dengan ritus individual. Jika ini yang terjadi maka agama akan kehilangan keabsahan moral dan peran sosialnya dalam membela martabat manusia. []

Farha Ciciek. Aktivis Rahima

 

Liputan


Banjir, Salah Siapa?

 

Rakyat Indonesia semakin terluka. Di tengah krisis ekonomi tak berujung,  masyarakat Jakarta kembali diterpa kerugian baik moril maupun materiil yang diakibatkan oleh banjir.

Banjir yang telah memakan korban bukanlah kehendak alam yang tidak dapat dicegah, tetapi akibat dari kesalahan perencanaan pembangunan yang timpang, yang tidak memikirkan keseimbangan alam dan kemanusiaan. Penemuan teknologi-teknologi baru harusnya dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejateraan dan kelangsungan hidup manusia, termasuk mengantisipasi kebuasan  alam. Sebaliknya, Masyarakat sudah kehilangan tempat tinggal dan rentan penyakit. Hingga kini para pengungsi korban banjir tersebut masih berteduh di tempat-tempat darurat, daerah Prumpung misalnya, sekitar enam ribuan masyarakat mengungsi di pemakaman umum. Ada pula di sisi jalan, persis, membuat tenda-tenda terpal yang cepat goyah jika turun hujan sewaktu-waktu. Sungguh menyedihkan.

Pernyataan yang menarik dari Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso dan perlu ditindaklanjuti ketika dia mengakui kegagalannya dalam membuat tempat pengungsian maka sudah seharusnya kantor-kantor pemerintah dijadikan sebagai posko pengungsi, karena sampai saat ini masih banyak masyarakat yang tertimpa musibah banjir tidak mempunyai tempat pengungsian yang layak.

Jika kondisi kejiwaan masyarakat sudah sangat tertekan dan sampai saat ini belum ada tindakan pemerintah yang konkrit, maka, gedung DPR/MPR atau pun istana adalah tempat yang tepat untuk mengungsi. Sekaligus sebagai peringatan kepada pemerintah untuk tetap konsisten dan sadar dalam menyelesaikan masalah banjir ini bukan hanya penanganan berjangka pendek tetapi juga bersifat jangka panjang penyebab yang paling mendasar dari bencana ini.

Adalah kita sebagai manusia untuk tetap berpegangan tangan, membantu satu sama lain, membentuk posko-posko solidaritas dan merenungi kondisi bagaimana hal ini bisa terjadi. Bukankah ini Azab dari Tuhan atas keangkuhan manusianya dalam memperlakukan alam? Dan apakah kita, sebagai rakyat yang sudah miskin, benar-benar bersalah?

Iyoh S Muniroh

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyrights @ LS-ADI Online 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
for further information
mailto:ls-adi@plasa.com