Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

Edisi 7

Edisi 8

Edisi 9

Edisi 10

Edisi 11

Edisi 12

Edisi 13

Edisi 14

Edisi 15

Edisi 16

Edisi 17

Edisi 18

Edisi 19

Edisi 20

  Editorial

Agama

Perintah Allah untuk selalu ikhlas, ridlo dan tabah  menerima segala sesuatu bukan berarti kita harus selalu pasrah menerima keadaan yang berlangsung. Dalam salah satu ayatnya Allah memerintahkan untuk selalu berusaha merubah nasib karena hanya kita  yang mampu merubah nasib kita sendiri.

Kecenderungan selama ini, agama selalu dijadikan sandaran  untuk selalu pasrah menerima keadaan yang berlangsung, kemiskinan, kebodohan,  keterbelakangan diterima sebagai keadaan  mutlak dari Allah  tanpa ada upaya untuk merubahnya.

Islam  yang diamanatkan dalam firman-fiman suci kalam ilahi selalu mendorong manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan yang berarti menekankan sisi-sisi kemanusiaan yang hakiki. Lebih luas lagi, agama digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan segala  misteri dunia dengan kemampuan berfikir manusia, untuk kemajuan dan kepentingan  manusia.

Apalah artinya manusia dilahirkan di dunia jika bukan untuk pintar, bermanfaat bagi manusia lainnya dan berjuang untuk kemaslahatan bersama. Bukan sebaliknya, agama dijadikan landasan untuk selalu pasrah menerima keadaan, tertutup dengan kemajuan ilmu pengetahuan, takut dan  marah  menerima bentuk  perubahan.

Lisa NH

 

 

Kajian


Islam “Pinggiran”

Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah kisah pertemuan santri dengan seorang cendekiawan dari Jepang. Suatu hari, di sebuah restoran, seorang santri diajak makan oleh cendekiawan Jepang. Maka berpesanlah keduanya kepada pelayan. Ketika santri makan udang, ia membuang cangkang kepalanya. Hal ini menyebabkan cendekiawan Jepang bertanya. Mengapa orang Indonesia bila makan udang harus membuang cangkangnya? Jawab santri, sebab cangkang udang tidak enak. Kemudian cendekiawan Jepang menjawab, bila di negara kami, cangkang udang dikumpulkan. Kemudian dijadikan tepung dan tepungnya diekspor ke Indonesia. Setelah itu, santri mengambil teh botol dan membuang tutupnya. Maka bertanyalah si cendekiwan Jepang. Lagi-lagi si Jepang bertanya; orang Indonesia ketika minum teh botol, mengapa membuang tutupnya? Si santri menjawab, buat apa tutup botol, toh tidak ada gunanya. Maka si Jepang menjawab, bila di negriku, tutup botol dikumpulkan, lalu dibuat mobil sedan dan diekspor ke Indonesia.

Merasa kalah, dongkol pula hati si santri. Kemudian ia bertanya, orang Jepang kalau habis ngunyah permen karet, sisanya diapakan? Ya dibuang, jawab si Jepang. Si santri menjawab, bila di Indonesia, sisa permen karet dibuat kondom dan diekspor ke Jepang juga negara-negara maju lainnya.

Dari kisah ini, saya ingin mengajak kaum muslim untuk merenungkan kembali makna dasar berdialog. Suatu hal yang “sepele” tetapi sulit dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Cendekiawan Jepang—katakanlah kita tempatkan sebagai non Muslim—adalah tipikal dari “wilayah efesien dan praktis”. Mereka berdimensi kemanusiaan dengan menempatkaan asas segala kehidupan harus “tidak mubazir”. Karenanya, apa saja sisa dari yang menurut kita tidak dapat dimanfaatkan, mereka pergunakan kembali dalam produktifitas lainnya. Pada wilayah ini, agama dengan demikian adalah wilayah yang mengajarkan pemanfaatan maksimal dari apa yang didapatkan untuk manusia. Agama menjadi pendorong semangat kerja, optimalisasi dari nalar berfikir. Semakin tinggi hal tersebut dilaksanakan, semakin tinggi derajat agama seseorang.

Agama dengan demikian adalah karsa, usaha dan realisasi sungguh-sungguh untuk hidup di dunia. Medan agama adalah dunia. Dari sini, dialog agama sudah meluas ke dalam kerja praksis kemanusiaan. Agama tidak lagi dikotomi atau usaha mempertentangkan mana haram dan mana yang halal. Ia tidak meributkan lagi mana surga, mana neraka. Ia tidak terjebak pada mana yang diperintah Tuhan dan mana yang dilarang-Nya. Agama bagi mereka sudah beyond (ke luar) dari sekedar wilayah akherat (ukhrowi) ke wilayah manusiawi-duniawi. Agama kemudian meminta ummatnya untuk merealisasikan idealitas kemanusiaan. Ia menerjemahkan “ide-ide” menjadi kenyataan. Ia menjawab keinginan-keinginan. Ia memberikan jawaban-jawaban. Ia menyerahkan janji-janji. Rumusan agama dengan demikian adalah berangkat dari; dialog teologis, dialog pengalaman keagamaan, dialog kehidupan yang berakhir dengan dialog tindakan. Dalam konsep ini, agama dipersepsikan dengan usaha menerima konsekwensi-konsekwensi dunia, sambil berempati pada perbedaan.           

Tugas agama bagi mereka teragendakan dengan jelas. Sebab, agama yang tidak beragenda kemanusiaan akan ditinggalkan pemeluknya. Agama, bagi mereka adalah proses terus-menerus menyelesaikan problema kemanusiaan. Misalnya, pengentasan kemiskinan (fukoro), pembelaan kaum lemah (mustad’afin), perluasan pendidiakn (tarbiyah), pemberdayaan perempuan (fikhu an-nisa), pengembangan kemitraan (muamalah), penegakan hukum (syariah al-adalah), independensi, pengembangan iptek dan kemerdekaan. Karenanya, dalam realisasi keagamaan, pembicaraan ketuhanan telah selesai. Tuhan dalam wilayah ini merestui kehadiran agama adalah dari Tuhan untuk oleh dan dipergunakan demi manusia semata.

Sikap itulah yang membedakannya dari kita, ummat beragama Islam. Kaum Muslim masih “kreatif” (sangat tersinggung) bila merasa diejek. Bila merasa disepelekan. Bila merasa dianggap bodoh dan bila merasa dipinggirkan. Proses kreatifitas tidak lahir dari rasa percaya diri. Tidak dari kesadaran diri. Tidak dari usaha menjawab tantangan zaman. Dan pada intinya bukan dari agamanya.

Alih-alih ia menyadari, jawaban yang muncul adalah jawaban dendam. Jawaban untuk “dendam kesumat” yang muntah untuk bertarung dengan lawan. Merupakan reaksi bukan refleksi. Bukan pro-aktif melainkan “sensitif” yang kaku. Jawaban-jawaban kaum Muslim terhadap tantangan modernitas-kemanusiaan selalu saja masih dalam dua model; kecurigaan dan penolakan. Akibatnya, Tuhan dalam bahasa kaum Muslim lebih mencintai dan meridlohi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan daripada kemajuan, kekayaan, dan kemajuan. Bukankah faktanya kaum Muslim paling banyak yang miskin, bodoh dan terbelakang?

Agama, dengan demikian bagi kaum muslim masih bergerak di wilayah ketuhanan semata. Agama masih bergelut dalam dialog teologis, atau paling jauh fikh; mana haram, mana halal. Mana yang benar, mana yang salah. Mana yang diridlohi Tuhan, mana yang dimurkai. Ia masih berputar dari dialog; Siapa Allah SWT, apa itu syorga, siapa di neraka, berapa jumlah bidadari dan ritual doa-doa yang intinya meminta syafaat dari Nabi Muhammad saw. Agama takut menyentuh wilayah kerja praksis, kerja menjawab tantangan zaman. Agama takut mengolah iptek, takut terhadap liberalisasi pemikiran. Sebab, jangan-jangan nanti iptek, modernitas dan liberalisme membawa mereka menjadi “kufur”, menjadi tidak disayang Tuhan, menjadi tidak Islam dan menjadi masuk neraka dan disiksa. Suatu akhir yang paling ditakuti, karena agama yang kita dengar selalu tentang itu.   

Sesungguhnya, perasaan beragama seperti di atas adalah cara beragama “pinggiran” yang sudah harus ditinggalkan. Sebab, dalam sejarahnya, Islam dan agama lain tentunya datang untuk sebaliknya. Untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. Untuk mengajak manusia dari kegelapan, kemiskinan, kepapaan, pinggiran dan kebodohan ke derajat tinggi; kecerdasan, kekayaan, tengah (ummatan wasatan) dan menjadi manusia seutuhnya. Inilah sesungguhnya pesan dasar Islam dan agama lain. Agama yang “mengkhalifahkan” manusia atas apa saja demi, dari dan untuk kemanusiaan sejati. Agama yang memberi amanat dan tanggungjawab besar kepada manusia. Agama yang hanya layak disandangkan kepada manusia. Yang itu hanya bisa dimulai dengan menyadari “ada yang kurang” dalam kehidupan kita, sehingga harus disegerakan bentuk idealnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta beragama.***

M. Yudhie R. Haryono. Direktur GVI (Gugus Visioner Indonesia), Alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo

 

Liputan


Masjid Al-Istiqomah: Masjid Tanpa Pengeras Suara

Di tengah megahnya bangunan-bangunan masjid dan lengkapnya fasilitas yang dimilikinya, Masjid Al-Istiqomah yang terbilang berusia tua ini punya keunikan tersendiri.

Memasuki gang menuju gerbang telah terlihat kesederhanaan masjid itu, dari bangunannya yang putih sendu dengan menara tegak di sampingnya.Mesjid yang beralamat di Jl. Ciputat Raya RW. 07 Pondok Pinang Kebayoran Lama Jakarta-Selatan ini didirikan sekitar 160 tahun lalu tepatnya sekitar tahun 1841 M. Atas niat dan usaha dari H. Bontang, masjid ini didirikan dengan nama awal masjid Gedung Ijo Pasar Jum’at, menyelaraskan dengan gedung berwarna hijau milik Belanda yang didirikan di seberangnya (sekarang menjadi gedung SEPOLWAN). Baru pada tahun 1985 diganti dengan nama masjid Al-Istiqomah. Yang paling unik, masjid ini tak memiliki satu pun pengeras suara. Pada pelaksanaan sholat Jum’at di masjid ini, saat waktu shalat tiba, sang muadzin mengumandangkan adzan dari atas menara setinggi kira-kira tiga meter. Sedangkan khatib Jum’at membacakan isi khutbahnya dari atas mimbar memakai  Bahasa Arab  tanpa pengeras suara. 

Masjid ini memiliki ruangan utama berkapasitas sekitar 700 orang, 1 buah menara, 1 buah gudang dan beberapa makam keluarga di depannya. Nama masjid Al-istiqomah dapat terlihat dari papan namanya dipinggir jalan dan akan terlihat arsitektur yang sederhana walau sudah  mengalami renovasi sebanyak tiga kali.  Bahkan TEMPO pada tahun 1986 dan Harian Terbit telah mempublikasikan masjid yang masih memakai pola layaknya masjid zaman Nabi ini.

Sampai sekarang, walaupun banyak pihak yang bersedia melengkapi fasilitas pengeras suara masjid ini, dengan tegas H.A.  Sayuti, salah seorang Khatib dan keturunan pendiri masjid ini mengatakan“Kita mengikuti petunjuk baginda Rasul dan petunjuk para ulama dan kami akan mengulang petunjuk  ini sampai hari akhir”. Begitu juga halnya dengan khutbah yang menggunakan bahasa arab. Walaupun hampir seluruh jama’ah tidak memahami isi khutbah mereka,  demi bertawassul  pada Rasulullah tradisi ini tetap mereka pertahankan sampai sekarang.

Di tengah derasnya arus modenisasi yang masuk dalam setiap sendi kehidupan kita, pada sisi tertentu masjid ini mampu mewakili tegaknya identitas Islam yang ingin mereka bangun. Tentu saja masih harus dibuktikan, apakah simbolisasi itu juga mampu mambendung konstruksi budaya moden yang sedemikian kuat. Di sisi lain, sebagai lembaga, ia mesti menjawab kompleksitas permasalahan umat di sekitarnya. 

Mekkah

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyrights @ LS-ADI Online 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
for further information
mailto:ls-adi@plasa.com