Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

Edisi 7

Edisi 8

Edisi 9

Edisi 10

Edisi 11

Edisi 12

Edisi 13

Edisi 14

Edisi 15

Edisi 16

Edisi 17

Edisi 18

Edisi 19

Edisi 20

  Editorial

Korupsi

Indonesia adalah negara yang 89% penduduknya beragama Islam. Dalam peringkat korupsi negara-negara di dunia yang dibuat oleh salah satu lembaga pemantau korupsi internasional, Indonesia menempati urutan ketiga negara paling tinggi korupsinya di dunia, bahkan urutan pertama di Asia.

Apa atinya data tersebut? Dalam logika yang sederhana, kalau dua pernyataan di atas dianggap sebagai premis mayor dan premis minor, maka akan menghasilkan konklusi sebagai berikut; Negara yang 89% penduduknya muslim adalah negara yang paling korup di Asia, dan juara ketiga korupsi di dunia.

Tapi benarkah demikikan? Benarkah Islam mengajarkan budaya korupsi? Tentu saja dengan tegas kita akan mengatakan tidak. Kita akan dengan lantang menyatakan bahwa dalam Qur’anpun Allah dengan tegas melarang pedagang yang mengurangi kadar timbangannya.

Lalu siapa yang salah? Islamnya, muslimnya, atau Indonesianya? Ibda’ binafsik, begitu Nabi Saw bersabda. Kalau mau jujur, mungkin diri kita sendiri pernah, atau bahkan sering, menikmati hasil korupsi. Mungkin juga kita sendiri yang melakukan korupsi itu. Kalau kita sudah mampu jujur pada diri sendiri, dan ternyata kita memang benar pernah melakukannya, maka sudah saatnya kita mengutuk hal itu, lalu memulai kehidupan baru tanpa korupsi, sekecil apapun. Percayalah, tidak ada yang mampu mengubah perilaku kita kecuali diri kita sendiri.

Anick H. Tohari

 

Kajian


Anti Korupsi dalam Perspektif Islam

 

Tidak ada penyebab ketidakadilan dan kekejaman yang lebih besar daripada korupsi, karena penyuapan menghancurkan baik iman maupun negara.”

Sari Mehmed Pasha

 

Pengantar

Salah satu kenyataan yang secara sadar dinilai buruk dan merusak, tetapi berulang kali dilakukan oleh banyak orang di negeri ini adalah “korupsi”. Dan korupsi di negeri ini bukan lagi soal moral dan hukum semata, melainkan adalah persoalan sistem yang telah mengakar sedemikian rupa.

Hal lain yang menyebabkan korupsi tumbuh-subur di negeri ini adalah lemahnya penegakan hukum. Hingga hari ini, belum ada koruptor  dihukum setimpal dengan perbuatannya. Oleh karenanya bisa dipahami jika keterpurukan Indonesia ke dalam multikrisis ini dinilai oleh banyak pihak akibat korupsi yang terus menerus dilakukan ke semua alokasi keuangan, termasuk ke alokasi dana bantuan presiden dan dana non-bugeter lainnya.

Tulisan berikut tak bermaksud menawarkan “jalan keluar” atas kompleksitas soal korupsi, melainkan sekadar ingin menyodorkan pandangan-tegas Islam atas korupsi. Pandangan ini rasanya penting dikemukakan ke hadapan publik selain menunjukkan ketegasan Islam anti korupsi, juga membuka mata umat Islam sendiri karena tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar koruptor-koruptor di negeri ini beragama Islam.

 

Apa itu Korupsi?

Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin corruptio, secara harfiah korupsi berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian.

Meskipun kurang tepat, korupsi seringkali disamakan sengan suap (risywah), yakni sebagai “perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan itikad buruk  agar ia melakukan pelanggaran kewajibannya.” Suapan sendiri diartikan sebagai “hadiah, penghargaan, pemberian atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah).” Dalam kitab Hâsyiah Ibn ‘Abidin, suapan (risywah) dipahami sebagai sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim, pejabat pemerintah atau lainnya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya.

Pada intinya korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Jika kita pegangi pengertian ini, maka tradisi korupsi telah merambah ke seluruh dimensi kehidupan manusia.

 

Pandangan dan Sikap Islam

Pandangan dan sikap Islam terhadap korupsi sangat tegas: haram dan melarang. Banyak argumen mengapa korupsi dilarang keras dalam Islam. Selain karena secara prinsip bertentangan dengan misi sosial Islam, menegakkan keadilan sosial dan kemaslahatan semesta. Korupsi dinilai sebagai tindakan pengkhianatan dari amanat yang diterima dan pengrusakan yang serius terhadap bangunan sistem yang bertanggungjawab. Oleh karena itu, baik  al-Qur’an, al-Hadits maupun ijmâ’ al-‘ulamâ menunjukkan pelarangannya secara tegas.

Dalam al-Qur’an, misalnya, dinyatakan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (cara berbuat) dosa padahal kamu mengetahui.” Dalam ayat yang lain disebutkan: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil,  kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu…

Sedangkan dalam al-Hadits lebih konkret lagi, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknati penyuap dan penerima suap dalam proses hukum.” Dalam redaksi lain, dinyatakan: “Rasulullah SAW melaknati penyuap, penerima suap, dan perantara dari keduanya (Al-Hadits).

Secara mendasar, Islam memang sangat anti korupsi. Yang dilarang dalam Islam bukan saja perilaku korupnya, melainkan juga pada setiap pihak yang ikut terlibat dalam kerangka terjadinya tindakan korupsi itu. Bahkan kasus manipulasi dan pemerasan juga dilarang secara tegas, dan masuk dalam tindakan korupsi. Ibn Qudamah dalam al-Mughnî menjelaskan bahwa “memakan makanan haram” itu identik dengan korupsi. Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasysyaf juga menyebut hal yang sama. Umar Ibn Khaththab berkata: “menyuap seorang hakim” adalah tindakan korupsi.

Dalam sejarah Islam sering dikutip kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, salah seorang Khalifah Bani Umayyah. Beliau adalah figur unik di tengah-tengah para pemimpin yang korup dalam komunitas istana. Ia sangat ketat mempertimbangkan dan memilah-milah antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga. Keduanya tidak pernah dan tidak boleh dipertukarkan.

 Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Abdul Aziz berada di kamar istana melakukan sesuatu berkaitan dengan urusan negara. Tiba-tiba salah seorang anaknya mengetuk pintu ingin menemui bapaknya. Sebelum masuk, ditanya oleh Khalifah, “Ada apa malam-malam ke sini?” “Ada yang ingin dibicarakan dengan bapak”, jawab anaknya. “Urusan keluarga atau urusan negara?” tanya balik Khalifah. “Urusan keluarga,” tegas anaknya. Seketika itu, Khalifah mematikan lampu kamarnya dan mempersilakan anaknya masuk. “Lho, kok lampunya dimatikan,” tanya anaknya sambil keheranan. “Ini lampu negara, sementara kita mau membicarakan urusan keluarga, karena itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara,” demikian jawab Khalifah. Sang anak pun mengiyakannya.

Itulah sekelumit cerita tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam upayanya untuk menegakkan pemerintahan yang bersih bebas korupsi melalui sikap-sikap yang bertanggungjawab dengan menghindari pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan diri, kelompok, dan keluarganya. Adakah pemimpin sekarang seperti Umar bin Abdul Aziz?

Marzuki Wahid. Staf Pengajar Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, Peneliti pada LAKPESDAM-NU Jakarta

 

Renungan


Gula yang Meracuni Semut

Kreditor internasional (IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia) selama 32 tahun memberi pinjaman kepada rezim Orde Baru yang dalam prakteknya digunakan untuk menindas rakyat, memperkaya diri serta kroninya. Tragisnya, kesalahan rezim ini diteruskan oleh rezim berikutnya dengan menambah jumlah utang yang  menumpuk dengan utang baru.

Pada dasarnya, berutang adalah hal wajar bagi sebuah negara. Negara seperti Vatikan, juga pernah berutang pada para saudagar kaya di Venesia, Genoa dan Florence untuk membiayai perang salib dalam misi merebut kota Yerusalem. Negara yang termasuk maju pun pernah berutang untuk membiayai kebutuhan perang atau teknologi senjata saat perang dingin. Apalagi negara berkembang seperti Indonesia, dimana untuk menjamin pertumbuhan,  kekurangan modal investasi dalam negeri harus ditutupi dengan utang.

Dengan total utang mencapai 1.400 triliun, nyaris tidak ada ruang bagi negara ini untuk bisa membangun. Setiap tahun, ibaratnya anggaran negara habis terpakai untuk mencicil utang dan biaya rutin seperti membayar gaji pegawai negeri. Tahukah masyarakat bahwa tanpa disadari mereka juga harus menanggung beban utang tersebut ?

 Dengan adanya beban seperti diatas, porsi pembiayaan pembangunan dalam negeri akan berkurang.  Yang kini telah dirasakan oleh masyarakat adalah meningkatnya berbagai pungutan/pajak, subsidi terhadap berbagai sektor dikurangi atau dicabut. Pencabutan subsidi pelayanan kesehatan masyarakat misalnya, berdampak pada menurunnya kondisi kesehatan bayi dan anak-anak. Kalkulasi kasar menunjukkan bahwa setiap penduduk harus membayar $ 45 atau sekitar Rp. 4 Juta kepada kreditor internasional dan hanya menerima $ 2 atau sekitar Rp.20 ribu untuk pelayanan kesehatan. Akibat dari penurunan pelayanan dasar kesehatan tersebut, Indonesia menghadapi ancaman generasi yang hilang. Data UNICEF menunjukkan bahwa setiap tahunnya 2 juta bayi dan juga sekitar 800 bayi yang baru lahir, menderita kekurangan gizi dan kekurangan bobot badan (Infid, 2001).

Terakhir, demokrasi harus dipakai untuk mengawal agar pembangunan ekonomi bisa berjalan lebih baik. Dengan kebebasan yang kita miliki, kita harus mengawasi agar tidak terjadi penyimpangan dalam pemanfaatan sumber daya yang sangat terbatas ini. Padahal seperti kata ekonom Peru, Hernando de Soto, negeri ini kaya akan sumber daya alam, namun itu hanya dalam bentuk modal mati. Tugas kita bersama menjadikan potensi itu menjadi modal yang bisa mensejahterakan bangsa.[]

Ubaidillah Sadewa

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
untuk informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com