Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

Edisi 7

Edisi 8

Edisi 9

Edisi 10

Edisi 11

Edisi 12

Edisi 13

Edisi 14

Edisi 15

Edisi 16

Edisi 17

Edisi 18

Edisi 19

Edisi 20

  Editorial

Jihad

Jihad memiliki pengertian yang sangat luas, bukan hanya pemahaman sempit selama ini yang memaknai jihad hanya untuk perjuangan fisik dengan berperang mengangkat senjata. Jihad pada dasarnya berangkat dari sebuah niat mulia yaitu li-I’la-I kalimatillah, menjunjung nama Allah SWT, intinya jihad digunakan  sebagai perjuangan  untuk kemanusiaan, keadilan dan kemerdekaan. Jika toh dulu Nabi menggunakan taktik perang, semata-mata sebagai salah satu jalan. Ada pertimbangan yang betul-betul matang soal  strategi, taktik dan kekuatan sampai akhirnya memutuskan untuk perang.

Perang menurut Nabi sendiri adalah hanyalah jihad kecil yang belum sempurna jika kita belum melangkah kepada jihad yang lebih besar. Hadits Nabi dengan sangat jelas menyebutkan bahwa jihad yang lebih utama adalah perang melawan dii sendiri dan peang melawan hawa nafsu.

Jika keputusan berjihad dengan cara perang melawan senjata adalah perwujudan kemarahan, kekesalan dan kecaman yang berlebihan tanpa mempertimbangkan sisi-sisi kemanusiaan dan keadilan. Alangkah mulianya jika kita mampu berjihad besar dengan cara menahan hawa nafsu amarah dengan cara berfikir matang  tentang manfaat dan mudharat pejuangan yang kita lakukan.

Lisa NH

 

Kajian


Jihad untuk Perdamaian Dunia

Lisa Noor Humaidah

Jika kebenaran telah kita yakini sebagai sebuah jalan menuju keselamatan, keridloan dan kedamaian bagi seluruh makhluk di dunia dan seisinya, maka “serulah manusia pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengetahuan  yang baik, dan berdebatlah dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q. 14:125)

11 September lalu, malapetaka menimpa sebuah negara adidaya, dua menara simbol kedigdayaan Amerika, salah satu menara tinggi dunia yang menjulang laksana menyentuh  angkasa beserta isinya hancur luluh lantak bukan lagi dalam hitungan jam apalagi hari akan tetapi detik. Benteng pertahanan yang dipuja paling canggih sistem keamanannya di dunia, pun tak luput dari malapetaka. Empat pesawat penuh penumpang hancur tak bersisa bersama pilot ahlinya. Berapa ribu orang, hampir tak terhitung jumlahnya hilang dengan bekas yang sulit dikenali. Mereka, masyarakat Amerika, bahkan sebagian masyarakat di negara-negara dunia menangis, meratap, mengutuk; mencari bapak, ibu, anak, suami, isteri, dan sanak keluarganya yang hilang ditelan reruntuhan angkara. Ketakutan seketika menyelimuti; ternyata musibah, kematian itu sedemikian dekatnya.

Amerika seketika berteriak; terorisme telah menunjukkan taring jahatnya, Osama bin Laden pelakunya. Pasukan pertahanan siap bertempur di garda depan, pasukan sekutunya juga siaga di basis pertahanan.  Umat Islam dunia protes, jangan asal berteriak, jangan asal main tuduh, jangan asal bakar masjid-masjid kami, belum tentu Osama pelakunya, belum tentu umat Islam dibalik ini semuanya. Namun, apa hendak dikata, arus informasi yang berisi hujatan, tuduhan dan ancaman telah sedemikian deras merasuki tiap sendi kehidupan manusia bagai air bah yang telah menunjukkan kekuatannya. Imbasnya, sangkakala perang siap ditiupkan, fatwa jihad dengan  senjata di tangan menyebar di belahan negara muslim dunia, termasuk di Indonesia dengan umat Islam terbesar hidup didalamnya.

Pertanyaannya haruskah kita sebagai umat Islam meresponi peristiwa ini dengan memutuskan jihad berbondong-bondong datang ke Afghanistan sana? Apakah jihad berarti perang mengangkat senjata?

Dalam sejarahnya, Islam berda’wah selama kurang lebih 13 tahun  melalui pendekatan yang sangat menyejukkan, melalui hikmah dan pengetahuan yang sangat terbuka untuk dibantah dan diperdebatkan, artinya terbuka kesempatan  bagi manusia yang dianugerahi akal pikiran dan bentuk yang sempurna  untuk mencari dan bertanya soal kebenarannya. Kemudian, pada waktu itu, dengan cara iman dan teguhnya memegang ajaran agama, umat Islam berjuang melawan kedloliman, kejahatan, kekerasan dan keangkaramurkaan. Karena tujuan agama yang dipegang teguh dan paling mendasar itu adalah menebarkan kebaikan dan kedamaian kepada orang lain yang hidup bersama mereka.  Sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, ringan tangan pada saudara, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil hikmahnya.”(Q.16:90). Dalam ayat yang lain juga Allah menegaskan “dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kehilangan harta yang telah Kami berikan padamu. Dan kamu jangan melakukan  perbuatan keji baik  tersembunyi apalagi terang-terangan.  Dan kamu jangan membunuh kecuali dengan tuntutan keadilan dan kemanusiaan. Ia perintahkan kepadamu, supaya kamu mengerti”(Q. 6:151).  Untuk itu, jelas menurut uraian diatas, Muhammad berdakwah pertama kali  membawa ajaran Islam dengan kitab suci-Nya Al-qur’an semata-mata untuk kesejahteraan, memajukan serta meninggikan peradaban masyarakat di dunia.

Namun demikian, dalam perkembangan berikutnya, pada waktu itu masih banyak masyarakat yang menyembah berhala, memutuskan tali persaudaraan, merusak kehidupan dan mengubur anak gadis hidup-hidup. Menyikapi perilaku yang terjadi dalam masyarakat ini, turun kemudian ayat Allah yang menyerukan untuk memberi mereka peringatan kepada mereka dengan cara jihad di jalan Allah. Jihad yang dimaksud memang diarahkan dengan menggunakan pedang, akan tetapi sebatas hanya sebagai peringatan bukan untuk memaksa dan berkuasa atas mereka. “Maka berilah peringatan pada mereka, karena pada dasarnya  kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa dan menguasai  mereka (Q.88:21-22). Pedang disini semata-mata sebagai alat untuk memperingatkan bukan sebagai pisau jagal pembunuh yang harus mengalirkan darah manusia. Jika pedang itu digunakan untuk mencapai  kebijaksanaan, kasih sayang dan keunggulan ilmu pengetahuan. Tentu saja hal ini akan mengangkat derajat dan peradaban manusia dan membebaskan masyarakat dari kebodohan dan keangkaramurkaan. Sesuai dengan yang difirmankankan-Nya  bahwa, “ Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul dengan mambawa bukti yang nyata,  melalui  Al-Kitab dan neraca  supaya manusia dapat menimbang dan berlaku adil. Dan Kami ciptakan besi yang mempunyai  kekuatan hebat dan bermanfaat bagi manusia.  Supaya mereka menggunakan besi itu.  Allah Maha  mengetahui siapa yang berjuang untuk agama-Nya dan rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa (Q.57:25)

Menurut Mahmoud Muhamed Taha, penggalan ayat diatas yang berbunyi; “Neraca keadilan” berarti hukum yang mengatur hubungan hamba dengan Allah di satu sisi, antar hamba dengan hamba di sisi yang lain. Supaya manusia berdiri diatas keadilan dan jujur dalam segala hal yang berhubungan dengan urusan keduniawian. “Dan Kami ciptakan besi yang membawa kekuatan dan manfaat bagi manusia” menunjukkan bahwa Allah memerintahkan berperang dengan menggunakan pedang demi tujuan menghentikan adanya pelanggaran terhadap hak-hak kemanusiaan. Sehingga pedang tersebut membawa kepada kesadaran dan manfaat yang kembalinya pada hidup manusia itu sendiri. “Dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong agama-Nya dan Rasul-Nya” adalah untuk menunjukkan pengalaman berperang yang pada akhirnya untuk kepentingan manusia di bumi. Karena berperang selain satu hal yang sukar dilakukan, ia merupakan satu hal yang paling dibenci oleh siapapun makhluk hidup di bumi ini sebab perang melahirkan penderitaan yang tiada akhirnya.

Demikian cara berda’wah Nabi, disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat itu dengan dasar keadilan dan kemanusiaan. Lalu kemudian, jika pedang dan berperang di atas diartikan jihad. Dan jihad hanya dimaknai dengan satu kata yaitu perang. Maka, ada kesalahkaprahan yang harus dijelaskan kemudian. Jihad berasal dari akar kata jahada. Akar kata ini kemudian melahirkan tiga kata.  Jihad yang berarti perjuangan dengan otot. Kemudian ijtihad yang berarti perjuangan dengan otak. Mujahadah yang bermakna perjuangan hati nurani, perjuangan spiritual.

Untuk itu, jihad bukan hanya berbentuk perjuangan semata. Kalau toh pada akhirnya kita memutuskan bertempur secara fisik, ada beberapa hal yang bisa digunakan sebagai pertimbangan; Pertama; seberapa besar manfaat yang dilahirkan dari berjihad secara fisik sedangkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita lakukan. Kebodohan, kemiskinan, krisis yang berkepanjangan masih menghimpit kita. Akankah kita tega meninggalkan pekerjaan rumah kita ini. Dalam riwayat, Nabi SAW permah bersabda bahwa; “Tetesan darah syuhada’ dibandingkan dengan tinta mujtahid, itu masih berharga tinta pena.” Betapa Islam sangat menjunjung ilmu pengetahuan dalam rangka meninggikan peradaban manusia, bukan pada pertumpahan darah yang mengerikan.  Kedua; jika kita adalah saudara, maka masih banyak yang dapat kita lakukan sebagai wujud solidaritas kita. Karena bagaimanapun Islam sangat ketat memberlakukan aturan perang seperti; Islam melarang dan sangat mengutuk jika sampai melukai perempuan, anak-anak, orangtua, dan ulama atau pendeta. Islam juga melarang merusak pohon dan merusak bangunan(Qs 5:32). Islam juga melarang orang membunuh karena takut sengsara dan miskin (Qs 17:31). Ditambahkan dalam riwayat Nabi; pasukan Rasulullah tidak boleh membunuh seseorang yang mengucapkan syahadatain. Bahkan ada satu orang yang dimarahi nabi karena bilang; “mereka kan masuk ke dalam gua dan pura-pura mengucapkan kalimat syahadat karena takut dibunuh”. Rasul berkata; “Kita hanya mampu melihat kenyataan ucapannya. Sedangkan hati adalah urusan Allah”.   Ketiga; alangkah bijaksananya jika kita mampu meredam hawa nafsu marah, pemaksaan kehendak dan kecaman yang berlebihan. Kita harus berfikir untuk jangka panjang, kita butuh strategi dan taktik yang matang agar mampu jadi benteng pertahanan. Karena bagaimanapun yang terjadi dalam peperangan, ibaratnya tidak ada yang menang dan yang kalah. Menang jadi arang kalah jadi debu. Untuk itu, selayaknya kita mampu merenungi perkataan Nabi pada waktu perang Badar; “Kalian pulang dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar”. Kata sahabat; “masih adakah jihad yang lebih akbar dari perang Badar ini?”. Ada, perang melawan dii sendiri, perang melawan hawa nafsu.”

Dengan demikian, betapa luasnya makna jihad dalam Islam.  Dan kita selalu diingatkan untuk selalu bijak dalam menilai dan menyikapi sesuatu hal. Selain itu, Islam juga sangat menjunjung tinggi nilai perdamaian, peradaban dan ilmu pengetahuan, selayaknyalah kita sebagai ummatnya mampu mewujudkan hal itu semua. Sebagai ummat perubah dan agen perdamaian dunia. Anna Allaho A’lamu. []

Lisa Noor Humaidah. Mahasiswa SI Fakultas Adab Jurusan Bahasa dan Sastra Arab IAIN Ciputat

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyrights @ LS-ADI Online 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
for further information
mailto:ls-adi@plasa.com