Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia
Edisi 19 Edisi 20 |
Editorial Pendidikan Pendidikan menjadi unsur terpenting dalam membentuk karakter individu masyarakat. Pendidikan merefleksikan tingkah laku moralitas seseorang. Dan ternyata, salah satu hal yang dilahirkan dari sistem pendidikan kita adalah tertanamnya sikap eksklusif dan tertutup pada masyarakat kita. Fenomena ini tertuang dalam realitas masyarakat kita yang terkadang cenderung masa bodoh, tertutup dengan perubahan yang sedang berlangsung terus menerus. Konflik maupun tawuran yang terjadi dalam masyarakat kita adalah salah satu bukti pendidikan hanya sebagai media kesibukan semata bukan menggali ilmu pengetahuan sesungguhnya. Bukan hanya itu, mahalnya biaya pendidikan dengan tuntutan biaya macam-macam menghadapkan pendidikan pada bisnis yang semata-mata untuk mendulang uang. Tidak ada masalah dengan perolehan uang, akan tetapi jika hal ini diimbangi dengan kualitas pendidikan yang mampu memberi ruh kritisisme pada setiap individu masyarakat. Dan kemudian kita harus berlapang dada dengan hasil salah satu penelitian yang menyebutkan kualitas pendidikan kita paling rendah di Asia! Lisa N. Humaidah
Kajian Pendidikan dan pengembangan Masyarakat Muslim Pendidikan dan masyarakat merupakan dua hal yang sulit dipisahkan. Betapapun banyaknya kekecewaan akan hasil pendidikan selama ini, toh orang masih berharap pendidikan mampu berperan sebagai agen perubahan suatu masyarakat. Adolph E. Meyer seorang pakar ilmu sosial mengatakan bahwa antara pendidikan dan masyarakat saling merefleksi. Hubungan antara keduanya bersifat timbal balik. Hal ini berarti perubahan masyarakat akan membawa perubahan pendidikan, begitu sebaliknya, perubahan dalam pendidikan akan membawa perubahan masyarakat. Islam sendiri menempatkan pendidikan di tempat sangat terhormat. Saksinya adalah ayat-ayat alqur’an dan ratusan hadits yang berhubungan dengan pendidikan, terutama yang berhubungan dengan ilmu. Salah satu yang populer adalah: “Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan menuntut ilmu beberapa tingkatan” (QS. 58:11). Ayat ini diperkuat dengan perintah Nabi yang mewajibkan bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu. Hal ini sangat ironis dengan kondisi masyarakat Islam yang dinilai sebagian kalangan sebagai masyarakat yang jauh tertinggal di banding masyarakat lain selain Islam.
Makna Pendidikan Ada ketidaksingkronan antara harapan dan kenyataan menyangkut pendidikan. Kita berharap akan muncul masyarakat yang cerdas, berakhlak mulia, dan peduli terhadap lingkungannya, tapi pada kenyataannya sekolah hanya menghasilkan lulusan-lulusan yang tidak kreatif, bermental penjahat, dan terasing dari masyarakat sekitarnya. Ini menandakan ada masalah dalam pendidikan kita. Ada beberapa problem besar sulitnya mewujudkan pendidikan sebagai agen perubahan masyarakat. Pertama, belum berubahnya paradigma pada masyarakat tentang makna pendidikan. Selama ini, pendidikan dianggap sama dengan sekolah yang lebih menekankan pada proses mendapatkan pengetahuan (pengajaran) atau usaha mengembangkan potensi intelektualitas saja. Padahal, lebih dari itu, yang perlu dikembangkan dari seorang individu mencakup berbagai potensi lain seperti budi pekerti dan pembentukan karakter yang memiliki sifat seperti integritas, kerendahan hati, tenggang rasa, menahan diri, kesetiaan, keadilan, kesabaran, kesederhanaan, dan sebagainya. Yang terakhir ini, tidak dapat dan tidak mungkin dilakukan hanya lewat pengajaran di sekolah. Tetapi juga pendidikan dalam masyarakat individu tersebut, termasuk di dalamnya pendidikan keluarga dan lingkungannnya. Dalam Islam, pendidikan memiliki makna sentral dan berarti proses pencerdasan secara utuh, dalam rangka mencapai sa’adatuddarain, kebahagiaan dunia akhirat, atau keseimbangan materi dan religious-spiritual. Oleh karenanya, untuk menjadi insan kamil seseorang harus memiliki kesempurnaan iman, ilmu, dan amal. Dan untuk mencapai tingkatan tersebut, seorang anak seharusnya tidak dididik di sekolah formal saja tapi juga dalam kehidupan mereka di masyarakat. Kedua, yang termasuk masalah mendasar dari sistem pendidikan di negeri kita berakar pada ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas bangsa. Hal ini ditunjukkan dengan minimnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap pendidikan di lingkungan sekitarnya. Bahkan para orangtua sendiri, entah karena ketidakmengertian mereka atau karena memang tidak mau peduli dengan nasib pendidikan anak-anaknya, menganggap bahwa ‘mendidik’ anak itu hanya berarti mampersiapkan uang sekolah, membelikan seragam, buku-buku, dan perlengkapan belajar lainnya. Padahal, pendidikan tidak hanya sebatas pada hal-hal tadi, tapi juga mencakup kehidupan sehari-hari. Apapun yang terjadi di masyarakat merupakan juga pendidikan dan akan berpengaruh pada perilaku seorang anak.
Pendidikan Islam Sangat disayangkan, mutu pendidikan masyarakat muslim (seperti pada pesantren, sekolah agama, dan lain-lain), yang berfungsi sebagai media pengembangan masyarakat muslim, keadaannya masih sangat memprihatinkan. Baik dari segi metode, manajemen, kurikulum, maupun dari fasilitas penunjang pendidikan. Sebagian pesantren misalnya, entah karena alasan untuk menjaga kemurnian ajaran agama atau karena ketakutan terhadap sebuah perubahan, dalam pendidikannya terkesan tertutup terhadap usaha-usaha pembaruan, penelaahan ulang, apalagi usaha untuk mendekonstruksi “kebenaran-kebenaran” yang telah lama mengakar di dunia pesantren. Implikasi dari ketertutupan dan eksklusivisme ini terwujud dalam tiadanya budaya kritis, analitis, dan reflektif terhadap tradisi pendidikan pesantren. Akibat besarnya, dalam melihat ajaran lain yang berbeda; selalu merasa paling benar dan menganggap ajaran lain salah, apapun alasannya. Bila keadaannya demikian, pendidikan hanya menjadi media perpecahan dalam masyarakat dan telah melenceng dari fungsinya sebagai media pengembangan masyarakat. Untuk itu, dengan semangat yang terkandung dalam kaidah “al-muhafadzah ‘ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah” (membina budaya-budaya klasik yang baik dan terus menggali budaya-budaya baru yang lebih konstruktif), perlu kiranya sebuah usaha membangun kembali segala hal dalam pendidikan Islam. Terutama dalam rangka menjadikan pendidikan Islam sebagai pendidikan yang tanggap terhadap perubahan dan tuntutan zaman, berwawasan masa depan dan berada di garda depan dalam membentuk masyarakat yang terbuka terhadap segala perbedaan. Semua itu tentu memerlukan sebuah kontrol yang dapat membatasi perubahan tersebut untuk tidak keluar dari orientasi, nilai-nilai, dan idealisme yang dibangun sejak awal.
Ahmad Dhiaulhaq. Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Ketua HMI KOMTAR Cabang Ciputat
Khazanah Berkaca dari Negeri Tetangga Indonesia mungkin adalah negara yang jumlah masjidnya terbesar di dunia. Sekadar perbandingan kecil, di Jakarta yang berpenduduk muslim sekitar 8 juta manusia terdapat sekitar 3.000 masjid, ini berarti rasionya 1:2.600, sementara di Singapura yang berpenduduk muslim sekitar 600 ribu terdapat 72 buah masjid (1:8.300). Ini bisa dilihat dari jarak antar masjid di Jakarta yang kadang tak lebih dari 50 meter. Belum lagi belakangan semakin banyak perkantoran atau perusahaan besar yang memiliki masjid sendiri. Sepintas, data di atas cukup menggembirakan, menunjukkan betapa maraknya animo keberagamaan masyarakat Jakarta. Namun jika ditelusuri lebih jauh, animo itu lebih banyak hanya berhenti pada tataran ritual semata, shalat 5 waktu, bahkan terkadang hanya untuk shalat jum’at. Lebih jauh lagi, banyak sekali masjid di Jakarta yang secara fisik mentereng, namun pintunya selalu dikunci, seperti akuarium yang berfungsi sebagai etalase kemegahan hiasan dinding dan aksesori. Mungkin kita bisa bisa berkaca dari Singapura. Di negeri tetangga itu, setiap masjid dikelola dengan manajemen yang rapi, dilengkapi dengan kantor dan ruang pendidikan. Selain itu, masjid-masjid di Singapura juga mengelola ZIS (Zakat, Infak, Sedekah). Selain membantu fakir miskin, lembaga ZIS juga memberi bantuan kematian. Pengumpulan ZIS dilakukan secara online lewat internet. Jadi, para penyumbang tidak perlu lagi ke masjid. Cukup mengakses lewat internet. Setiap masjid di Singapura mempunyai organisasi remaja dan pemuda yang diberi nama Youth Moslem Mosque. Organisasi ini di biayai dari ZIS. Yang menarik, para eksekutif pengelola masjid itu, termasuk khatib dan muadzin, mendapatkan gaji sekitar 1500 dolar Singapura. Bisa dibayangkan kalau setiap masjid di Jakarta mampu mengelola ZIS secara profesional, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Mungkin kita tidak perlu lagi mengerutkan kening menyaksikan kemegahan masjid di tengah rumah-rumah kumuh dan kemiskinan umat. Mungkin kita tidak perlu lagi melihat betapa banyaknya aktivis masjid yang meminta sumbangan ke sana kemari, yang bagi sebagian orang justru dianggap tidak layak; ngecrek di pinggiran jalan raya; menyebarkan kotak amal di bis kota. Tentu saja pengelolaan seperti itu tidak mudah dilaksanakan. Perlu kesadaran segenap kalangan masyarakat Islam, bahwa masjid bukan hanya berfungsi ritual, tapi juga muamalat. Bahwa fungsi yang lebih penting keberadaan masjid adalah fungsi sosialnya; memberdayakan masyarakat, mengentaskan kemiskinan, memperkuat basis perekonomian umat.[] Anick H. Tohari (Catatan: data tentang masjid Singapura disarikan dari Khasanah Republika) | |
I tentang LS-ADI I redaksi I dialog I jaringan I depan I
copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/
Faks. 021-9227463
untuk informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com