Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

Edisi 7

Edisi 8

Edisi 9

Edisi 10

Edisi 11

Edisi 12

Edisi 13

Edisi 14

Edisi 15

Edisi 16

Edisi 17

Edisi 18

Edisi 19

Edisi 20

  Editorial

Demokrasi

Demokrasi dipahami sebagai kedaulatan umat, dimana umat memiliki  kedaulatan dan suara  penuh dalam menentukan pilihan dalam urusan kehidupan maupun  pemerintahannya.

Lalu, apa kaitan Islam dengan  Demokrasi? Salah seorang ilmuwan Barat dengan argumen yang meyakinkan  mengatakan bahwa Islam tidak mengenal Demokrasi karena umat Islam tidak pernah punya pilihan untuk  menentukan nasibnya. Segala macam  urusan,  baik urusan  duniawi yang berhubungan dengan pemerintahan dan aturan dalam masyarakat, sampai urusan ukhrawi diserahkan sepenuhnya  pada ulama dan pemimpinnya. Sehingga ummat Islam seringkali didzolimi dengan pemimpinnya  karena mereka hanya mampu  diam dan tidak bersuara.

Padahal di dalam Al-Qur'an, Allah berfirman pada ummatnya untuk selalu bermusyawarah dalam menentukan dan memecahkan segala macam persoalan. Sejalan dengan itu, Al-Qur'an selalu menekankan untuk mendahulukan kepentingan ummat daripada kepentingan pribadi ataupun golongan.

Untuk itu, sejalan dengan fiman Allah, umat Islam harus mampu bersuara kritis,  menghargai perbedaan, dan  menjunjung  tinggi nilai kemanusiaan.

Lisa NH

 

Kajian


Islam dan Demokrasi

Demokrasi, sebuah kata yang begitu enak diucapkan dan enak dijadikan klaim, namun sulit menjadi kenyataan. Tidak ada orang atau kelompok orang yang mau dikatakan tidak demokratis, bahkan negara yang paling otoriter sekalipun tetap saja mengklaim dirinya demokratis. Kita tentu masih ingat, kata demokrasi selalu menjadi kosa kata penguasa Orde Baru yang menyebut dirinya penganut “Demokrasi Pancasila”  meskipun kehidupan politik yang ditampilkan justru sebaliknya, otoriter. Kalau sudah begini, demokrasi seolah-olah seperti hiasan yang kita pajang di dinding-dinding rumah supaya kelihatan indah, meskipun sebenarnya semangat dari “hiasan” tersebut tidak ada kaitan sama sekali dengan perilaku  yang terjadi dalam rumah tersebut.

Mengaitkan Islam dan demokrasi tidak terlepas dari problem di atas. Sebagai agama yang diyakini  “serba lengkap” dan shalih li kulli zaman wa makan (sesuai untuk segala waktu dan tempat), maka mau tidak mau Islam harus merespon, baik secara konseptual maupun historis atas konsep demokrasi yang berasal dari barat dan karenanya berwajah “sekuler” tersebut.  Inilah yang kemudian menggeser demokrasi dari konsep politik menjadi konsep agama. Dalam pelukan Islam, demokrasi berubah menjadi konsep agama yang berisi ayat-ayat Alqur’an dan Sunnah Nabi SAW. Namun justru di sinilah masalahnya, karena yang muncul kemudian adalah klaim bahwa “Islam sejak kelahirannya sudah menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi”, banyak ayat-ayat yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, egalitarianisme (persamaan), pluralisme (kemajemukan), musyawarah, dan sebagainya, meskipun secara historis sejarah Islam sepanjang zaman terasa jauh dari idealisasi demokrasi.

Salah satu problem besar yang sulit untuk dipertemukan antara Islam dan demokrasi adalah soal sumber kedaulatan. Islam (paling tidak sebagian besar umat Islam) meyakini bahwa sumber kedaulatan berasal dari Tuhan sebagai Zat Yang Maha Tinggi. Segala sesuatu harus tunduk dan ditundukkan di hadapan Tuhan.  Dengan demikian, kalau seseorang menjadi penguasa, pertanggungjawabannya hanya kepada Tuhan, bukan kepada rakyat. Rakyat tidak berhak untuk meminta pertanggungjawaban kepada penguasa. Karena sumber kedaulatan adalah Tuhan, maka seorang penguasa diyakini sebagai “titisan Tuhan”.  Karenanya, segala perilaku dan ucapannya dianggap sebagai perwujudan dari ruh ke-Tuhan-an tersebut. Dari sudut pandang seperti ini, wajar jika dalam tradisi Islam nusantara misalnya, raja mendapat gelar dzillullah fi al-ardh (bayang-bayang Tuhan di bumi).  Paham demikian tentu saja sangat potensial untuk mendorong seorang penguasa berperilaku otoriter atas nama Tuhan.

Berbeda dengan itu, dalam konsep demokrasi sumber kedaulatan adalah manusia. Seseorang diangkat menjadi penguasa karena ia dipilih oleh rakyat, bukan karena dipilih Tuhan. Karena itu, pertaanggungjawaban seorang penguasa dalam negara demokrasi adalah kepada rakyat. Rakyat mempunyai hak untuk mengontrol, meminta pertanggungjawaban, bahkan kalau perlu menurunkannya. Kalau toh ada pertanggungjawaban kepada Tuhan, hal itu bersifat privat (pribadi), tidak dalam bentuk kelembagaan. Perbedaan sumber kedaulatan ini saja akan membawa dampak turunan dalam mengatur kehidupan yang demokratis.

 

Demokrasi: Antara Struktur dan Tradisi

Kehidupan demokrasi pada dasarnya bergerak pada tiga tingkatan. Pertama, pada tingkat grass root, yaitu kehidupan demokratis yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat, mengatur interaksi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Kedua, demokrasi pada tingkat elit, yaitu demokrasi  yang berkaitan dengan perilaku elit. Pada tingkat ini, kehidupan demokratis dapat dilihat sejauh mana negara mempersiapkan seperangkat aturan untuk menegakkan demokrasi, seperti adanya pemilu yang jujur dan adil, institusi peradilan yang independen, lembaga legislatif yang kuat dan seterusnya. Ketiga, suatu sistem yang mengatur bentuk relasi antara masyarakat di satu pihak, dan negara di pihak yang lain.

Dalam kaitan itu, pelaksanaan demokrasi paling tidak membutuhkan dua hal penting, yaitu menyangkut prosedur (aturan main) demokrasi, dan substansi  (inti) demokrasi. Prosedur demokrasi berkaitan dengan ketentuan-ketentuan prosedural yang biasanya tertuang dalam undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Sedangkan substansi demokrasi berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin diperjuangkan dalam demokrasi seperti nilai keadilan, egalitarianisme, penghormatan HAM, pluralisme, dan sebagainya. Dua sisi demokrasi tersebut tidak mungkin dipisah-pisahkan. Pelaksanaan demokrasi yang hanya mementingkan aspek prosedural menjadikannya kehilangan perasaan keadilan masyarakat, sedangkan terlalu mementingkan substansi menjadikannya liar dan tanpa aturan. Dalam kaitan ini kita bisa banyak belajar dari konflik konstitusi yang pernah terjadi antara KH. Abdurrahman Wahid selaku presiden dengan DPR yang berakhir dengan “adu kekuatan”. Konflik tersebut merupakan tarik menarik antara prosedur dan substansi. Jika Gus Dur menggunakan logika substansi, maka DPR menggunakan logika prosedural, demikian pula sebaliknya.

Berkaitan dengan kultur dan tradisi, masyarakat Islam menemukan titik lemahnya. Tradisi Islam bukan tradisi yang demokratis meskipun prinsip-prinsip ajarannya mengandung nilai demokratis, meskipun dalam hal tertentu juga berkaitan dengan aspek doktrinal. Penghormatan atas HAM, termasuk hak untuk pindah agama masih terhambat oleh aspek doktrinal Islam. Demikian pula dengan paham pluralisme agama, oleh sebagian umat Islam, masih dipahami sebagai ancaman doktrinal.

Samuel P. Huntington, dalam salah satu bukunya mengungkapkan bahwa demokrasi sangat jarang tumbuh di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Budha atau Konfusius. Ungkapan ini tentu masih bisa diperdebatkan dengan argumentasi tertentu, namun bagaimanapun harus diakui, di negara-negara muslim tradisi demokrasinya belum tumbuh dengan baik. Pertanyaan menarik yang kemudian harus dijawab adalah bagaimana mungkin sebuah agama yang nilai-nilai ajarannya sangat demokratis, tapi justru dipraktikkan oleh pemeluknya secara otoriter. Jika demikian, apa yang salah dengan umat Islam? Pertanyaan ini saya biarkan terbuka tanpa jawaban agar kita bisa merenung bagaimana menyemai demokrasi dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Meski demikian, umat Islam di Indonesia tidak perlu berkecil hati. Penelitian yang dilakukan Robert W. Hefner (2001) cukup membesarkan hati kita. Menurutnya, demokrasi bukanlah sebuah bangunan khas Barat, namun ia bisa tumbuh di belahan dunia lainnya yang memiliki budaya yang berbeda. Islam, menurutnya, tidaklah bersifat monolitik (berwajah tunggal) tapi mempunyai banyak wajah (dzu wujuh) sesuai dengan bagaimana umat Islam menafsirkannya. Meskipun di satu sisi ada pemahaman yang sangat kaku, tapi di sisi yang lain ada pemahaman yang sangat toleran, terbuka, egaliter, humanis dan inklusif. Wajah ramah Islam demikian inilah yang akan sanggup menjawab tantangan demokrasi secara damai. Wallahu a’lam bi al-shawab.[]

Rumadi. Mahasiswa Pascasarjana (S3) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar, Lakpesdam NU.

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyrights @ LS-ADI Online 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
for further information
mailto:ls-adi@plasa.com