Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

Edisi 7

Edisi 8

Edisi 9

Edisi 10

Edisi 11

Edisi 12

Edisi 13

Edisi 14

Edisi 15

Edisi 16

Edisi 17

Edisi 18

Edisi 19

Edisi 20

  Editorial

Bom

“Islam adalah agama yang toleran, yang menempatkan jiwa manusia dalam rasa hormat yang tinggi dan menganggap serangan terhadap orang yang tak bersalah sebagai dosa yang besar. Islam tidak pernah membolehkan seoang muslim membunuh orang yang tak bersalah dan orang yang tak berdaya”. Demikian kutipan pernyataan Dr. Yusuf Qardhawi dalam satu kesempatan di Doha, Qatar.

Dalam sejarah kelam perkembangan manusia, peperangan dan penghancuran selalu menjadi momok yang mengakibatkan jutaan nyawa manusia mengalami koban dan derita kemanusiaan.

Mungkin kita tidak perlu menyesali mengapa bom diciptakan, karena perkembangan kecerdasan manusia memang meniscayakan itu. Yang mesti kita sesalkan adalah kenyataan bahwa bom itu ternyata juga dimanfaatkan orang yang tidak bertanggung jawab untuk membunuh sesama yang tak bersalah, menghancurkan manusia dan kemanusiaan, serta meluluhlantakkan peradaban yang ia anggap “berbeda”.

Kadang kala memang kita harus menyadari bahwa kemajuan kecerdasan manusia tidak selalu diikuti dengan kemajuan untuk menghargai hak hidup dan kehidupan sesama. Menjadi tugas kita untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan umat.

Anick H. Tohari

 

Kajian


Kebebasan Berpikir: Dari Islam untuk Demokrasi

 

Kisah Seorang Sahabat Nabi

Mu’adz bin Jabal, dalam kisah yang diriwayatkan Bukhari Muslim, adalah salah seorang sahabat yang ditunjuk langsung oleh nabi untuk melaksanakan tugas syi’ar Islam ke negeri Yaman. Sewaktu meminta izin dan restu untuk melaksanakan tugas syiarnya, Mua’dz berdialog dengan nabi. “Wahai Nabi yang mulia, sudikah kiranya engkau memberi petunjuk kepadaku dalam melaksanakan tugas berat ini. Banyak persoalan yang berkembang di Yaman, yang mungkin berbeda jauh dengan kondisi di Mekah. Bagaimana saya harus memutuskan persoalan-persoalan itu?” “Kembalilah kepada firman Allah swt.”, jawab Nabi. “Jika aku tak menemukan sandaran dari firman Allah?”. “Bersandarlah pada sabda-sabda Nabimu”. “Jika dalam sabdamu juga tak kutemukan sandaran untuk memutuskan persoalan?” “Gunakanlah akal pikiranmu, dan bertawakkallah kepada Allah”, jawab Nabi.

Ada beberapa hikmah yang terkandung kisah di atas. Pertama, pernyataan tentang keterbatasan cakupan firman Allah dan sabda Nabi. Pada banyak persoalan, firman Allah dan sabda Nabi merupakan dalil qathi’ yang tak memerlukan penafsiran mendalam. Pada banyak kasus lainnya, firman Allah dan sabda Nabi memerlukan tafsir mendalam agar dapat menjadi dasar persoalan-persoalan yang teramat deras berkembang. Dan pada banyak kasus lagi, beragam persoalan dalam lingkaran sejarah umat manusia sulit sekali diketemukan landasan dalilnya pada firman Allah dan sabda Nabi itu. Maka, “gunakanlah akal-pikiranmu, lalu bertawakkallah kepada Allah”. Inilah yang menjadi hikmah kedua dari kisah di atas, yaitu keterbukaan Islam bagi kebebasan berpikir.

Maka menjadi ironis ketika sebagian masyarakat Islam berusaha keras memasung kebebasan berpikir dan bertindak fanatis, meskipun untuk menyebut bahwa mereka telah melanggar cita-cita sejati Islam seperti dinyatakan Nabi, mungkin juga merupakan pemasungan kebebasan berpikir yang lain. Karena itu, dialog, komunikasi, interaksi intelektual-rasional, dalam semangat ijtihad demi kemajuan Islam sudah seharusnya menjadi agenda mendesak keberagamaan kita. Kita boleh berpikir bebas, namun harus selalu percaya bahwa Allah juga lah yang Maha Benar, penentu kebenaran dan kebatilan. Inilah inti tawakkal kepada Allah setelah kita bekerja keras dengan memanfaatkan akal pikiran kita untuk membuat suatu rumusan solusi terhadap persoalan yang berkembang.

 

Berpikir Bebas dan Kemajuan Islam

Dalam satu episode sejarah, Islam pernah mengalami kemajuan dan menjadi cerita yang melegenda. Hampir setiap disiplin ilmu pengetahuan memiliki tokoh dalam masyarakat Islam waktu itu; kedokteran, sosiologi, sejarah, geografi, filsafat, fisika, perbintangan, teologi, fikih, sastra, spiritualisme, tata negara, matematika, logika dan sebagainya; memiliki referensi hasil karya tokoh-tokoh seperti Ibn Khaldun, Ibn Thufail, al-Biruni, Ibn Majah, Ibn Bajah, Ya’qub al-Fazzari, al-Haytsam, Ibn Hayyan, al-Razi, dan lain-lain. Pendalaman ilmu pengetahuan yang dilandasi semangat berpikir bebas, berpikir secara liberal, inilah, menurut Harun Nasution, yang melatarbelakangi puncak kemajuan Islam itu.

Kebebasan berpikir dengan tetap percaya Allah sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran merupakan kondisi kreatif yang terus dikembangkan masyarakat Islam kala itu.

Kebebasan berpikir mengandaikan suatu pencarian tak berbatas untuk bisa menemukan suatu hakikat kebenaran sejati (al-haqq al-‘aly). Setiap usaha pencarian kebenaran dengan jalan berpikir bebas selalu mendapat penghargaan dalam Islam. Salah atau benar, bukanlah akhir yang harus menghentikan usaha tersebut. Keduanya sama-sama berpahala. Meskipun, kata Nabi, “Barangsiapa berijtihad lalu keliru, dia mendapat pahala (hanya) satu. Dan jika ia berijtihad dan benar, dua pahala layak baginya”. Bayangkan! Jika kita terus berpikir bebas dalam semangat ijtihad itu, lalu salah hingga seribu kali, kita pun akan mendapat pahala seribu pula. Bagaimana jika benar? Dua kali lipat pahala menyertai usaha kita. Maka semakin sering berijtihad, berpikir bebas, semakin banyak pula pahala yang berhasil kita kumpulkan. Itu hitungan matematis.

Namun, berpikir bebas, bukan sekedar persoalan pahala matematis yang individualistik. Ada keinginan untuk terus menampilkan wajah Islam sejati yang bersemangat inovatif. Mengalir deras diiringi gairah berpikir para pemeluknya. Berkompetisi dengan pemeluk agama lain dalam semangat kebaikan (fastabiqu al-khayrât) untuk menghadirkan wajah dunia kita yang lebih maju, damai, humanis, demokratis, penuh kasih sayang, tanpa kekerasan, tanpa terorisme, berkeadilan, dan seterusnya.

Tak mudah memang mewujudkan semangat berpikir bebas menjadi gerakan perubahan seperti itu. Banyak di antara kita dengan klaim berpikir bebas yang sama justru menganggap bisa melakukan pemusnahan, kekerasan, perang, teror, eksploitasi, mengusung pedang, termasuk menerapkannya dalam sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, dan juga agama.

Apa jadinya? Islam di mayoritas belahan bumi negeri Islam lebih tampak sebagai Islam yang kejam, penuh kekerasan, anti demokrasi, kacau balau, dan lebih suka korupsi, kolusi, nepotisme. Semangat tawakkal kepada Allah yang hilang telah menjadikan kebebasan berpikir sebagai alasan bagi kesewenang-wenangan. Kebebasan berpikir justru memunculkan beragam bentuk konflik yang memalukan Islam kita.

 

Kebebasan Berpikir dan Demokrasi

Lalu, bagaimana agar kebebasan berpikir tak menjadi dasar otoritarianisme? Bagaimana kebebasan berpikir justru berkorelasi positif dengan demokrasi? Selain tawakkal yang memutlakkan keyakinan akan Allah sebagai sumber kebenaran, terbiasa berpikir ilmiah dan rasional adalah sisi yang harus disertakan dalam berpikir bebas. Berpikir ilmiah dan rasional mengharuskan kita memandang secara kritis tanpa sinis terhadap pandangan bebas lain yang berbeda. Berpikir ilmiah dan rasional tak harus kaku. Ambillah pesan Jurgen Habermas, tokoh Jerman yang non-Muslim, bahwa rasionalitas dan ilmiah adalah sikap kita, rasa kita, orientasi kita yang manusiawi, yang independen dan merdeka, untuk menentukan kebenaran dan humanisme.

Dalam suasana berpikir bebas dan bertanggungjawab itu, jalan pintas demokrasi sampai terbentuknya cita-cita masyarakat madani bukan mustahil terwujud. Tinggal kita mau atau tidak memulainya saat ini juga. Apakah sekelumit kisah Muaz dan cerita kejayaan Islam tak cukup memberi inspirasi? Wallahu ‘alam.

 

Farid Muttaqin, menyelesaikan S1 di Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta, dan bekerja pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui Yayasan Puan Amal Hayati, Ciganjur, Jakarta

 

Liputan


Yayasan Masjid Al-Ikhlas: Pendidikan Go Internasional Berbasis Masjid

Melihat sekilas gedung masjid yang megah berlantai dua dan dikelilingi gedung  sekolah, kita akan membayangkan bahwa masjid ini didirikan belakangan untuk memfasilitasi siswa sekolah tersebut. Namun kita akan terperangah jika mengetahui bahwa gedung-gedung sekolah itulah yang muncul belakangan, sebagai pengembangan dari masjid yang dibangun lebih dulu.

Berdiri sebagai Yayasan Masjid Al-Ikhlas (YMAI) pada tanggal 11 April 1967, masjid Al-Ikhlas yang berlokasi di Cipete Jakarta Selatan adalah masjid biasa yang didirikan hanya sebagai tempat peribadatan. Para pendiri masjid ketika itu tidak bermaksud untuk mendirikan lembaga-lembaga apapun di sekitar masjid. Ini karena di sekitar masjid sudah ada beberapa sekolah, di antaranya SMPN 68 dan SD Yapenka. Tetapi ketika pengurus masjid melihat aula masjid tidak terpakai maka tecetuslah sebuah gagasan untuk mendirikan Taman Kanak-Kanak di aula tersebut. Sambutan masyarakat terhadap Taman Kanak-Kanak Al-Ikhlas ternyata sangat menggembirakan sehingga murid TK Al-Ikhlas semakin hari semakin bertambah banyak. Maka di buatlah gedung TK di halaman masjid.

Melihat animo masyarakat yang cukup tinggi, pada tahun 1979 pengurus yayasan memutuskan untuk mendirikan SD atas beberapa usulan para wali murid TK Al-Ikhlas. Dengan menggunakan kurikulum sendiri yang mengacu pada konsep kesatuan masjid dan sekolah, SD Islam Al-Ikhlas berkembang dengan pesat dan hingga sekarang beberapa muridnya tercatat sebagai peraih NEM tertinggi di Jakarta.

Tidak cukup sampai di situ, pada tahun 1987 YMAI meneruskan kegiatannya dengan menyelenggarakan pendidikan SLTP Islam Al-Ikhlas. Untuk kepentingan tersebut, YMAI membangun gedung bertingkat dua, berseberangan dengan kompleks masjid. Sebetulnya YMAI pun sudah merencanakan untuk menyelenggarakan pendidikan SMU juga. Tetapi karena kekhawatiran beberapa pengurus tentang peliknya permasalahan remaja, maka usaha tersebut ditunda dengan lebih meningkatkan mutu lembaga-lembaga pendidikan yang telah ada. Saat ini, lembaga yang menempati ruas tanah seluas 10.891 m2  tersebut memiliki jumlah siswa TK mencapai 272 orang, siswa SD 998 orang dan siswa SLTP 358 orang.

Selain bidang pendidikan, YMAI pun melakukan kegiatannya dalam bidang pengembangan masjid dan bidang kemasyarakatan. Bidang pengembangan masjid bertujuan membangan jamaah yang kokoh dalam memakmurkan masjid dengan melaksanakan pengajian dan kajian-kajian keagamaan bagi masyarakat, serta menyelengggarakan kursus dan pelatihan; seperti pelatihan kepribadian dan tata boga. Melalui bidang kemasyarakatan YMAI melaksanakan kegiatan sosial dengan menjadi bapak asuh bagi 85 orang anak dan menghimpun santunan-santuanan bagi kaum dhuafa.

Menghadapi persaingan global, menurut H. Suratno, S.Sos, Ketua Bidang Pendidikan, YMAI memiliki visi untuk bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain, bahkan lembaga pendidikan manca negara yang belakangan kian menjamur di Indonesia. Saat ini pun YMAI telah mendapatkan permintaan agar YMAI membuka sekolah-sekolah cabang dari Bumi Wisata Cibubur, Bukit Sentul, dan Lippo Cikarang. Di tengah rendahnya mutu pendidikan di Indonesia secara umum, tentu saja keberhasilan ini sangat menggembirakan dan patut dicontoh oleh masjid-masjid lain. Dengan begitu umat Islam tidak lagi menjadi katak dalam tempurung.

Irvan A. Fauzi

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyrights @ LS-ADI Online 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
for further information
mailto:ls-adi@plasa.com