Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

Edisi 7

Edisi 8

Edisi 9

Edisi 10

Edisi 11

Edisi 12

Edisi 13

Edisi 14

Edisi 15

Edisi 16

Edisi 17

Edisi 18

Edisi 19

Edisi 20

  Editorial

Sang Pembebas

 

“Agama itu mudah”. Demikian sabda rosul satu ketika. Pada kalimat ini Nabi hendak menjelaskan betapa hidup dengan memegang teguh ajaran agama tidak mempersulit gerak seseorang. Agama tidak menjebak manusia untuk terikat dalam kesulitan-kesulitan hidup.

Addinu Yusrun, demikian bunyi asli hadis ini, memberikan gambaran bahwa agama telah begitu sempurna memberikan garis-garis kehidupan ke arah yang dicita-citakan manusia. Penuh kedamaian dan ketenteraman. Ia memberikan kebebasan manusia untuk berekspresi dalam kemerdekaan yang ditumbuhi nilai-nilai kemanusiaan. Ramah lingkungan dan menciptakan persamaan yang seimbangan di antara manusia. Tidak ada lagi keresahan yang saling mencuigai dan mempecundangi.

Agama memberikan keluasan untuk berpikir demi kemaslahatan. Ia tidak menjebak manusia dalam rutinitas ritual, tetapi juga memberikan makna spiritual yang menyemangati naluri ilahiyyahnya sebagai hamba yang taat dan saling mengasihi.

Dengan kemudahan yang diberikan di sini tidak bisa lalu diterjemahkan dengan memudahkan segala sesuatu. Bahwa kemudahan itu lalu diselewengkan dengan kebebasan yang tiada batas.

Jika manusia telah dirasuki oleh pemahaman seperti ini, maka rahmatan lil alamin hanyalah sebuah kalimat yang layak dimuseumkan saja. Dan pada akhirnya, hanya naluri hawa nafsu yang mementingkan kepentingan pribadi saja yang muncul, mengalahkan kepedulian sesama.

A. Ilham Auva

 

Kajian


Agama dan Pembebasan

Dalam kisah-kisah sufistik terdapat sebuah kisah yang menceritakan seorang perempuan pekerja seks yang masuk syurga hanya karena ia pernah memberi minum seekor anjing yang kehausan. Apa  makna dari kisah tersebut? Bahwa agama yang dalam bahasa Arab berasal dari kata "dien" tidak saja berarti tunduk dan patuh. Agama juga bermakna pembebasan. Agama yang di dalamnya termuat syariat-syariat untuk menjalankan perintah-Nya juga termuat ajaran-ajaran untuk berbuat baik pada sesama. Termasuk di dalamnya terhadap seekor anjing sekalipun.

Pembebasan adalah jalan yang mengeluarkan diri kita dari kungkungan kebodohan dan kelemahan.   Kebebasan pada agama dapat dilihat dalam tiga aspek. Aspek pertama adalah pembebasan dalam bidang  tauhid. Pembebasan dalam hal ini dapat dilihat pada perjuangan awal  Nabi Ibrahim  as. dalam mencari Tuhan. Perjuangan nabi Ibrahim yang mengantarkannya pada ajaran tauhid ini memberi implikasi bahwa tiada yang patut mendapat sembah kecuali Yang Maha Satu,  Tuhan penguasa seluruh alam,  karenanya kemudian segala wujud  dan benda yang dapat menghalangi persembahan ini harus disingkirkan. Termasuk didalamnya menghancurkan berhala-berhala yang disediakan oleh penguasa Namrud. Dia  yang berupaya membelokkan persekutuan  manusia dengan Tuhan yang hakiki.

Pembebasan agama aspek kedua adalah pembebasan dalam bidang  sosial. Pembebasan ini dapat dilihat pada perjuangan para nabi sesudah Ibrahim as. Pengangkatan Nabi Musa as. sebagai rasul bagi bani Israel selain untuk menyebarkan agama Yahudi juga dimaksudkan sebagai pembebas bani Israel yang selama bertahun-tahun menjadi budak dan mengalami ketertindasan penguasa Firaun di Mesir. Demikian halnya dengan Isa as. yang diutus bagi rakyat Yerussalem. Ajaran kasih yang disampaikannya memberi kesejukan yang berarti bagi kemelaratan dan tindak kesewenang-wenangan penguasa  Romawi masa itu yang sangat haus akan kemewahan dan kekuasaan duniawi.

Sebagai utusan terakhir,  Muhammad saw. juga mengemban misi yang sama. Kaum Arab masa itu berada dalam era yang memprihatinkan. Perang antar suku untuk memperebutkan harta dan kekuasaan senantiasa terjadi. Selain itu walau bangsa Arab telah terkenal dengan para penyair-penyairnya yang mengagumkan namun sebagian besar dari mereka buta huruf. Tradisi sastra yang berkembang masa itu adalah sastra lisan dan bukan tulisan. Hingga masa itu dikenal dengan masa jahiliyyah (masa kebodohan). Sangatlah tepat kiranya bila wahyu yang pertama kali turun berupa perintah pada Nabi Muhammad saw. dan umatnya kemudian untuk banyak-banyak membaca. "Iqra!" Bacalah! (Qs. Al-alaq 1-5).

Kehidupan spiritual bangsa Arab masa itu lebih memprihatinkan lagi. Mereka menyembah ratusan berhala setiap harinya. Kehidupan  mereka  sangat dipengaruhi oleh tahayul dan  ahli-ahli nujum yang menyesatkan. Yang tak kalah menyedihkan adalah kehidupan para budak dan kaum perempuan yang tidak mempunyai kebebasan. Kehidupan mereka terkungkung pada kekuasaan para tuan yang menguasai mereka. Untuk melakukan perubahan pada sistem sosial yang telah bobrok itulah Muhammad saw. diutus.

Pembebasan yang dilakukan oleh Muhammad Saw. meliputi tidak saja dimensi teologis dengan melakukan pemurnian kembali ajaran tauhid namun juga meliputi bidang sosial. Pembebasan terhadap para budak dilakukan. Momen yang paling penting dari pembebasan terhadap budak yang dilakukan saat itu adalah diangkatnya Bilal bin Rabah, seorang budak berkulit hitam, sebagai seorang muadzin.  Jabatan sebagai muadzin merupakan jabatan yang penting karena ia menjadi penyeru bagi umat Islam untuk melakukan shalat.

Pembebasan lain yang dilakukan adalah ditempatkannya status perempuan pada taraf yang lebih tinggi. Dalam salah satu hadistnya Nabi Saw. pernah bersabda  bahwa posisi seorang ibu tiga kali lebih tinggi dari dari kedudukan ayah. Derajat seorang ibu juga ditinggikan dengan mengatakan bahwa syurga terletak dibawah telapak kaki ibu.  Selain itu dalam hal pendidikan,  peran perempuan juga ditempatkan setara dengan laki-laki. Diantara para perawi hadits terdapat nama-nama seperti Aisyah RA. dan Umi Kulsum. Kaum perempuan tidak dibedakan dalam kesempatan memperoleh pengetahuan. Mereka dapat duduk bersama-sama dengan kaum laki-laki untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan.

Perubahan sosial lain yang dilakukan menyangkut juga bidang ekonomi. Dalam sistem jual beli diharamkan adanya riba dan praktek monopoli. (Qs. Al-Baqarah, 275-278). Agama Islam yang berarti keselamatan bagi semua (rahmat lil alamin) juga menganjurkan diadakannya sedekah dan zakat bagi orang-orang mampu untuk membantu saudara-saudaranya yang hidup kekurangan.

Terakhir, dimensi pembebasan agama termaktub dalam aspek individual. Ajaran-ajaran agama senantiasa mengajarkan pada pemeluknya untuk melakukan penyucian hati. Al-Qur'an melarang umatnya untuk bersifat dengki dan iri hati.  Selain itu perbuatan fasad (pengrusakan) tidak dibenarkan. (Qs. Al-Maidah, 33). Demikian halnya dengan tindak individu yang dapat merugikan orang lain. Bukankah Nabi Saw. pernah melarang pembangunan tembok rumah yang terlalu tinggi hingga dapat menghalangi tetangga di sebelahnya untuk mendapatkan udara segar? []

Syafaatun Kariadi. Alumni Perbandingan Agama Fakultas Ushuhuluddin UIN Jakarta, S2 di Politik Universitas Indonesia

 

Liputan


Masjid Jami At-taqwa: Masjid Ngecrek Sepanjang Tahun

Di tengah sibuknya buruh bangunan merenovasi  Masjid Jami’ At-taqwa, terdapat kesibukan lain yang mewarnai kegiatan masjid ini setiap hari. Kesibukan ini menciptakan keunikan tersendiri dari masjid ini. Keunikan tersebut bukan terlihat dari desain bangunannya, akan tetapi dari segi kegiatannya. Sudah hampir sepuluh tahun lebih masjid ini ngecrek untuk merenovasi bangunan masjidnya.

Masjid yang terletak di jalan kampung Pitara raya km 20 Pancoranmas Depok I ini  didirikan pada tahun 1983. Masjid ini merupakan wakaf dari seorang ulama setempat. Karena melihat bangunan yang sudah tidak layak lagi sebagai tempat ibadah, di tahun 1991, pengurus Masjid berkeinginan merenovasi bentuk bangunan sekaligus menyempurnakannya. Menindaklanjuti ide tersebut, didirikanlah sebuah Yayasan bernama Sirojul Athfal yang bergerak pada bidang pendidikan. Bersamaan dengan itu didirikan pula Taman Pendidikan Alquran, Madrasah Ibtidaiyah dan SMP Islam. Anggaran untuk renovasi direncanakan sebesar 1 miliyar rupiah. Dijadwalkan pembangunan itu selesai dalam tujuh tahun. Tetapi sepuluh tahun berselang pembangunan itu belum menampakkan hasilnya.

H. Hamid yang dipercaya sebagai ketua DKM (Dewan Kesejahteraan Masjid) mengatakan bahwa biaya renovasi masjid ini merupakan hasil dari amal jariyah masyarakat sekitar dan selebihnya hasil dari tim amal jariyah. Tim amal jariyah ini lalu mengumpulkan anak-anak sekolah yang ditugaskan setiap hari pergi mencari dana dengan menggunakan kotak amal.

Hal ini ditempuh karena Pemda setempat sepertinya tidak mau tahu dengan keadaan Masjid  ini. Pernah suatu kali Pengurus masjid Jami’ datang ke Pemda untuk meminta bantuan, oleh Pemda kedatangan para pengurus ini ditanggapi dengan dingin. Bahkan Kantor Kelurahan yang tidak jauh letaknya dari masjid hanya memberikan uang sebesar Rp.200.000 rupiah. Itupun atas nama pribadi.

Melihat kondisi ini, dengan semangat ihya’ul masjid para pengurus disertai para aktivis masjidnya hari demi hari terus melakukan kegiatan ngecrek di sepanjang Jalan Kampung Pitara. Dengan meletakkan kotak amal di tengah jalan disertai pengeras suara, mereka terus menggugah kesadaran masyarakat sekitar, terutama pengguna jalan yang melalui masjid itu.

Fenomena ngecrek ini memang belakangan cukup menggejala dan menjadi alternatif untuk mempeoleh sumbangan dari masyarakat luas. Di satu sisi, minimnya kesadaran masyarakat menjadi pembenaran dari kegiatan ini. Namun di sisi lain, banyak kalangan Islam sendiri yang menyayangkan kegiatan ini sebagai kegiatan yang justru menurunkan citra sosial masyarakat Islam. Di samping menunjukkan kegagalan konsep zakat dan sedekah di kalangan Islam, fenomena ini dalam banyak kasus juga mengabukan makna emakmurkan masjid  menjadi hanya sekedar membuat masjid menjadi egah secara fisik.

Hal lain yang tidak kalah memprihatinkan adalah kenyataan bahwa ngecrek ini membuka peluang politisasi agama. Beberapa laporan di media massa, misalnya, mensinyalir banyaknya lembaga-lembaga fiktif yang dipakai oleh pengecrek di bus-bus kota Jakarta: mulai dari masjid, lembaga pendidikan, sampai lembaga penyantunan anak yatim. Jika laporan ini benar, memang patut disayangkan. Ini akan menambah rentetan argumentasi politisasi agama di kalangan Islam. Bahwa menggunakan agama sebagai komoditas politik tidak hanya dilakukan oleh kalangan elit kita, tapi juga di kalangan masyarakat awah.

Semoga kecenderungan seperti itu tidak terjadi di masjid Attaqwa. Juga di kalangan Islam secara umum.

M. Istijar

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
for further information
mailto:ls-adi@plasa.com