Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

Edisi 7

Edisi 8

Edisi 9

Edisi 10

Edisi 11

Edisi 12

Edisi 13

Edisi 14

Edisi 15

Edisi 16

Edisi 17

Edisi 18

Edisi 19

Edisi 20

Edisi 21

Edisi 22

Edisi 23

Edisi 24

Edisi 25

Edisi 26

Edisi 27

Edisi 28

Edisi 29

Edisi 30

Edisi 31

Edisi 32

Edisi 33

Edisi 34

  Editorial

Bahasa

Pernahkah terbayang di benak Anda, jika saat itu al-Quran diturunkan di Indonesia, apa jadinya? Tentu saja al-Quran akan berujud teks berbahasa Indonesia. Dan Indonesia akan tercatat dalam sejarah sebagai tanah kelahiran Nabi Muhammad Saw.

Tentu saja konteks sejarah Arab juga turut mewarnai “rasa bahasa” al-Quran. Dan rasa bahasa ini yang sepertinya tidak banyak dipelajari oleh kita. Bahkan konon, saking tingginya penghormatan terhadap al-Quran, ada sebagian orang yang menganggap setiap tulisan Arab sama sakralnya dengan al-Quran.

“Berbeda antara orang berilmu dengan tidak berilmu,” demikian mafhum muwafaqah dari pertanyaan retorik Allah dalam salah satu firmannya. Tentu tulisan ini bukan bermaksud menyepelekan bahasa Arab. Justru karena kita orang Indonesia, mempelajari bahasa Arab menjadi bagian penting dari upaya memahami al-Quran secara utuh. Agar kita tidak terjebak untuk lebih mementingkan wujud teksnya daripada kandungan isinya.

Tradisi sastra Arab yang sangat tinggi ketika al-Quran diturunkan, sudah semestinya membuat kita berhati-hati memaknai teks al-Quran. Karena di balik teks yang bisa kita tangkap secara literal, permukaan, terkandung konteks sejarah dan rasa bahasa itu. Karena sifat universal al-Quran bisa kita pertahankan justru ketika kita paham konteks ketika al-Quran tersebut diturunkan.[]

anick h. tohari

 

Kajian


Mengelola ZIS Profesional Berbasis Masjid

Kedermawanan, jiwa sosial, adalah satu hal yang dibutuhkan. Apalagi di tengah kondisi bangsa yang sedang mengalami krisis seperti sekarang, sifat menolong dan peduli sesama merupakan keharusan. Malah, ada yang mengatakan bahwa pembuktian kita sebagai makhluk sosial terletak pada kepedulian kita terhadap teman, kerabat, saudara kita yang lain yang sedang ditimpa kesulitan.

Zakat, infak, dan shadakoh (ZIS) adalah salah satu manifestasi beragama umat Islam. Dengan ZIS umat diajari untuk mendistribusikan kekayaan yang mereka miliki. Selain merupakan kewajiban agama,  ZIS juga merupakan potensi sosial umat yang bila dimanfaatkan secara maksimal dapat berguna dan dirasakan oleh umat secara maksimal pula. Besarnya potensi ZIS tersebut dapat dilihat dari pendapatan hasil zakat di seluruh Indonesia yang mencapai 3,5 trilyun per tahunnya (Hasil Penelitian PIRAC; 2001). Demikian juga Dompet Dhuafa salah satu lembaga pengelola ZIS menyebutkan memperoleh dana sebesar 23 milyar pada tahun 2002 dari hasil zakat, kurban, dan penggalangan dana sosial yang lain. Data ini tentu saja menakjubkan, di tengah situasi krisis yang menimpa bangsa ini, masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam masih memiliki jiwa sosial yang tinggi untuk membantu saudaranya yang lain.

 Tetapi, besarnya potensi kedermawanan sosial umat Islam melalui ZIS ini masih menjadi persoalan. Hamid Abidin, peneliti PIRAC, menyebutkan potensi dana lokal yang ada dalam masyarakat besar, tetapi belum ada upaya optimal untuk melakukan penggalian dana tersebut. Pun juga di tengah potensi yang begitu besar dari umat Islam, pengelolaan zakat, infak, dan shodaqoh ini dirasa masih kurang mendapatkan penanganan yang profesional.

Bicara tentang profesional, M. Arifin, coorporate secretary Dompet Dhuafa mengatakan persoalan terpenting yang harus dilakukan dalam rangka mengelola zakat adalah aspek penghimpunan dan pendayagunaan. Zakat, yang mempunyai fungsi sebagai katub asuransi umat seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal dengan tidak hanya menekankan pada sisi penghimpunan dana, tapi juga bagaimana dana ZIS tidak digunakan pada bidang-bidang yang konsumtif saja tetapi melakukan pemberdayaan umat melalui usaha-usaha yang produktif, seperti pemberian modal usaha dan sebagainya. Hal tersebut diamini oleh Amelia Fauziah, peneliti dari Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sedang melakukan penelitian Islamic Philantropy for Social Justice. Penelitian ini bertujuan melihat seberapa besar efektifitas dana ZIS di enam negara termasuk Indonesia. Amelia kemudian menyebutkan kecenderungan masyarakat untuk memberikan ZIS hanya berdasarkan kewajiban dan keinginan untuk menyumbang saja, tanpa diiringi oleh manajemen yang profesional untuk mengelola dana tersebut menjadi lebih produktif dan berorientasi jangka panjang bagi umat.

Pengelolaan dana ZIS yang profesional membutuhkan lembaga yang juga profesional.  Bagaimana jika memanfaatkan masjid. Masjid memiliki peran strategis dalam masyarakat. Setiap tahun hampir selalu masjid mengadakan aktivitas rutin seperti penghimpunan dan pendistribusian zakat fitrah. Hamid mengiyakan, potensi menyumbang berbentuk ZIS oleh masyarakat kepada masjid sangat besar. Hal ini diantaranya dibuktikan melalui penelitian yang telah dia lakukan menyebutkan 98% motivasi masyarakat menyumbang dikarenakan melaksanakan ajaran agama. Dari sini bisa dilihat betapa kedermawanan sosial masyarakat yang berbasis keagamaan mestinya diimbangi oleh berdirinya lembaga yang mempunyai legitimasi keagamaan seperti masjid, yang mampu melakukan pengelolaan zakat yang mempunyai fungsi sosial yang lebih luas. Amelia menambahkan disini bahwa kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat luas seharusnya dimanfaatkan oleh masjid untuk mengelola ZIS secara profesional.

Tapi, kepercayaan saja tidak cukup. Menurut Arifin bila masjid ingin difungsikan sebagai lembaga pengelola zakat secara profesional masjid harus memiliki paradigma zakat yang jelas. Fungsi melakukan penghimpunan dana dari masyarakat serta “memasarkan” dana tersebut untuk kepentingan umat yang lebih luas harus dipahami oleh para pengelola zakat. Di samping itu, Arifin juga menambahkan pentingnya lembaga amil zakat untuk melakukan inovasi-inovasi baru pendistribusian zakat supaya lebih bermanfaat dan berguna bagi umat. Apa yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa dengan mendirikan rumah sakit dan sekolah gratis dari hasil zakat adalah contoh inovasi pendistribusian zakat.

Hamid kemudian mencontohkan metode pengelolaan zakat melalui masjid yang dinilainya konvensional, walaupun ada beberapa masjid yang sudah memulai melakukan manajemen zakat secara profesional. Hamid menganggap pengelolaan zakat seharusnya tidak melulu berdasarkan ketentuan agama yang kaku dan dogmatis. Inovasi-inovasi baru seperti pengelolaan zakat dengan melalui teknik penggalangan dana melalui usaha, kampanye media, sosialisasi, pendekatan individu bisa dilakukan untuk menarik orang agar mengeluarkan zakat. Adapun beberapa syarat yang mesti dipenuhi oleh masjid yang ingin mengelola zakat secara profesional adalah pertama, perlunya pengetahuan yang menyeluruh tentang fungsi, pemanfaatan, dan kebutuhan zakat bagi masyarakat berdasarkan kebutuhan-kebutuhan riil di tengah masyarakat. Kedua, transparansi dan pertanggungjawaban publik terhadap dana-dana zakat yang diperoleh. Ketiga, adanya mekanisme kontrol dari masyarakat guna mencegah lembaga zakat menjadi lembaga koruptor baru.

Terakhir, masjid yang memiliki potensi signifikan diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pemberdayaan umat secara luas. Manajemen ZIS secara profesional adalah salah satu dari fungsi sosial keagamaan masjid yang ke depan membutuhkan perhatian serius dari umat Islam.  Wassalam.

 

Disarikan dari hasil wawancara oleh Dani Setiawan

 

 

 

Liputan


 

Tidak Dipercaya: “Bapak Asuh” Dicari

Remaja masjid memiliki potensi besar untuk terus dikembangkan dan dibina bagi kesinambungan organisasi dan kegiatannya. Keberadaan mereka bukan hanya kebanggaan akan tetapi bagian dari masa depan umat. Selayaknya, pihak-pihak yang beraktifitas di masjid turut mendukung dan memberikan sumbangsih bagi perkembangan mereka. Selain kekompakan dan manejemen remaja masjid itu sendiri,  mereka juga membutuhkan dorongan, nasehat, juga yang paling penting kepercayaan.

Namun, apa yang terjadi bila remaja masjid  tidak mendapat kepercayaan penuh dalam melaksanakan kegiatan dari orang tua masjid? Bila terjadi konflik tersembunyi antar remaja masjid dengan pengurus masjid? Bila selalu diatur dan mengikuti kehendak pengurus masjid? Bila kegiatan selalu terhambat hanya karena izin tempat? Bila pembina remaja masjid selalu sibuk? Kita tentu dapat membayangkan persoalan ini akan mengganggu ritme kegiatan mereka. Betapa bingungnya saat tidak ada tempat untuk berkomunikasi, matinya jalan solusi. Mungkin efek terburuknya mereka akan segera membubarkan diri.

Banyak organisasi remaja masjid yang memiliki masalah seperti itu, diantaranya yang dialami oleh Ikatan Remaja Islam Masjid Nurul Iman (IRIMNI) yang terletak di Jl. al-Barkah I, Rawa Buaya, Cengkareng. IRIMNI yang setahun terakhir memiliki kegiatan yang cukup padat, dari pengajian hingga diskusi bulanan, kini kegiatannya harus tiarap, segala asa yang dipertahankan kini hancur, ide yang selalu bertentangan dengan pengurus masjid membuat mereka enggan untuk melaksanakan kegiatan lagi.

“Kekecewaan awalnya muncul sejak setahun lalu saat terjadi bencana banjir, sampai kemudian kepanitiaan kecil selalu dicampuri” keluh Indra Hidayat, ketua IRIMNI. Indra menceritakan, saat terjadi banjir, anggota IRIMNI dengan kompak mengontak jaringan di wilayah lain guna mencari bantuan sembako untuk korban banjir, namun setelah didapat, mereka menjadi orang yang disuruh-suruh oleh para orang tua bahkan mereka tidak mengetahui banyak proses distribusinya. Namun, karena niat yang ikhlas meski wilayah masjid tidak lagi digenangi air, mereka terus menyalurkan bantuan hasil kerjasama dengan Dompet Dhuafa Republika. Selain itu Indra bertutur, saat diskusi bulanan antar remaja masjid di Masjid Nurul Iman, pihak masjid hanya datang sekali saja dan selanjutnya tak pernah datang. Kasus yang lain dalam kepanitiaan kecil mereka selalu direcokin.

Dari persoalan-persoalan ini Indra dan teman-teman remaja masjid kemudian merasa tidak adanya kepercayaan dan campur tangan yang berlebihan dari pengurus masjid pada mereka. Setiap mereka ingin menyelesaikan atau berkomunikasi lebih intens pembina selalu sibuk.

Waktu saya konfirmasikan hal ini pada H. Sueb pembina IRIMNI, dia berkata; “ kalau masalah kepercayaan tetap percaya dengan keberadaan mereka.” Bagaimana soal campur tangan yang berlebihan, tanya saya. “ setiap kegiatan kan harus dikonsultasikan ke rapat pengurus masjid, dan itu bukan hanya saya yang memutuskan”. Mengapa mereka tidak diberi wewenang sepenuhnya saja, tanya saya. “ Setiap kegiatan kan harus dipertimbangkan baik buruknya dan itu harus ada batasan-batasnnya.”

Indra menyatakan keinginan bisa terlepas dari persoalan ini. Akan tetapi semakin hari tidak menampakkan perkembangan yang menyenangkan karena pada kenyatannya tiap rapat anggota IRIMNI selalu ditekan. Akhirnya, dengan semangat yang tersisa mereka mulai melaksanakan kegiatan sendiri. Alternatifnya mereka mencari “bapak asuh” sebagai tempat mereka bercerita, konsultasi dan pemberi dorongan semangat bagi mereka, “Orang yang tidak terlalu bersikap ke orang tua tapi juga tidak terlalu ke anak muda”, ujar Indra.

Dari sini kita bisa berkaca dari pengalaman teman-teman IRIMNI ini bagaimana kemudian membangun komunikasi dan kepercayaan sangat penting bagi kelanjutan sebuah organisasi semacam remaja masjid. Yang tua seharusnya dengan bijak menurunkan pengalaman hidupnya tanpa harus mematikan kreativitas yang muda. Yang muda dapat menyerap pengalaman orang tua tanpa harus merasa dibatasi  kreatifitas dan ruang gerak mereka.

 

M. Nur Mekkah, LS-ADI

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
untuk informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com