Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

Edisi 7

Edisi 8

Edisi 9

Edisi 10

Edisi 11

Edisi 12

Edisi 13

Edisi 14

Edisi 15

Edisi 16

Edisi 17

Edisi 18

Edisi 19

Edisi 20

Edisi 21

Edisi 22

Edisi 23

Edisi 24

Edisi 25

Edisi 26

Edisi 27

Edisi 28

Edisi 29

Edisi 30

Edisi 31

Edisi 32

Edisi 33

Edisi 34

Edisi 35

  Editorial

Keterbatasan

Apa yang terbersit di benak Anda ketika muncul berita penyakit yang mematikan, SARS (severe acute respiratory syndrome)? Penyakit serangan pernafasan akut ini lebih menakutkan daripada perang yang melanda di Irak sana. Tak tanggung-tanggung, beberapa lini vital bisnis ekonomi seperti pariwisata dunia terkena imbasnya. Inilah salah satu fenomena dunia global. Bukan hanya informasi dan peristiwa aktual yang terjadi di belahan dunia sana yang bisa dengan mudah kita rasakan di depan mata, penyakitpun yang sangat abstrak sifatnya begitu mudah bersemayam di tubuh kita yang berada di belahan bumi yang berbeda dari tempat asalnya.

Satu hal yang mungkin membuat kita sadar bahwa perang tidak hanya dimaknai secara fisik atau dengan mengangkat senjata saja. ketakutan yang menyerang kepercayaan dan kemampuan manusia ini juga termasuk dalam kategori perang.

Banyak orang bilang ini musibah, peringatan dari Yang Mahakuasa. Menurut saya memang tidak salah, karena di atas segalanya ada yang lebih berkuasa. Tapi satu hal, inilah konsekuensi dari ilmu dan pengetahuan yang diciptakan manusia. Ilmu dan pengetahuan yang sengaja diciptakan untuk menyingkap fenomena misteri alam. Dan tidak bisa dipungkiri, manusia memiliki keterbatasan, sebab al-Qur’an telah mengatakan; seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut menjadi tinta, ditambahkan kepadanya tujuh laut lagi sesudah keringnya, niscaya tidak akan habis-habisnya dituliskan ilmu Allah.  Untuk itulah manusia kembali dituntut untuk mencipta dan mencipta demi kemaslahatan umat yang paling utama. Anna Allah A’lam.

Lisa NH

 

Kajian


Membaca; Mengubah Dunia

Sungguh agung ayat al-Quran yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad Saw: Iqra’, bacalah. Sepintas, ironi muncul saat itu, mengingat Nabi dikenal sebagai ummi, tidak mampu membaca dan menulis. Lewat penjelasan Jibril dan interpretasi banyak ulama kemudian setidaknya kita bisa mengambil dua hal: pertama, membaca tidak harus bermakna denotatif, mengeja huruf demi huruf. Membaca bisa juga memandang, mempelajari, memahami, menghayati realitas. Kedua, membaca adalah titik yang paling dasar dari tradisi keilmuan manusia. Islam mengangkat tinggi tradisi keilmuan yang merupakan perangkat dasar kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan manusia. Tanpa “membaca”, manusia akan mengalami stagnasi yang memprihatinkan dan kejumudan berpikir. Tulisan ini mencoba mengelaborasi makna kedua ini dalam konteks Indonesia.

Ketika tulisan dan buku ditemukan, dimulailah tradisi baru yang mengubah seratus delapan puluh derajat peradaban manusia. Informasi, petuah, pelajaran, yang tadinya hanya disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut, menjadi sesuatu yang bisa diakses kapanpun di manapun, tanpa reduksi kealpaan daya ingat informan.  Ribuan tahun perjalanan sejarah tidak banyak kita ketahui karena tak tertulis.Tak salah jika Louis L'Amour, pengarang terkenal keturunan Prancis, menyatakan bahwa buku adalah kemenangan terbesar yang diraih manusia. Melalui buku itulah ilmu pengetahuan dapat ditularkan ke segenap penjuru dunia. Dalam peradaban modern sekarang, buku kemudian berubah wujud menjadi lembaran-lembaran koran, disket komputer, serta compact disc.

Dalam hal ini kita patut prihatin melihat kondisi Indonesia. Tradisi buku dan membaca belum terlalu mapan di kalangan masyarakat, namun kita sudah harus menerima tradisi lanjutannya, teknologi informasi dan dunia audio visual dengan ditemukannya televisi. Seketika, dunia hiburan merajai tren budaya kita, sementara buku dan tulisan dengan segera juga ditinggalkan. Jadilah kita mengalami apa yang disebut sebagai “lompatan budaya”. Apalagi ketika dunia internet saat ini sudah menjadi bagian dari keseharian kita.

Tengoklah data yang dirilis Kompas (25 Juli 2002), bahwa hanya sekitar satu persen SD Negeri di Tanah Air yang jumlahnya sekitar 260.000, yang memiliki perpustakaan. Itupun dengan kondisi yang masih patut dipertanyakan. Kadang malah justru perpustakaan di sekolah-sekolah lebih mirip gudang buku; tanpa administrasi yang memadai, ruang baca yang layak, dan persediaan buku yang seadanya. Bandingkan dengan sekolah-sekolah di luar negeri, yang menjadikan ruang perpustakaan sebagai prasyarat utama pendirian sekolah.

Sekedar perbandingan lain, ketika merumuskan konstruksi rumah, tidak terpikirkan oleh orang Indonesia untuk memberi porsi khusus untuk ruang baca, bahkan untuk lemari buku sekalipun. Tentu saja kecuali rumah dosen, peneliti, dan kalangan lain yang berhubungan langsung dengan dunia buku dan intelektual. Di negeri-negeri maju, kesadaran membaca sangat terimplementasi ketika mereka memilih sekoalah, membangun rumah, dan bahkan ketika mereka berekreasi.

Ada beberapa hal yang membuat tradisi membaca dan tradisi buku kita jauh terbelakang, bahkan kalah jauh di bawah Malaysia, antara lain:

Pertama, sistem pendidikan nasional kita yang juga berantakan, tidak melatih tradisi pemikiran dan tidak berorientasi menstimulasi kecerdasan dan kecenderungan siswa berdasarkan potensi dan minatnya. Kritik dan cacian terhadap sistem pendidikan yang sangat terbelakang ini toh tidak menjadikan pemerintah kita memberi perhatian lebih. Peran ini direbut oleh swasta dan bahkan lembaga pendidikan asing yang sudah menjamur di kota-kota besar. Tidak heran kemudian banyak bertebaran sekolah-sekolah unggulan berharga ratusan juta. Konsekuensinya, sekolah “bagus” hanya dapat dinikmati oleh anak-anak orang berduit.

Kedua, rendahnya minat dan daya beli masyarakat terhadap buku. Di sisi lain, penghargaan terhadap karya intelektual seseorang juga sangat rendah. Pada akhirnya, industri buku hanya menguntungkan distributor dan toko buku. Bayangkan jika seorang pengarang sekaliber Pramoedya Ananta Toer, yang bukunya selalu menjadi best seller, hanya mendapatkan royalti sebesar 15 % (dan ini tergolong royalti terbesar). Selebihnya adalah keuntungan penerbit dan toko buku. Sementara, jangankan berharap dari subsidi untuk penerbitan buku dari pemerintah, yang ada malah banyak penerbit mengeluhkan pajak penerbitan.

Belum lagi jika kita lihat kesenjangan antara kota besar di Indonesia dengan daerah-daerah lain. Munculnya sekolah-sekolah unggulan dengan fasilitas perpustakaan yang memadai cuma ada di Jakarta dan beberapa kota besar. Begitu juga dengan media massa, dari 300-an media massa yang ada, 60% lebih terkonsentrasi di Jakarta. 40% lainnya tersebar di seluruh wilayah lain di Indonesia.

Yang dominan kemudian adalah dunia hiburan, entertainment, yang relatif diterima di seluruh pelosok lewat saluran televisi. Dalam sebuah seminar, Prof. Dr. Fuad Hasan, mantan Mendiknas Indonesia, juga mensinyalir kecenderungan menurunnya budaya baca sebagai akibat pengaruh audio-visual dari benda ajaib yang disebut sebagai pesawat televisi. ''Benda ajaib itu menjadi saingan terberat bagi kegiatan membaca masyarakat. Mereka menjadi semakin malas membaca karena anggapan sudah cukup hanya dengan mendengarkan berbagai informasi dari media audio-visual tersebut,” ungkapnya lebih lanjut.

Kehadiran teknologi internet yang memungkinkan informasi diakses pada saat terjadi, meski berjarak ribuan kilometer, pun tidak banyak membantu tradisi membaca di Indonesia. Hanya sedikit kalangan yang pada dasarnya memang kuat tradisi membacanya, yang memanfaatkan internet sebagai “media informasi”, sementara kebanyakan lainnya menggunakan internet sebagai media hiburan.

Dengan kondisi Indonesia semacam itu, akankah kita percaya bahwa membaca adalah tradisi yang diprovokasi al-Quran sejak pertama kali turun? Akankah kita bisa meyakinkan dunia bahwa Indonesia bukan negeri kebodohan? Entah.

anick, aktivis komunitas kampung damai, pecangaan, jepara

 

 

Liputan


Majalah Sekolah; Wahana Mengembangkan Toleransi

Baca-tulis adalah tradisi yang sudah muncul puluhan abad yang lalu. Namun, masih saja tak banyak yang memanfaatkannya sebagai wahana memupuk kreativitas dan menjaring potensi kecerdasan, terutama di usia-usia sekolah. Salah satu dari yang sedikit itu adalah SMUN 39. Sekolah yang termasuk salah satu sekolah favorit ini memperkenalkan aktivitas dan kreativitas di sekolahnya melalui sebuah majalah yang mereka namakan GalanMagz atau Tiga Sembilan Magazine. Majalah itu dikelola di kampusnya, di bilangan Cijantung, Jakarta Timur. Meski dikelola oleh siswa-siswi yang masih tergolong “belia” dan hanya beredar intern, penampilan dan isinya tak kalah menarik dari majalah-majalah remaja komersil di luaran.

Sasa, Redaktur Pelaksana Umum majalah GalanMagz, mengungkapkan keberadaan majalah tersebut sangat dibutuhkan bagi siswa-siswi di sekolahnya. Selain sebagai wahana kreativitas, majalah GalanMagz juga merupakan sumber informasi bagi para siswa serta wadah kritisisme terhadap kebijakan-kebijakan sekolah. Selain itu, para siswa-siswi ini juga memiliki banyak ruang untuk mengemukakan pendapat dan opini mereka tentang banyak hal.

Pengelolaan majalah ini melibatkan seluruh elemen yang tergabung dalam kegiatan eskul (ekstrakulikuler), terutama untuk mengisi rubrik-rubrik tertentu. Rubrik tentang pengetahuan teknologi, misalnya, digarap oleh siswa-siswi yang tergabung dalam Kelompok Pecinta Teknologi (KPT), pengetahuan ilmiah ditulis oleh siswa-siswi yang tergabung dalam Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), sedangkan untuk informasi-informasi lainnya seperti kebudayaan, kesehatan, agama dan info selebritis GalanMagz menurunkan para reporternya yang akan mencari dan meliput berita. Pun demikian majalah ini tidak menutup kemungkinan bagi siswa-siswi lain di sekolah ini untuk menuangkan ide-ide segarnya.

Selain para siswa ataupun guru-guru, banyak juga pihak luar yang ikut berpartisipasi dalam penulisan. Seperti yang pernah dilakukan oleh mahasiswa FISIP UI Fahrur Razi dan reporter RCTI Ari Sudarsono. Mereka juga banyak memberi masukan, kritik, dan saran untuk membangun dan meningkatkan minat pelajar dalam menulis.

Dari sisi penampilan, GalanMagz termasuk majalah yang cukup bagus. Walaupun dari segi lay-out tidak bisa dibilang sempurna, untuk cover, desain majalah, maupun kertasnya sangat memadai untuk sebuah majalah sekolah. Padahal, pendanaannya, menunrut Sasa, diperoleh dari kolekan atau iuran di antara pengelola majalah ini.

Yang cukup luar biasa ada rubrikasi dan bobot isi tulisannya. Dari contoh majalah yang diberikan ke al-Tasamuh, yang kebetulan bertepatan dengan momen Idul Fitri dan Natal akhir tahun 2002 lalu, ada hal yang menarik dicatat. Cover depannya adalah foto dua orang siswi kembar; yang satu mengenakan busana muslimah, dan satu lagi berpakaian ala sinterklas. Rubrik didalamnya pun tak kalah menarik. Ada rubrik Rohis (Rohani Islam) dan Rohkris (Rohani Kristen) dalam dua sisi halaman yang berdampingan. Dari sini saja sebetulnya sudah mampu disimpulkan bahwa para pengelola majalah ini peka terhadap keberagaman dan perbedaan. Mereka mampu menunjukkan bahwa perbedaan tak harus memunculkan permusuhan. Bahwa keragaman agama adalah realitas yang tak perlu dipertemukan, sebaliknya, justru bisa didampingkan dengan damai.

Di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap “generasi tawuran” ini, semangat dan kontribusi mereka ini patut kita apresiasi. Majalah sekolah ini perlu mendapat dukungan dari banyak pihak. Keberhasilan GalanMagz menunjukkan pada kita betapa potensi remaja perlu dijembatani dan difasilitasi ke arah yang lebih positif. Kalau bukan kepada mereka, kepada siapa lagi kita berharap akan kemajuan masa depan bangsa?

Susan Sofia

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
untuk informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com