Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

Edisi 7

Edisi 8

Edisi 9

Edisi 10

Edisi 11

Edisi 12

Edisi 13

Edisi 14

Edisi 15

Edisi 16

Edisi 17

Edisi 18

Edisi 19

Edisi 20

Edisi 21

Edisi 22

Edisi 23

Edisi 24

Edisi 25

Edisi 26

Edisi 27

Edisi 28

Edisi 29

Edisi 30

Edisi 31

Edisi 32

Edisi 33

Edisi 34

Edisi 35

  Editorial

Bush

Hari-hari belakangan ini kita mendapatkan tontonan realitas di luar kebiasaan: siaran langsung perang Irak, sadisme manusia satu terhadap manusia lainnya, pembantaian ribuan orang hanya karena ambisi sempit. Tontonan itu diimbangi dengan tontonan lain yang tak kalah menarik: jutaan orang, ratusan juta bahkan, di berbagai negara menolak perang yang dilakukan Bush dan pasukannya. Bahkan penduduk Amerika sendiri.

Barangkali, di saat-saat seperti inilah kita layak merindukan kejayaan Uni Sovyet di masa lalu, sebagai kekuatan pengimbang. Runtuhnya Uni Sovyet memunculkan dunia yang timpang: adi daya tunggal. Karena merasa besar sendirian, Amerika di tangan Bush tak ubahnya seperti raksasa di tengah kurcaci-kurcaci pesuruh. Kekuatan hegemonik ini mengancam bangunan kebudayaan dan peradaban yang dibangun bersama oleh semua negara, bahkan oleh Amerika sendiri.

Perang sudah terjadi, Bush sudah nyata-nyata menutup mata dan telinganya dari himbauan, ajakan, hujatan, bahkan kutukan jutaan manusia lain yang menolak perang. Adakah yang bisa kita lakukan? Jelas ada. Turun ke jalan menolak perang, berteriak mengutuk mengalirnya darah manusia, empati terhadap rakyat yang menjadi korban perang ini. Atau sekedar berdoa dan menyatakan ketidaksetujuan dalam hati, meskipun itu adalah bentuk keimanan yang paling lemah.

anick h. tohari

 

Kajian


 

Indonesia Negeri Preman?

Pada suatu siang yang cukup cerah, saya duduk bersama empat orang penumpang lain di Kopaja jurusan Manggarai-Pulo Gadung. Tiba-tiba dua orang laki-laki dari empat penumpang tadi menghampiri saya. “Mas, minta uang Mas,” pintanya sambil mengambil tempat duduk di samping saya. Saya tersentak kaget. Belum sempat menjawab, di pinggang saya terasa ada benda yang tertahan.”Keluarkan semua, kalau tidak, ini!” katanya dengan mata melotot tajam. Benda yang ternyata pisau lipat itu diarahkan pada saya disembunyikan dalam koran lusuh. Dalam kondisi tidak ada pilihan terpaksa saya bilang,”Berapa?” Setelah  semua berlalu, saya betul-betul merasakan betapa mahalnya harga aman dan keselamatan di kota Jakarta ini.

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya awal bulan Maret, kantor majalah mingguan populer di Jakarta diserbu segerombolan orang yang kemudian dikenal sebagai anak buah Tommy Winata, konglomerat pemilik Artha Graha. Mereka mengaku utusan dari bosnya yang merasa tersinggung dengan pemberitaan menyangkut nama baiknya. Diberitakan, seorang wartawan babak belur akibat aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok orang itu.

Cerita di atas sesungguhnya sudah tidak asing di telinga kita. Saya atau siapapun mungkin pernah mengalaminya. Indonesia memang ibarat “surga” bagi para preman, apalagi kota besar seperti Jakarta. Peristiwa-peristiwa kekerasan dan aksi premanisme kerap terjadi dan menghantui setiap lorong-lorong jalan dan perempatan. Tidak peduli siang dan malam, tempat ramai dan sepi, mereka dengan “leluasa” beraksi. Tanpa rasa belas dan kasihan. Yang mereka incar tidak hanya uang, harta benda, tapi juga kehormatan.

Lantas, faktor apa yang menyebabkan masyarakat kita menjadi sedemikian beringas dan kasar? Neng Dara Affiah, Peneliti dari LSM Lingkaran Pendidikan Alternatif (Kapal) untuk Perempuan Jakarta menyatakan bahwa orientasi masyarakat saat ini bertumpu pada dua hal: uang dan kekuasaan. Hal yang menurutnya lahir dari paradigma kapitalisme ini mendorong upaya masyarakat untuk melakukan penguasaan terhadap modal, tanah, dan jabatan. Tanpa disadari, ideologi yang dianut karena kerakusan, pengunggulan kelompok tertentu, dan kebodohan telah menjadi paradigma yang mendukung terjadinya kekerasan. Ideologi kapitalisme hanya menciptakan kesenjangan yang besar antara kelompok yang kuat dan masyarakat lemah. Untuk meluruskan jalan ke arah penguasaan tersebut, kapitalisme membuat jejaring kekerasan dalam bentuk premanisme untuk mempertahankan modal-modal yang sudah dikuasainya. “Kasus seperti penyerbuan kantor TEMPO menunjukkan bahwa kekuasaan modal menggunakan cara-cara kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan ekonominya,” tegasnya. 

Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor penting lahirnya premanisme. Ketidakadilan pembangunan dan ekonomi menyebabkan masyarakat lemah serta mudah mengambil jalan pintas melalui cara-cara kekerasan. Suatu sikap frustrasi terhadap ketimpangan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Ini sangat bertolak belakang dengan sifat dasar manusia, yang menurut teori sosiologi, hakikatnya adalah makhluk sosial, memiliki solidaritas, cinta kasih, dan nilai-nilai luhur yang tinggi. Akan tetapi, di sisi lain teori-teori psikologi menjelaskan bahwa tekanan lingkungan (eksternal) dan adanya dorongan nafsu (internal) akan mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik terhadap alam lingkungannya maupun terhadap sesama manusia. Hal ini dapat membantu menjelaskan mengapa manusia kadang lebih buas dari binatang buas manapun. Tekanan untuk bertahan hidup (survive) misalnya, akan mendorong manusia bertindak apapun, termasuk tindakan kriminal, yang justru sangat berbahaya buat dirinya. Ini yang dominan terjadi di jaman ekonomi sulit sekarang.      Faktor lain yang menyebabkan munculnya premanisme adalah masalah penegakan hukum. Menurut salah seorang tokoh pers nasional, Andreas Harsono, lemahnya penegakan hukum oleh aparat kepolisian di Indonesia adalah cermin dari potret buruk sebuah negara primitif yang tidak menghormati asas hukum yang berlaku. Andreas menambahkan bahwa ada kecenderungan kuat dari masyarakat sekarang ini untuk menggunakan cara-cara kekerasan ketimbang melalui prosedur-prosedur hukum yang sudah ada.

Budaya taat hukum bukan saja menjadi kewajiban rakyat, tetapi juga para elite dan pemimpin. Disadari atau tidak, maraknya aksi premanisme masyarakat dewasa ini banyak diilhami oleh tingkah para pemimpin dan elite politik yang juga tidak patuh pada hukum. Elite politik korup yang tidak mau dipenjara, pengerahan massa dari partai politik untuk memaksakan kehendak politiknya, seorang kepala desa yang melakukan intimidasi kepada rakyatnya untuk memepertahankan kekuasaan, adalah contoh buruk yang membuat masyarakat semakin tidak percaya para pemimpin mereka sendiri. Hal ini ternyata dengan sendirinya melahirkan ketidakpercayaan terhadap proses hukum.

Lalu apa yang harus dilakukan untuk mencegah premanisme di tengah pesimisme terhadap upaya yang dilakukan oleh penguasa dan aparat hukum?

Pertama, mengupayakan kebijakan negara yang mempunyai orientasi kepada prinsip keadilan. Kenyataan menunjuukkan bahwa ketimpangan sosial akibat kekuasaan ekonomi yang terpusat pada segelintir orang melahirkan konflik sosial dan kekerasan di tengah masyarakat. Karena itu, budaya menumpuk-numpuk harta, menjadikan uang segala-galanya adalah budaya yang patut dihindari. Karena sejatinya dalam ajaran Islam diharamkan menumpuk kekayaan hanya untuk kepentingan pribadi. “Salah satu alasan Rasulullah melakukan peperangan pada peristiwa Fathul Makkah adalah untuk melakukan pemerataan ekonomi,” kata Neng Dara menanggapi pentingnya keadilan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan, mencapai hak-hak, serta menghapus diskriminasi dan ketidakadilan.

Kedua, dibutuhkan kekuatan penekan dari kelompok masyarakat untuk melakukaan budaya tandingan terhadap budaya kekerasan. Karena, peran serta masyarakat sebagai aktor kritis mempunyai fungsi yang tidak bisa diabaikan. Dalam hal ini Andreas menyebutkan bahwa yang harus dilakukan masyarakat, khususnya media, adalah mengingatkan masyarakat untuk selalu taat dan setia mengikuti aturan hukum sebagai konsekuensi berdemokrasi.

Di atas segalanya, kita berkeyakinan; selama kekerasan dalam baju premanisme masih hadir di tengah-tengah kita, selama itu pula kita sulit membayangkan hadirnya kehidupan yang damai dalam arti sebenarnya. Kekerasan akan menghalangi manusia untuk mencapai kemanusiaan yang hakiki. Kekerasan, apa pun cara dan ragamnya merupakan pemberangusan dan pencabutan hak-hak asasi manusia. Wallahu A’lam

Dani Setiawan

 

Liputan


 

Warga Kamal Mendamba Jembatan Layang

Ungkapan ibu kota lebih kejam dari ibu tiri ternyata ada benarnya. Di balik gemerlap dan pesatnya pembangunan ibu kota, ternyata menyimpan banyak kisah tragis yang dialami oleh masyarakatnya, terutama bagi masyarakat pinggiran yang lebih dikenal sebagai kaum miskin kota. Yang lebih ironis, justru hal itu terjadi sebagai akibat dari pembangunan.

Realitas tersebut terjadi di RW 03 Kel. Kamal Kecamatan Kalideres Jakarta Barat. Kisah ini dimulai ketika wilayah RW ini dilintasi oleh jalan tol Bandara Soekarno-Hatta. Wilayah yang sebelumnya tidak terpisah dengan RW lain di seberangnya, sejak dibangunnya jalan tol Bandara Soekarno-Hatta yang melintas di wilayah kelurahan Kamal, menjadikan wilayah ini terbagi dua, Kampung Depan dan Kampung Belakang. Jalan penghubung yang ada juga terpotong.

Sebagai gantinya, pihak pengelola jalan tol menyediakan jembatan penyeberangan yang semula hanya bisa dilewati pejalan kaki. Merasa diperlakukan tidak adil, masyarakat pun memprotes penggantian jalan penghubung tersebut hanya dengan jembatan penyebrangan. Setelah masyarakat melakukan protes berkali-kali akhirnya jembatan tersebut dilengkapi dengan jalan untuk kendaraan roda dua. Selesaikah masalahnya? Ternyata tidak. Karena yang dibutuhkan masyarakat sebetulnya adalah jalan yang bisa dilewati kendaraan roda empat. Bagaimanapun, transportasi adalah kebutuhan yang sangat penting bagi warga RW 03 karena menyangkut akses dari luar ke dalam kampung ataupun sebaliknya. Hal ini dianggap realistis karena sebelum pembangunan jalan tol, jalan penghubung itu memang ada.

Bukan hanya itu, bagi masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, terputusnya jalur transportasi tersebut berakibat pada berkurangnya penghasilan mereka. Ini terasa saat mereka harus membawa sayur-mayur yang diangkut dengan sepeda yang memiliki dua keranjang besar di sampingnya. Untuk melewati jembatan penyeberangan tersebut biasanya mereka membayar orang lain untuk membantu mendorong sepeda dengan bayaran Rp. 2000-Rp. 3000 sekali jalan, atau jika tidak ingin melewati jembatan penyeberangan mereka dapat menggunakan mobil losbak (pick up) dengan memutar melewati Kamal Muara Jakarta Utara atau Rawa Bokor Tangerang dengan menempuh waktu selama satu jam.

Romli HR, sekretaris Dewan Kelurahan (Dekel) Kamal bahkan dengan tegas mengungkapkan bahwa fenomena ini jelas merupakan contoh pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan bagian dari bentuk pemiskinan secara struktural. Betapa tidak, terputusnya jalur transportasi tersebut jelas memiliki dampak yang sangat merugikan bagi warga Kamal, terutama RW 03. Berbeda dengan RW-RW lain, RW 03 jelas jauh lebih terbelakang dan jauh dari pembangunan. Wilayah ini juga yang tidak begitu diminati para pendatang untuk bermukim, berinvestasi, ataupun menjadikannya lahan usaha.

Menurut Marhasan, Ketua RW, mereka pernah mengajukan surat dengan kumpulan tanda tangan warga kepada Departemen Pekerjaan Umum, PT. Angkasa Pura, dan PT. Jasa Raharja, namun sampai saat ini tidak ada tanggapan serius. Yang dilakukan oleh pemerintahan kelurahan Kamal saat ini hanya menunggu kebijakan dari pemerintah DKI Jakarta yang hingga saat ini belum juga berbuat sesuatu.“Hal ini agak berlarut-larut karena persoalan anggaran,” ungkap H. Makmur, Lurah Kamal. Selain itu, belum selesainya masalah itu juga disebabkan karena masyarakat RW 03 belum sepenuhnya bersatu dan melakukan tekanan lebih lanjut kepada pihak yang berwenang. Mereka hanya bisa pasrah…

Meski demikian, peluang untuk menyelesaikan persoalan ini masih terbuka lebar. Meski sebagian warga mengalami frustrasi karena tak kunjung terwujudnya keinginan mereka, mereka masih tetap memiliki keinginan untuk bisa menyelesaikan masalah itu. Bahkan, menurut informasi terakhir, mereka mulai  berencana berdemo di jalan tol bandara Soekarno-Hatta agar jembatan layang tersebut segera terealisasikan.

Ahmad Dhiaulhaq

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
untuk informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com