Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia
Edisi 32 |
Editorial Tafsir Adalah Aswad al-Duali salah seorang ulama pada masa tabiit tabiin yang mengusulkan memberi tanda bacaan pada ayat-ayat al-quran. Mengapa harus ada tanda bacaan, karena tanda bacaan menghubungkan dengan makna yang dikandungnya. Dalam kaidah bahasa arab, tanda baca fathah dalam satu huruf bisa berbeda jauh artinya jika huruf tersebut dibaca dengan tanda baca kasrah, begitu seterusnya. Untuk itu mengapa kemudian banyak ahli-ahli tafsir yang lahir. Ratusan bahkan ribuan ulama dan buku tafsir terbit seiring dengan berkembangnya kehidupan manusia. Mereka dengan kewiraiannya berijtihad menafsirkan ayat-ayat dalam al-quran. Selama rentang waktu yang memisahkan kita dengan zaman Rasulullah, sahabat serta pengikut yang menyertainya, bukan tidak mungkin terjadi perkembangan pemikiran dan pola hidup yang berbeda. Dan kita meyakini al-quran membawa nilai-nilai universal yang mampu menjawab persoalan hidup manusia. Untuk itu, mencari jawaban atas persoalan-persoalan tidak hanya dengan memahami satu makna yang disiratkan al-Quran. Karena bagaimanapun nilai universal menyediakan banyak ruang bagi kita untuk menerjemahkan disesuaikan dengan kemaslahatan dan kebutuhan umat kebanyakan. Anna Allahu A’lam Lisa NH
Kajian Satu Qur'an, Beragam Tafsir
Bagi umat Islam, al-Qur`an yang hadir di tengah kerumunan umat telah dipandang sebagai representasi dari kehadiran Allah untuk selalu menyertai mereka. Setiap saat al-Qur`an diajak berdialog dalam menapaki jalan-jalan perubahan sosial dan dalam mencari pemecahan atas persoalan yang berjenis-jenis. Proses dialog yang berlangsung di setiap babakan sejarah umat Islam itu telah melahirkan ratusan bahkan ribuan kitab tafsir, yang menjulur semenjak masa lampau hingga sekarang. Pertanyaannya, mengapa kitab yang satu bisa melahirkan berjibun tafsir?
Al-Qur`an sebagai TeksSebagai sebuah teks, saya hendak meletakkan al-Qur`an dalam dua sudut pandang. Pertama, al-Qur`an adalah bungkam, sedangkan yang membunyikannya adalah manusia sebagai pembacanya. Dus, al-Qur`an baru bisa bermakna hanya ketika diposisikan secara relasional dengan masyarakat pembaca yang mengimaninya. Ini karena Al-Qur`an tidak pernah berdiri secara otonom. Ia “sosok pribadi” yang memiliki kaitan dengan budaya dan penganut yang meresponnya. Kedua, al-Qur`an akan terus menjadi mangkok perebutan para pembaca, sehingga pluralitas tafsir menjadi tak terhindarkan. Perebutan pemaknaan ini terjadi, sekurang-kurangnya dilatari dua pokok soal, [a] sepeninggal Muhammad tidak ada lagi seorang tokoh yang memiliki orotitas mutlak seperti Nabi. Pada era kenabian, Muhammad adalah mufasir tunggal dengan otoritas yang tak tertandingi. Segala persoalan tafsir Qur`an mesti dirujukkan hanya kepadanya. Sekarang, otoritas tersebut telah jatuh berkeping-keping di setiap kepala dan dan dada umat Islam. [b] dari sudut struktur kebahasaan, al-Qur`an sendiri telah mengundang adanya pluralitas tafsir tersebut. Betapa di dalam al-Qur`an kita menemukan kata-kata yang memiliki makna ganda (lafdz musytarak), lafdz muthlaq, lafdz mujmal, lafdz musykil, dan sebagainya. Sejumlah model lafdz tersebut bukan saja menjemput, melainkan juga telah menjadi picu utama bagi tumbuhnya beragam tafsir. Tatkala satu teks dibaca oleh berbagai-bagai orang dengan latar belakang dan keperluan yang berbeda-beda, maka besar kemungkinan bagi terjadinya keberagaman tafsir.
Kategori TafsirSecara kategorial, model-model tafsir al-Qur`an dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis. Pertama, pembacaan yang berorientasi pada aksara yang dikenal dengan istilah al-tafsir al-harfy. Jika terjadi sengketa antara aksara dan realitas, realitas harus ditaklukkan ke dalam bunyi harfiah teks tersebut. Masuk ke dalam model tafsir seperti ini kebanyakannya adalah tafsir-tafsir klasik-konvensional, seperti Tafsir al-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qurthubi, dsb. Para pemegang model tafsir pertama ini umumnya meyakini bahwa tujuan kehadiran al-Qur`an untuk kemaslahatan. Namun, kemaslahatan yang dimaksudkannya bukanlah kemaslahatan yang sesuai dengan realitas, melainkan kemaslahatan normatif seperti yang dikemukakan oleh bunyi literal al-Qur`an sendiri. Pada hemat saya, model tafsir seperti ini akan terjebak pada dogmatisme teks. Kedua, tafsir yang didasarkan kepada konteks (al-tafsir al-siyaqi). Jika yang pertama berupaya untuk menundukkan realitas, maka yang kedua sebaliknya; teks harus mengakomodasi realitas, kendatipun dengan cara mereformasi teks. Kalau yang pertama terperangkap pada idealisasi, maka yang kedua ini terjatuh pada pemutlakan realitas. Realitas dipandang menjadi kebenaran itu sendiri, sementara etik-moral hanya dijadikan sampiran yang disangkutkan pada kemauan publik. Pemikir Muslim yang gandrung dengan model tafsir seperi ini antara lain adalah Munawir Sadzali. Ketiga, pembacaan emansipatoris yang dikenal dengan al-tafsir al-taharruri. Di sini, al-Qur`an tidak diberlakukan sebagai kisi-kisi yang memadati sejumlah kurikulum di sekolah, melainkan disikapi sebagai teks yang akan memberikan sinaran etik-moral bagi kerja perubahan di masyarakat. Bagi pengguna jenis tafsir ini telah jelas bahwa al-Qur`an datang tidak dengan semangat mengabsahkan realitas, melainkan untuk merubahnya. Berbeda dengan al-tafsir al-harfy yang memandang teks sebagai kebenaran itu sendiri, dalam tafsir emansipatoris teks diposisikan sebagai perlambang belaka dari kebenaran yang dikandungnya. Dengan pembacaan emansipatoris ini, maka niscaya teks-teks al-Qur`an akan tetap aktual, karena dibaca dalam proses sosial dan bukan diberlakukan sebagai kidung wahyu yang terpisah dari umat sebagai pembaca utamanya. Harapannya, al-Qur`an yang telah berumur lanjut itu dapat terus menerangi labirin kehidupan manusia. Terdapat sejumlah pemikir Muslim kontemporer yang concern pada jenis tafsir ini, seperti Mohamed Arkoun, Masdar F. Mas’udi, dan lain-lain.
PenutupSesungguhnya, al-Qur`an bukanlah personifikasi totalitas Tuhan. Ia merupakan wilayah sebagian kalam Tuhan yang akan terus diperebutkan sepanjang masa sebagai daerah tafsir. Saya meyakini, gagasan-gagasan Tuhan yang diisyaratkan melalui al-Qur`an tetap akan survive, selama al-Qur`an bukan hanya dibaca dalam wujudnya yang skriptural (tulisan dalam kitab suci) saja, melainkan juga seharusnya dibaca dengan cara mentranformasikannya dalam lingkup kenyataan sosial yang aktual.
Abd Moqsith Ghazali, Peserta Program Doktor Universitas Islam Negeri Jakarta
Liputan Belum | |
I tentang LS-ADI I redaksi I dialog I jaringan I depan I
copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/
Faks. 021-9227463
untuk informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com