Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia
Edisi 21 |
EditorialKemiskinanDengan keringat dan peluh yang mengucur deras ibu separuh baya itu tetap berusaha mengangkat satu bakul berisi penuh makanan kecil yang ia jajakan sambil berjalan kaki keliling kampung. Pernah pada suatu pagi saya bertanya pada ibu yang sedang membiayai dua orang anaknya sekolah itu, cukupkah hasil penjualan makanan kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup dia dan anaknya. Dengan tersenyum ramah dia menjawab;” cukup tidak cukup tapi saya menghargai hidup”. Saya termenung mendengar jawabannya, ibu ini punya semangat luar biasa atas hidupnya. Dia tidak pernah mengenal huruf a b c sebagaimana anaknya tapi dia tidak pernah patah semangat mencari sumber penghidupan yang menegaskan eksistensi dirinya. Semenjak lahir di bumi, kepapaan telah menyelimutinya. Katanya ada program pemerintah untuk sekolah gratis, dia selalu menunggu tapi tak kunjung dapat giliran sebab mereka yang punya hubungan tertentu dengan pamong desa yang lebih mendapat kesempatan. Akhirnya dia terus bekerja dan bekerja. Tiba-tiba saya merenungi hadits nabi yang berbunyi; hampir saja kefakiran itu menjadi kekufuran. Menurut saya hadits tersebut bukan semata-mata menyuruh umat Islam menjadi kaya dan banyak modal akan tetapi bagaimana kemudian mengejar kekayaan hati dan jiwa dengan menghargai hidup dan kehidupan, wujudnya; selalu berpihak pada yang papa, jujur dengan amanah yang dibebankan. Lisa NH
Kajian Kemiskinan Kemiskinan telah menjadi masalah laten yang tak berkesudahan dalam periode sejarah umat manusia. Kemiskinan adalah kenyataan sosial yang memang terjadi di dalam lapisan sosial masyarakat yang memang menakdirkan perbedaan, sehingga memunculkan dua kelas sosial; kaya dan miskin. Lantas, bagaimanakah cara padang kita terhadap realitas kemiskinan yang memang telah ada di dalam setiap periode sejarah umat manusia. Adakah teologi yang cukup untuk melihat kemiskinan sebagai bagian dari kehidupan manusia yang mesti dientaskan, bukan malah dilestarikan? Karena membebaskan kemiskinan adalah bagian dari tujuan mulia agama untuk menciptakan keadilan sosial. Kendati demikian, praktik-praktik dakwah Islam selama ini justru semakin melanggengkan kemiskinan sebagai bagian dari hidup umat yang sangat mulia sehingga melupakan orientasi hidup sejahtera. Padahal, sejarah dan doktrin agama memberikan penegasan yang kuat bahwa umat yang kaya dan sejahtera adalah bagian dari upaya memperjuangkan tegaknya agama Allah. Periode sejarah awal Islam di Mekah menunjukkan suatu realitas betapa pemegang modal, kelas pedagang, dan para majikan Quraisy menjadi penghalang dakwah Islam, sekaligus memposisikan umat Islam sebagai kaum proletar, pinggiran, tertindas, dan miskin yang tidak memiliki kehormatan. Sosok seperti Abu Jahal dan Abu Lahab, adalah wujud dari kelas penindas yang telah meminggirkan umat Islam di Mekah. Di sinilah, Muhammad dilahirkan sebagai tokoh pembebas terhadap kaumnya yang tertindas oleh karena kemiskinan dan ketidakmapanan secara ekonomi. Muhammad lah sang pembebas bagi kaum budak, miskin, dan kaum tertindas dengan menciptakan kehidupan duniawi dan ukhrawi secara seimbang. Kemiskinan dan ketertindasan umat dijadikan Muhammad sebagai spirit utama untuk melakukan pembebasan, bukan malah melanggengkan kemiskinan umatnya. Karena bagaimanapun umat beriman yang kaya, sejahtera, dan makmur akan menambah kekuatan umat Islam. Karena itulah, pada lembaran sejarah berikutnya, periode Madinah adalah awal dari sejarah umat Islam, yang kemudian mengubah wajah umat dari kelas proletar, miskin, dan tidak berkuasa menjadi kelas pemodal, kaya, dan berkuasa. Tak tanggung-tanggung Islam berusaha melakukan pembongkaran makna hidup menuju kehidupan yang penuh dengan semangat duniawi sekaligus ukhrawi, bahwa Islam tidak antikekayaan, kemakmuran dan kesejahteraan. Hadits Nabi Saw yang berbunyi: "Hampir saja kefakiran itu menjadi kekafiran" adalah semangat spiritualitas bahwa umat Islam tidak boleh menjadi rakyat yang miskin, karena akan menjerumuskan pada kekafiran. Dalam al-Qur'an disebutkan, "Bukankah Allah telah mendapatimu miskin kemudian Dia menganugerahkan kepadamu kecukupan?" (al-Duha:93/8). Karena itulah, periode Madinah adalah simbol dari kekuatan, kemakmuran, dan kejayaan Islam. Teologi semacam ini adalah bagian dari pembebasan umat yang tertindas agar menjadi umat yang sejahtera dan makmur tanpa kehilangan identitas kulturalnya sebagai umat yang lemah di hadapan Allah SWT. Dengan demikian, kondisi miskin tidak menjadikan umat semakin putus asa, pesimis, dan kehilangan etos kerja untuk meraih kejayaan dan kemenangan. Karena itu, kemelaratan, kefakiran, dan kemiskinan mestinya dijadikan sebagai kondisi antara untuk kemudian melakukan perubahan paradigma beragama, bahwa hidup bukan hanya berkisar pada keakheratan (sakral) saja melainkan juga untuk meraih orientasi keduniawian (profan). Orientasi yang kedua ini dimaksudkan sebagai basis atau modal pendukung menuju kehidupan yang kekal dan abadi. Allah berfirman: "Apabila telah shalat (Jum'at), maka bertebaranlah di bumi dan carilah (fadhl) kelebihan dari Allah" (al-Jum'ah: 62/10). Dengan doktrin teologis ini, membuat kita harus optimis bahwa masa depan umat tergantung pada kondisi riil yang akan diraih umat dalam menyikapi hidupnya di dunia. Karena itu, kemiskinan tidak boleh dilanggengkan atas nama agama, melainkan justru mesti dibebaskan untuk menciptakan ruang-ruang yang bebas dari kungkungan budaya dan struktural yang menghambat kemajuan sehingga mendorong terjadinya kemiskinan. Dengan demikian, titik masuk bagi teologi yang membebaskan kaum miskin adalah: (1) tidak melanggengkan kemiskinan sebagai puncak kenikmatan agama, bahwa dengan hidup miskin akan lebih disayang Tuhan dan mendapatkan tempat utama di sisi Allah SWT. Pandangan teologis ini mesti dibebaskan menuju pada pandangan yang lebih optimistik dalam menempuh kehidupan duniawi. Sehingga umat Islam menjadi umat yang kuat demi tegaknya agama Allah. (2) Tidak melanggengkan kemiskinan secara struktural dan budaya. Kemiskinan sebagai suatu kenyataan soial adalah absah, tetapi menciptakan kemiskinan melalui negara dengan cara manipulasi hukum, tehnologi, dan sistem adalah suatu dosa besar terhadap semangat liberasi agama, yang menghendaki umat hidup dalam iklim yang sehat dan berkeadilan. Karena itulah, agama melarang memiskinkan umat manusia dengan cara apapun. Al-Qur'an memperingatkan, "Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin" (al-Ma'un (107)/1-3). Dalam ayat ini, jutru dianggap mendustakan agama, jika kita terus-menerus melanggengkan kemiskinan, tanpa berbuat apapun untuk mengentaskannya. Sikap tidak mau tahu dengan kondisi di sekitarnya yang menderita, miskin, dan tertindas, adalah cermin dari ketidakberimanan. Karena itu kemiskinan sebagai problem utama umat, mesti diberikan kesempatan yang sama untuk melakukan perubahan menuju pada kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Di sinilah, teologi (Islam) memberikan semangat pembebasan demi mencapai kehidupan yang berkeadilan secara sosial dan ekonomi.[] Khamami Zada, MA Peneliti Lakpesdam NU, Alumnus PP. Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta
Liputan Masjid Lautze; Dari Kontrakan Hingga Yayasan
Pernahkah anda mendengar ada masjid yang statusnya mengontrak dan menyatu dengan ruko (rumah toko)? Masjid Lautze yang beralamat di Jalan Lautze No. 89 Jakarta Pusat 10740 mungkin satu-satunya masjid di Indonesia bahkan di dunia yang bengunannya menyatu dengan toko. Masjid ini berawal dari pemikiran untuk mendirikan yayasan untuk kalangan keturunan Tionghoa. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1991, beberapa tokoh dari kalangan Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, KAHMI, ICMI, serta masyarakat baik dari etnis Tionghoa maupun bukan menyepakati untuk mendirikan yayasan baru sebagai biro informasi Islam untuk WNI dengan memakai nama seorang perintis Islam, sekaligus sahabat karib Presiden Soekarno: Abdulkarim Oei Tjeng Hien (1905-1988), yang dikenal dengan sebutan bapak Oei (baca: U-i). Karena sering dipakai juga untuk ibadah sholat, terutama sholat Jum’at yayasan yang statusnya mengontrak ini lama-kelamaan dikenal dengan Masjid Lautze sesuai dengan nama jalannya. Sejarah bersaksi, Jum’atan pertama dilaksanakan pada tanggal 26 Juli 1991 dengan menggunakan ruang bawah berukuran kurang lebih 10x 20 meter. Hadir waktu itu tokoh Betawi Ridwan Saidi yang memberi khutbah jum’at. Selain menggunakan warna tradisional yang khas Tionghoa serba merah tua, masjid ini letaknya sangat strategis. Pengelola masjid ini-pun pada awalnya sampai sekarang adalah para muallaf keturunan Tionghoa. Sebetulnya hal ini bertujuan sebagai metode berdakwah nilai-nilai islami, seperti yang diungkapkan H. Junus Jahja bahwa manajemen yang digunakan masjid ini sebenarnya adalah ‘jemput bola’:” dakwah kita kepada etnis Tionghoa belum proaktif, tapi lebih banyak pasif menunggu calon muallaf datang. Seyogyanya kita “jemput bola” seperti dilakukan agama-agama lain”. Berbagai kemajuan telah diraih oleh masjid Lautze ini terutama antara tahun 1991-2001. Beberapa kemajuan itu diantaranya adalah masjid sudah tidak mengontrak lagi serta mampu mengembangkan diri sehingga sekarang gedungnya berlantai empat; dua lantai untuk masjid dan tempat wudlu, satu lantai untuk kantor sekertariat dan pusat informasi serta lantai lainya untuk ruang diskusi, resepsi-resepsi, pengajian remaja maupun orang tua. Setiap tahunnya mereka mendapat undangan dari kerajaan Arab Saudi dan Rabithah al-A’lam al-Islami untuk mengirim muallaf etnis Tionghoa menunaikan ibadah haji. Data-data yang diperoleh juga menunjukan bahwa masjid ini pernah mendapat kunjungan maupun penelitian dari berbagai negara seperti Timur tengah, Malaysia, RRC dan Taiwan serta muncul di televisi dalam maupun luar negeri karena sejarah dan keunikanya. Mereka juga mampu mengelola zakat, infaq, shadaqah serta iuran masjid sehingga sanggup memberikan beasiswa bagi 40 siswa SD (1993), 10 siswa SLTP, SMU dan Universitas (1998-2001) serta telah memanfaatkan teknologi komputer dengan homepagenya semenjak 1997. Tercatat sampai bulan Mei 2001 telah menjaring 320 browser. Adapun kegiatan lainya yang boleh dibilang jarang bahkan tidak pernah dilakukan masjid-masjid di Indonesia adalah adanya kontak bisnis. Remaja masjidnya juga tidak hanya melakukan pengajian tapi juga kontak jodoh, pendidikan bahasa Inggris serta ajang kreativitas lain yang terpampang melalui poster-poster serta pamflet di majalah dinding baik yang berbahasa Arab, Indonesia, Inggris maupun China. Masjid ini akhirnya diresmikan sebagai “Masjid Lautze” oleh B. J. Habibie pada 4 Pebruari 1994 setelah direnovasi tahun 1993. Melalui Masjid Lautze ini kiranya kita dapat belajar dan menjadi bahan renungan kita bersama, meskipun dalam kelompok kecil umat Islam mampu mengembangkan diri menjadi lebih maju jika terbangun saling kepercayaan, kerja sama serta melakukan kegiatan semampunya. Terbukti walaupun realtif muda, 11 tahun, kemajuannya telah melebihi masjid-masjid yang ratusan tahun umurnya. Sudarno | |
I tentang LS-ADI I redaksi I dialog I jaringan I depan I
copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/
Faks. 021-9227463
untuk informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com