Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia
Edisi 23 |
EditorialKeindahanAllahu al-jamal,wa yuhibbu al-jamil. Allah indah, dan menyukai keindahan. Ungkapan simpel tersebut sangat akrab di telinga kita. Manusia, tentu saja juga memiliki kecenderungan menyukai keindahan, dalam berbagai aspeknya. Seni adalah keindahan. Islam mencintainya. Alquran datang sebagai sesuatu yang indah, lebih dari puisi, di tengah budaya sastra yang tinggi di kalangan bangsa-bangsa Arab. Sunan Kalijaga mengislamkan tanah Jawa dengan wayang dan gamelan, hingga melahirkan istilah-istilah Islam-Jawa, semisal jimat kalimosodo (kalimat syahadat). Para ahli tarekat bernyanyi dan menari untuk mendekat kepada Sang Kuasa. Lalu apa yang salah dengan seni? Apa yang salah dengan musik? Sebagai sebuah sarana, alat, ia bersifat netral. Puisi, ritme musik dan lagu, gerak tari, lukisan, atau apapun yang bernilai estetik, adalah ruang kosong. Ia menyimpan energi kesalehan, sekaligus energi kemaksiatan. Ia hanyalah sebagian dari ribuan, miliaran, sesuatu yang bernama “sesuatu”. Keindahan menjadi bermakna ketika ruang kosong itu dipenuhi dengan energi kesalehan. Ia bisa menjadi alat menuju ke hadirat-Nya. Ia bisa menjadi penanda betapa agungnya Sang Maha Pencipta. Anick H. Tohari
Kajian "Menjadi Islam" Melalui Seni Dalam suatu kesempatan berkunjung ke Tanah Minang, saya menyaksikan sebuah pertunjukan seni tradisional yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai Indang. Pertunjukan itu berlangsung selepas waktu Isya hingga menjelang subuh. Pemainnya terdiri dari beberapa kelompok, yang dalam masing-masing kelompoknya terdapat tiga “generasi”: orang tua, anak muda, dan anak-anak. Rupanya, masing-masing generasi tersebut mempunyai tugas masing-masing: orang tua kebagian membaca syair-syair dalam bahasa orang awak; sedangkan para pemuda bertugas sebagai “koreografer” yang mengatur irama gerakan yang dilakukan oleh anak-anak. Masing-masing kelompok tampil bergantian, dan terkadang saling sahut-menyahut mengumandangkan beberapa “nyanyian” dengan diiringi tabuhan rebana dan berbagai gerakan anggota tubuh. Konon, Indang merupakan salah satu bentuk kesenian lokal di daerah Pariaman, yang bait-bait syairnya diambil dari intisari ajaran tarekat Shattariyyah. Para pesertanya sendiri menamakan diri mereka sebagai “kelompok satari”, kendati mungkin saja beberapa di antara mereka, khususnya kelompok anak-anak, tidak mengetahui apa-apa tentang tarekat Shattariyyah, sebuah jenis tarekat yang dalam ajaran-ajaran dan zikir-zikirnya terdapat pengetahuan tentang nilai-nilai transendensi Tuhan. Menurut pengakuan beberapa orang peserta, kesenian Indang adalah salah satu bentuk modifikasi dari ajaran tasawuf yang sesungguhnya merupakan ajaran Islam “tingkat tinggi” yang kemudian diresepsi, diadopsi, dan diekspresikan secara “lebih sederhana” dalam bentuk kesenian. Atau bisa juga logikanya dibalik, Indang merupakan bentuk asli kesenian tradisional setempat yang memasukkan unsur-unsur tasawuf ke dalam syair-syairnya. Dengan demikian, sekecil apapun kadar spiritual di dalamnya, jelas bahwa kesenian Indang merupakan salah satu media, setidaknya bagi masyarakat yang melakoninya, untuk mengartikulasikan kedekatan dirinya kepada Sang Pencipta. Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud mendiskusikan secara lebih jauh mengenai bentuk kesenian Indang, atau berbagai bentuk seni lokal lainnya yang sarat dengan nilai-nilai pengagungan Tuhan, dan memang banyak dijumpai di negeri kita ini. Indang hanyalah sekedar ilustrasi dan contoh saja. Yang ingin saya katakan melalui ilustrasi tersebut sesungguhnya adalah betapa beragamnya artikulasi seni seseorang, atau sebuah komunitas, dan betapa mereka ingin mengatakan bahwa bentuk artikulasinya itu adalah sebuah bentuk “seni Islam”. Barangkali, sejauh ini, memori sebagian muslim tentang seni Islam hanyalah terbatas pada bentuk dan bahasa tertentu saja, seperti lantunan shalawat dan kalimat thayyibah dalam nyanyian (qasidah), seni arsitektur masjid yang penuh dengan unsur cahaya (nur), kaligrafi Arab dan garis-garis geometris dalam pembuatan hiasan dinding, pot, perak, dan perunggu yang banyak menyertakan ayat-ayat al-Quran, hadis, atau kalimat-kalimat berbahasa Arab lainnya. Padahal, seyogyanya, identitas seni Islam bukan terbatas pada bentuk tertentu saja, melainkan pada tema, nilai, dan norma-norma yang didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Dengan demikian, yang disebut sebagai seni Islam akan sangat beragam bentuk ekspresinya; bisa melalui kata-kata, seperti novel, cerpen, puisi, sajak, pantun, dan lain-lain; atau bisa juga melalui gerakan anggota tubuh seperti “tari-tarian” yang dipraktekkan dalam seni Indang di Sumatra Barat di atas, atau melalui berbagai bentuk kesenian lain, seperti wayang misalnya. Apalagi untuk konteks Islam Indonesia yang “varian”nya sangat beragam, tentu saja ekspresi seninya pun akan sangat beragam pula, kendati menurut survey terakhir Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada Oktober 2001 perbedaannya tidak terlalu menonjol lagi. Di Jawa misalnya kita menjumpai adanya simbol Islam abangan dan Islam santri yang ortodoks mencampur beberapa seni budaya. Sesuai dengan perbedaan pemahaman, apresiasi dan pemahaman mereka terhadap ajaran-ajaran Islam, masing-masing simbol tersebut niscaya akan mengartikulasikan keseniannya dalam bentuk yang berbeda-beda pula. Lalu, apakah sedemikian longgarnya apa yang disebut sebagai seni Islam itu? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Ya, jika melihat dari segi bentuknya, tapi tidak jika mempertimbangkan tema, nilai, dan normanya, karena Islam telah menggariskan visi dan tugas kemanusiaan yang harus diemban oleh segenap muslim, apapun bidang garapannya. Dalam al-Quran surat Ali Imran 3: 110 misalnya, Tuhan menyeru manusia untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Merujuk seruan-Nya ini, apapun aktivitas seorang atau sekelompok muslim, termasuk dalam hal berkesenian, ia tidak boleh lepas dari tiga tema utama, yakni: “menyuruh kebaikan (humanisasi)”, “mencegah kejahatan (liberasi)”, dan “beriman kepada Allah (transendensi)”. Nah, sejauh sebuah kesenian bisa merepresentasikan ketiga tema dan nilai di atas: humanisasi (memanusiakan manusia), liberasi (pembebasan), dan transendensi (membawa manusia kepada Tuhan), maka ia layak disebut sebagai sebuah seni Islam, apapun bentuknya. Sebaliknya, sengotot apapun seseorang menggolongkan sebuah bentuk kesenian sebagai seni Islam, ia tidak akan mendapatkan legitimasi jika tidak merepresentasikan ketiga tema tersebut. Mengutip Kuntowijoyo, Islam adalah hablun min allâh dan hablun min al-nâs, oleh karenanya, seni Islam pun harus mencerminkan humanisasi plus transendensi, liberasi plus transendensi. Akhirnya, dalam hal seni pun, sudah saatnya kita belajar memanfaatkan dan memahami pluralitas ekspresi seni tersebut sebagai sesuatu yang menguntungkan, bukan sebaliknya, merugikan. Akan lebih bijak rasanya jika kita dapat memanfaatkan keragaman ekspresi simbolis untuk memperkaya seni Islam itu, sehingga seni Islam tidak menjadi milik sekelompok orang saja, melainkan menjadi seni etnik, menjadi seni nasional, menjadi seni sinkretik, menjadi seni tradisional, dan menjadi seni modern, menyatu dengan masyarakatnya, dan tidak eksklusif, sehingga lebih banyak lagi orang yang bisa “menjadi Islam” melalui kesenian. Wallahu a’lam bissawab.[] Oman Fathurrahman Peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta
Liputan PenggusuranBeberapa hari yang lalu saya mengunjungi perkampungan pemulung di belakang Perusahaan Minyak Bumi El-Nusa daerah Cilandak Jakarta Selatan. Ada sembilan bedeng besar yang berdiri diatas kayu dan papan dengan atap seadanya. Orang yang tinggal disana familiar menyebut bangunan bedeng yang cukup besar ini dengan sebutan lapak. Lapak ini terdiri dari lima sampai delapan pintu yang dihuni satu kepala rumah tangga dengan keluarganya. Rata-rata yang tinggal di balik pintu ini adalah anak buah dari katakanlah ketua lapak yang tinggal dalam ruangan yang cukup besar. Kenapa disebut ketua, karena dialah yang bertugas membayar sewa tanah setiap tahunnya. Selain itu mereka menampung serta membayar hasil pencarian barang bekas anak buahnya. Antara satu bedeng dengan bedeng yang lainnya bangunannya memang relatif sama. Akan tetapi pengaturan arah maupun pemanfaatan tanah yang kebetulan kosong dilakukan dengan suka-suka. Barang-barang bekas berupa botol beling, besi tua, bungkus air minum mineral bertumpukan dimana-mana. Ruangan dalam bedeng dimanfaatkan sebagai ruang tidur, ruang memasak, ruang makan bahkan kamar mandi. Tidak ada pembatas berarti yang memisahkan ruangan-ruangan tersebut. Bahkan saya melihat ada satu keluarga yang memelihara ayam di dalam ruangan tersebut!. Secara materi kelengkapan perabot rumah tangga mereka dibilang cukup memadai. Hampir tiap bedeng yang saya lewati terdapat satu pesawat televisi lengkap dengan tape dan vcdnya. Bahkan beberapa laki-laki terlihat membersihkan sepeda motor di depan bedeng mereka. Pada waktu itu saya sempat berbincang dengan pak Pardi dan pak Kusnadi, kedua orang ini adalah pemilik lapak atau ketua lapak. Mereka bercerita bahwa lapak-lapak mereka sebentar lagi akan digusur. Mereka diberi waktu sekitar tiga minggu untuk membereskan dan membersihkan segala sesuatunya. Saya bertanya bagaimana kisahnya sampai mereka bisa sampai ke tanah tersebut dan siapa yang menghubungkan. Mereka bercerita menyewa tanah tersebut dari seseorang bernama Ujang yang mengaku penjaga tanah tersebut. Tanah tersebut adalah aset bank PSP yang sementara waktu memang tidak digunakan. Dalam perjanjian tertulis bahwa mereka menyatakan sebenarnya; (1) Membangun gubuk diatas tanah PSP untuk kepentingan pengumpul barang bekas bersifat sementara dan tidak permanen, (2) Akan selalu menaati segala peraturan dari pengawas lahan dan menjaga hubungan baik dengan lingkungan (3) Bersedia membongkar gubuk maupun meninggalkan lahan tersebut bila sewaktu-waktu akan digunakan oleh yang berhak maupun atas kebijakan pengawas lahan. Tertanda dibawahnya penyewa tanah lengkap dengan materai diatasnya. Tidak ada tanda tangan pemilik/yang menyewakan disana. Pun juga waktu penyewaan tidak disebutkan. Padahal secara lisan dan persetujuan keduanya sewa tanah tersebut berlangsung satu tahun terhitung mulai tanggal menyewa. Sekarang, dengan dalih akan dialih kepemilikan, mereka harus segera pindah dan menggusur bangunan tersebut. Mereka tidak memiliki kekuatan hukum dengan bentuk perjanjian diatas. Bahkan uang sekitar dua juta rupiah untuk satu tahun penyewaan tidak menjamin apa-apa. Persoalan keterdesakan, kemiskinan, seiring dengan persoalan sosial saling tumpang tindih semakin menghimpit. Boleh jadi mereka memiliki tabungan yang cukup berarti untuk menyambung hidup berikutnya. Akan tetapi bagaimana dengan anak-anak mereka yang pasti selalu mengikuti kemana orang tua pergi. Lagi-lagi yang merasakan penderitaan terbesar kembali anak-anak. Selain pola kehidupan yang tidak menjamin kesehatan, mereka yang seharusnya belajar mengais pengetahuan terkungkung kembali dalam ketertindasan dan ketidakadilan sosial orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Lisa NH | |
I tentang LS-ADI I redaksi I dialog I jaringan I depan I
copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/
Faks. 021-9227463
untuk informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com