Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia
Edisi 22 |
EditorialIslam dan Tren PasarBagi sebagian besar orang berpendapat bahwa Islam identik dengan daerah arab padang pasir dengan umat pengikutnya yang memakai atribut sorban dan jilbab. Simbol ini sedemikian lekat sampai pada pendefenisian jika bukan dari arab maka bukan Islam. Ada fenomena baru yang sedang berkembang di Inggris. Setelah peristiwa 11 September setahun yang lalu, Islam menjadi sebuah agama yang menarik untuk dikaji. Banyak orang mencari literatur dan sejarah tentang Islam. Yang kemudian mencolok terlihat adalah sebagian besar perempuan di sana gandrung dengan trend busana muslimah. Mereka berlomba-lomba menciptakan fashion terbaru dengan baju panjang lengkap dengan penutup kepala. Begitu pula di Jepang, mereka juga sedang menggandrungi sorban yang biasanya dililitkan di kepala sebagai selendang hiasan (slayer). Dari fenomena global seperti ini, bukan tidak mungkin simbol-simbol Islam yang pada awalnya dilekatkan pada dunia arab akan bergeser. Positifnya, keberagaman akan semakin terasa jika kita tidak hanya melihat Islam dari satu warna saja. Sebab dalam perkembangannya Islam akan mengadopsi pemikiran dan budaya yang berkembang bukan hanya dalam hal model pakaian akan tetapi pemikiran dan model keberagamaan. Anna Allohu A’lam. Lisa NH
Kajian Islam dan Barat:antara Perbedaan dan KeragamanSudah cukup sering diberitakan bahwa dewasa ini agama Islam sudah berkembang di pelbagai belahan dunia. Islam yang pada awalnya berkembang di kawasan Semenanjung Arabia pada abad ke-7 Masehi, dalam waktu yang tidak lama berhasil memasuki beberapa wilayah lainnya di Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Kecil. Bahkan pada abad ke-10, sebuah dinasti Islam sudah berhasil masuk ke wilayah Eropa, yakni Andalusia (sekarang Spanyol). Islam kemudian menguasai kawasan tersebut setidaknya selama lima abad dan menancapkan pengaruhnya yang sangat besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban. Pengaruh Islam dalam kedua hal tersebut di atas sampai saat ini diakui oleh bangsa-bangsa lain, termasuk oleh Barat. Beberapa pemikir besar Muslim, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, dikenang oleh Barat sebagai orang-orang yang sangat besar jasanya. Bahkan, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa kemajuan Barat dewasa ini, termasuk di dalam ilmu pengetahuan dan peradabannya adalah berkat penemuan (kembali) khazanah ilmu pengetahuan dan peradaban, yang juga sebelumnya pernah maju pada masa kejayaan bangsa Yunani. Akan tetapi, pada saat yang sama, kita juga sering mendengar berbagai pandangan yang beragam di seputar hubungan Islam dan Barat. Terlebih sering lagi, disebutkan bahwa Barat bertentangan dengan Islam, dan sebaliknya. Dalam hal ini, Barat sering disejajarkan dengan Kristen, kaum materialis, bangsa penjajah ataupun Yahudi. Sebuah penggolongan yang mungkin ada benarnya, tapi juga sangat mungkin keliru. Mengapa? Karena masyarakat di Barat sendiri juga beragam. Terlalu banyak kelompok dan pandangan yang ada di Barat, yang mungkin terlalu sederhana untuk selalu disamaratakan seperti itu. Bukti-bukti terakhir menunjukkan betapa Islam juga sedang menggeliat dan berkembang dengan pesat di Barat. Dari berbagai informasi yang kita dapatkan, umat Islam kini bukan hanya tinggal di kampung-kampung, kota-kota dan negeri-negeri Muslim saja. Tapi juga, mereka kini tinggal negeri-negeri Barat seperti di Eropa, Amerika Utara, dan Australia. Di AS sendiri, pada tahun 1991, diperkirakan tidak kurang dari 6 juta penduduk Muslim yang tinggal dan menjadi warga negara AS. Sumber lain yang lebih mutakhir menyebutkan bahwa jumlah penduduk Muslim di negeri ini sudah mencapai 7 juta orang. Hal inilah yang membuat banyak kalangan mengatakan bahwa kini agama Islam menjadi agama yang paling cepat pertumbuhannya di Amerika Utara. Sementara itu, karena kaum imigran Muslim yang kini tinggal di Amerika Utara juga kebanyakan adalah kalangan Muslim yang berpendidikan tinggi, maka ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa mereka ini adalah perwakilan orang-orang dari dunia Islam yang paling terdidik. Di Perancis, Islam jelas cukup besar pengaruhnya. Khususnya, banyak para imigran yang berasal dari beberapa negeri jajahan Perancis seperti Marokko, Tunisia, Aljazair, Mali dan Senegal yang bekerja dan tinggal di sana. Tidaklah mengherankan, jika ada yang mengatakan bahwa di beberapa kota besar Perancis, 1 di antara 6 penduduknya adalah orang Islam. Hingga kini, Islam menduduki agama terbesar kedua di Perancis. Saudara-saudara Muslim kita ini terdiri dari berbagai ras dan suku bangsa. Meskipun jumlah mereka tidak terlalu besar, kehadiran mereka cukup mewarnai dan memperkaya masyarakat di mana mereka tinggal. Mereka banyak yang berjuang semampu yang mereka lakukan setidaknya untuk dua hal. Pertama, untuk tetap menjadi bagian dari masyarakat Barat yang maju, dan kedua, pada saat yang sama, menginginkan menjadi masyarakat Muslim yang baik. Sebagian besar di kalangan mereka bisa bertahan, menikmati tantangan kehidupan yang lebih keras tapi lebih baik bagi masa depannya dan meneruskan generasi-generasi Muslim berikutnya. Hal itulah yang mereka buktikan dengan mendirikan berbagai lembaga dan organisasi keislaman seperti Islamic Center. Lembaga ini menjadi pusat ibadah, pendidikan, sosial dan budaya masyarakat Muslim di manca negara. Dewasa ini, kemanapun kita pergi di berbagai kota besar di dunia ini, dari Washington D.C., London, Paris, Roma, hingga Sydney, akan kita temukan Islamic-islamic Center itu. Sebagian di antaranya didirikan secara sederhana, tapi tidak sedikit yang cukup megah. Penyebaran masyarakat Muslim yang sedemikian tinggi di Barat seperti yang dewasa ini terjadi, mungkin juga adalah sesuatu yang tidak terelakkan. Khususnya, dari sebuah proses globalisasi, di mana kemajuan dan perkembangan dunia yang cenderung semakin membesar sekaligus mengecil, dan mengerucut menjadi sebuah “Kampung Besar.” Di sinilah pentingnya kita mengingatkan bersama akan makna adanya perbedaan dan keragaman. Tabiat dan kecenderungan manusia berbeda-beda, tapi umat Islam dituntut untuk menunjukkan sikap dan perilaku terbaik yang bisa mereka lakukan. Barangkali di sinilah letaknya salah satu makna terpenting dari firman Allah Swt. di dalam Q.S. Ali Imran, 110: “Kamu adalah sebaik-baik umat, akan jadi contoh buat seluruh manusia, mengajak kepada yang benar, dan mencegah kemungkaran, lagi beriman kepada Allah.” Kita tentu saja tidak bisa meremehkan adanya pengaruh buruk dari hubungannya dengan bangsa lain. Penurunan akhlak dan moral masyarakat akhir-akhir ini memang sangat mengkhawatirkan. Tapi pengaruh buruk tidak hanya datang dari luar, bisa juga dari dalam diri kita sendiri. Hal itu dipengaruhi oleh sikap hidup dan pandangan kita mengenai diri kita sendiri, dan juga orang lain. Sikap yang adil, bijaksana dan jujur termasuk dalam menilai orang lain sangatlah diagungkan di dalam ajaran kita sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah, 143: “Demikianlah, kami jadikan kamu umat yang seimbang dan adil, agar kamu menjadi saksi untuk seluruh umat manusia.” Setelah terjadinya serangkaian pemboman gedung WTC di New York dan gedung Pentagon di Washington D.C. Amerika Serikat tahun lalu, di mana sebuah kelompok Islam dituduh bertanggung jawab atas aksi kekerasan tersebut, masyarakat dunia, khususnya Barat, semakin tertarik untuk mengetahui tentang Islam. Di samping pernah terjadi berbagai aksi balasan yang kurang menyenangkan, kalangan Muslim di Amerika Serikat mengakui peristiwa yang juga dikenal sebagai tragedi 11 September ini memiliki semacam anugerah yang tersamarkan. Orang-orang dan rakyat biasa banyak sekali yang bertanya mengenai Islam. Buku-buku tentang Islam dan al-Qur’an banyak dibaca. Tidak pernah sebelumnya ada masa di mana orang-orang Islam dari berbagai kelompok yang berbeda bisa bersatu padu dalam satu barisan. Demikianlah, selalu ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari sebuah peristiwa besar. Dan, semoga kita tidak pernah berhenti untuk mencari pemahaman dan makna dari sikap keberagamaan kita, dan mendapatkan suri tauladan yang baik dari pengalaman-pengalaman kehidupan. Dadi DarmadiDosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta
Liputan Kastingkem; Buruh Anak Pahlawan KeluargaSatu dari banyak hal ironis di negeri ini adalah fenomena semakin banyaknya buruh anak. Mereka yang seharusnya di tangannya menjinjing tas berisi pena dan buku, mengais rejeki dengan menjadi buruh. Fenomena ini berangkat dari kemiskinan yang menjadi trend di negeri ini dan buruh anak seolah-olah adalah produk dari trend tersebut. Menurut data penelitian, buruh anak semakin meningkat jumlahnya pada saat krisis ekonomi 1998, data terakhir yang saya dapatkan ada sekitar 2 juta anak usia 10-14 tahun yang aktif secara ekonomi. Jumlah ini tentu saja belum termasuk anak-anak yang tidak aktif secara ekonomi atau tidak berpenghasilan tetap, atau mereka sekedar membantu kegiatan ekonomi orang tua dengan menjadi pengamen, pemulung atau tukang semir sepatu, mungkin jika dikalkulasi jumlahnya bisa mencapai 4 jutaan. Adalah Kastingkem, anak berusia kira-kira 13 tahun ini tiap hari mengamen dari satu bus ke bus yang lain dengan membawa tape karaoke yang dijinjing di pundaknya. Tiap hari dia berpenghasilan kira-kira 75 ribu sampai 100 ribu rupiah. Hasil sebanyak itu dia serahkan seutuhnya pada kedua orang tuanya. Dia menuturkan; rencananya, dari uang penghasilan yang setiap harinya ditabung untuk membangun rumah di kampung, daerah Jaribarang Jawa Barat. Saya kemudian bertanya adakah keinginan untuk sekolah dengan penghasilan harian sebanyak itu. Dia mengangguk kuat-kuat meresponi pertanyaan saya. “Tapi saya takut sama Bapak”, begitu ujarnya kemudian. Teman-teman seusianya rata-rata sudah bisa membaca dengan cepat kata BAPAK atau IBU. Sedangkan dia baru bisa melafalkan a b c dengan tuntunan. Keinginan sekolah itu begitu kuat karena semata-mata dia ingin bisa membaca. Sekali itu saya menyimpulkan Kastingkem adalah pahlawan bagi keberlangsungan hidup keluarganya. Akan tetapi adakah terbersit pemikiran dari ayah dan ibunya masa depan anak ini kemudian. Akankah dia dibiarkan terus hidup di jalanan, menelan kerasnya kehidupan. Bukan hanya panas dan hujan yang menjadi rintangan akan tetapi petugas Kamtib (keamanan dan ketertiban) yang setiap saat selalu mengancam. Belum lagi kekerasan jalanan yang rentan dialami oleh anak perempuan seusianya. Di negeri ini tentu saja bukan hanya Kastingkem yang mengalami nasib seperti itu, satu hal dia masih cukup beruntung karena sehabis maghrib setelah seharian bekerja dia ikut sekolah gratis dimana saya turut mengajar disana. Ribuan bahkan jutaan anak Indonesia mungkin mengalami nasib yang lebih buruk dari itu. Tentu saja bukan murni kesalahan orang tua mereka karena miskinnya kesempatan di negeri ini begitu akutnya. Baiknya kita mungkin bisa merenungi pepatah arab yang mengatakan; belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar pada usia tua bagai mengukir di atas air. Alangkah nistanya kita jika membiarkan kesempatan anak-anak untuk menjadi pintar dan belajar banyak hal untuk memorinya terlewat begitu saja. Anna Allohu A’lam Lisa NH | |
I tentang LS-ADI I redaksi I dialog I jaringan I depan I
copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/
Faks. 021-9227463
untuk informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com