Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia
Edisi 1 |
Editorial Masjid Masjid, sampai saat ini masih sangat strategis sebagai sarana komunikasi dan transformasi nilai-nilai kepada masyarakat Islam. Masjid bagi masyarakat Islam tidak hanya bermakna sakral. Secara sosial, ia juga menjadi tempat pertemuan antara segenap komponen umat dalam Islam. Kewajiban shalat Jum’at seminggu sekali, serta shalat-shalat jama’ah tiap waktu merupakan wahana yang sangat efektif untuk menjalin ukhuwah, interaksi sosial, serta pertukaran pengetahuan. Kendati demikian, sebagian besar umat Islam tidak memaknai nilai lebih masjid ini. Anggapan bahwa masjid hanyalah tempat ibadah yang mesti dijauhkan dari persoalan-persoalan mu’amalah ummat Islam, masih menjadi kecenderungan dominan. Di sisi lain, perintah Rasulullah “memakmurkan masjid” kadangkala ditangkap dalam konteks material; memegahkan bangunan masjid, menghias masjid dengan sedemikian rupa. Sedangkan “memakmurkan” dalam konteks yang lebih penting seperti halnya memperbanyak pengajian, kajian, tukar menukar informasi, dikeluarkan dari wilayah masjid, dianggap sebagai bukan pada tempatnya. Anick H. Tohari
Kajian Masjid sebagai Simbol Peradaban dan KeadabanMasjid berasal dari kata sajada-yasjudu artinya bersujud, berlutut dan membungkuk. Sedangkan masjid dalam kaidah sharf disebut sebagai nama tempat, jadi masjid berarti tempat bersujud, berlutut dan membungkuk. Akar kata “masjid” tersebut cukup untuk menjelaskan bahwa masjid merupakan tempat orang-orang melakukan ibadah ritual keagamaan, sebagai kepatuhan dan ketaatan pada perintah-perintah Tuhan. Karena itu, masjid menjadi sentral penyebaran nilai-nilai keadilan, kebenaran dan keselamatan. Allah berfirman: Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku untuk menegakkan keadilan, dan luruskan perhatianmu di setiap masjid dan sembahlah Allah dengan penuh ikhlas, sebagaimana Dia menciptakanmu, dan kepada-Nya kalian akan kembali (QS. Al-A’raf [7]: 29) Ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam ayat tersebut, bahwa bersujud di dalam masjid mempunyai dua pesan yang harus dijadikan pedoman dalam mengukuhkan keimanan pada Allah. Pertama, masjid menjadi titik tolak untuk mendekatkan diri hubungan seseorang dengan Tuhannya, yang dikenal dengan hablum minallah, hubungan manusia dengan Allah. Di situ seseorang meratapi segala perbuatannya yang telah lalu, dengan harapan esok hari dapat membangun suatu harapan kehidupan yang lebih baik. Masjid menjadi simbol kedekatan seorang hamba dengan sang Khaliq agar menebarkan pesan-pesanNya yang sangat kaya itu. Lafadz la ilaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah) merupakan ungkapan yang menunjukkan jalan kepada setiap manusia untuk membebaskan dirinya dari segala kungkungan, penindasan, kezaliman, pensakralan dan segala hal yang menyekutukan Tuhan. Tidak ada yang patut disembah, kecuali Allah Swt. Karenanya, segala bentuk yang akan menjerumuskan manusia pada pemberhalaan dan pembelaan yang berlebih-lebihan terhadap selain Allah harus segara ditiadakan sebagai manifestasi dari ketauhidan. Tauhid yang menjadi misi utama masjid sejatinya menjadi lokomotif spiritualitas setiap manusia untuk mencetak kepribadian yang utuh dan sempurna. Di sinilah masjid harus menyemai manusia-manusia yang kreatif, mandiri, dan mempunyai wawasan yang konstruktif. Kedua, masjid menjadi ladang untuk menanam bibit-bibit keharmonisan dan kerukunan., yang dikenal dengan hablum min al-nass, hubungan manusia dengan manusia yang lain. Masjid tidak hanya membentuk pribadi yang shalih dan melulu menekankan sisi transendensi yang mengukuhkan hubungan dengan Tuhan semata, akan tetapi harus menjadi pemicu kedamaian dan keseimbangan di tengah-tengah masyarakat yang plural. Pada zaman Rasulullah masjid menjadi tempat yang sangat strategis untuk membangun jembatan persaudaraan antar sesama manusia, baik yang seagama maupun yang berbeda agama. Masjid menjadi tempat untuk melangsungkan pernikahan yang akan membentuk sebuah keluarga sakinah. Dalam sebuah hadits disebutkan: Langsungkanlah pernikahan di dalam masjid dan pukullah rebana dalam hajatan itu (HR. Ahmad dan al-Turmudzi). Dari masjid lahirlah komunitas yang senantiasa menjadikan agama sebagai perisai dalam mempererat tali persaudaraan hingga menjadi sebuah ikatan keluarga yang berlandaskan mawaddah wa rahmah, kasih dan cinta. Keluarga menjadi prasyarat untuk menciptakan masyarakat yang adil, demokratis dan berkeadaban. Rasulullah memberikan isyarat yang tegas pada perintah tersebut. Bukan hanya itu saja, pada zaman Nabi, masjid dijadikan alternatif dalam melakukan perundingan dengan penganut agama lain, sebagaimana dijelaskan Ibn Qayyim al-Jauziah, seorang ulama terkemuka. Dikisahkan bahwa orang-orang Kristen Najran mengirimkan delegasi ke Madinah untuk melakukan perundingan dengan Nabi sebagai respon terhadap surat Nabi, lalu mereka bermaksud untuk mengadakan kebaktian, yaitu ibadah orang-orang Kristen. Tatkala mereka ingin melakukannya di luar masjid, Nabi melarang, “jangan!”. Nabi justru mengizinkan orang-orang Kristen Najran untuk melakukan kebaktian di dalam masjid. Keterbukaan Rasulullah menerima orang-orang Kristen melakukan kebaktian di dalam masjid merupakan sebuah keteladanan yang ingin merekatkan hubungan antar sesama manusia yang pada dasarnya rindu akan kebenaran. Dalam hal kebaikan, tidak ada halangan bagi setiap penganut agama untuk menjadikan masjid sebagai wadah untuk membuat kesepatakan-kesepakatan yang akan menguntungkan kepentingan dua belah pihak. Ulama al-Azhar di Mesir pun masih menghidupkan tradisi baik tersebut, di mana dalam peringatan-peringatan besar yang dilaksanakan di masjid al-Azhar kerapkali dihadiri oleh pemuka-pemuka agama Kristen Koptik. Perbedaan agama tidak menjadi hambatan untuk menebarkan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan keselamatan. Masjid menjadi alternatif untuk membangun kesetaraan dan keharmonisan dalam masyarakat yang majemuk. Maka dari itu, dalam kaitannya dengan misi suci masjid, sebenarnya tidak terletak dari segi kemegahan masjid itu sendiri. Pada zaman Rasulullah, sebagaimana dikisahkan Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam Fiqh al-Sirah, masjid yang didirikan Rasulullah di Quba sangat sederhana. Lantainya terdiri dari pasir dan kerikil, atapnya terbuat dari pelepah kurma, dan tiangnya terbuat dari sebatang kayu. Apabila turun hujan, lantainya akan becek dan anjing-anjing berkeliaran di sekelilingnya. Para ulama klasik pun tidak terlalu memperdulikan terhadap hiasan masjid. Yang menjadi perhatian mereka yaitu aspek penggemblengan batin menuju kesucian dan kesempurnaan lahir dan batin. Bahkan Syaikh Muhammad al-Ghazali menambahkan, bahwa masjid yang dibangun Rasulullah di Madinah bukan satu-satunya tempat untuk melakukan ibadah, karena seluruh bumi adalah masjid, dan seorang muslim dalam beribadah tidak terikat dengan tempat tertentu. Yang menjadi ajaran utama Nabi sebenarnya bukan wujud material masjid, akan tetapi aktivitas dan misi suci masjid dalam menciptakan perubahan dan kemajuan di tengah-tengah masyarakat. Di sini dapat dipahami, masjid dengan segala kesederhanaannya bukan menjadi tujuan, akan tetapi alat dan tempat melakukan proses-proses penyempurnaan keberagamaan seseorang guna mencapai kebenaran abadi yang diridhai Allah Swt, di mana kelak seseorang dapat membangun sebuah masyarakat yang kukuh. Allah berfirman: Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih (QS. Al-Taubah [9]: 108) Takwa menjadi prasyarat bagi seorang muslim dalam setiap melakukan aktivitasnya. Karena itulah masjid dan takwa ibarat dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan, kedunya mempunyai keterikatan yang saling melengkapi. Di mana ada masjid di situ terdapat ketakwaan. Di mana ada ketakwaan di situlah dibangun sebuah masjid. Prof. Dr. Zaki Nagueb Mahmud, cendekiawan muslim asal Mesir pernah berkata, “Aku telah mendirikan masjid di dalam kalbuku. Karena itu aku adalah masjid”. Masjid itu menempati hati setiap muslim. Tidak berlebihan apabila masjid menjadi starting point dalam membangun peradaban yang kesohor. Masjid banyak melahirkan ulama-ulama yang mempunyai kedalaman ilmu. Dengan masjid, mereka dapat menyandingkan antara keesaan Tuhan dengan keluasan ilmu. Dari masjid, lahir ulama-ulama fikih yang menghiasi pemikiran keagamaan seperti Imam Syafi’ie, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hambali dan lain-lain. Mereka menjadikan masjid sebagai tempat untuk mengasah nalar dan akal pikiran untuk melakukan ijtihad-ijtihad keagamaan yang akan memperkaya khazanah fikih. Selain itu, tidak diragukan lagi masjid menjadi state of morality, tempat menumbuhsuburkan moralitas dan keadaban. Dari masjid, tercipta kedisiplinan, kebersamaan, kesetaraan dan ketenangan jiwa. Syaikh Muhmmad al-Ghazali memberikan pandangan yang menarik untuk disimak, “Kedudukan masjid dalam masyarakat muslim adalah sebagai sumber penyempurnaan lahir dan batin. Masjid adalah tempat yang lapang untuk melakukan ibadah, mengembangkan keilmuan dan memupuk moralitas, yang kesemuanya itu menjadi inti ajaran Islam”. Zuhairi Misrawi, Lc. Alumnus Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir | |
I tentang LS-ADI I redaksi I dialog I jaringan I depan I
copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/
Faks. 021-9227463
untuk informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com