Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia
Edisi 11 |
Editorial Hak Asasi Manusia Banyak kalangan muslim masih menganggap bahwa konsep hak asasi manusia adalah konsep Barat. Banyak yang menganggap bahwa Islam miskin perangkat untuk menjelaskan bagaimana memanusiakan manusia, serta meletakkan manusia sebagai objek sekaligus subjek keberlangsungan kehidupan dunia. Apapun pemaknaan kita tentang hak asasi manusia, human rights, atau huquq al-adamiyah, ia merupakan sesuatu yang universal dalam diri manusia, sejak manusia itu ada dan berhubungan dengan sesamanya. Biasanya orang memasukkan tiga hal dalam kategori ini; hak hidup, hak memperoleh kebebasan, dan hak mendapatkan perlakuan yang sama. Dalam Islam, hak-hak itu memperoleh porsi tersendiri, tercermin dalam perlakuan Rasulullah terhadap umatnya yang cukup beragam saat itu. Secara eksplisit Rasulullah menegaskan bahwa “manusia dilahirkan ke dunia dalam keadaan suci”, tanpa dosa. Kesan bahwa hak asasi manusia adalah “bawaan” dunia Barat muncul seiring munculnya komitmen bersama negara-negara di dunia untuk melahirkan apa yang disebut sebagai Declaration of Human Rights pada 10 Desember 1948. Namun sekali lagi, hal itu hanya formalisasi dari sesuatu yang secara universal sudah ada dan melekat pada peradaban manusia Anick H. Tohari
Kajian Islam dan Hak Asasi Manusia Siapa di antara kita yang tidak mengenal Umar bin Khattab. Dia adalah khalifah kedua dari Khulafa’ al-Rasyidin yang terkenal dengan sebutan alfaruq, pembeda yang benar dengan yang bathil. Salah satu jejak langkah Umar yang mesti diikuti adalah kebijakan dia menyangkut soal penghormatan hak asasi manusia dalam Islam, terutama menyangkut kebebasan beragama dan kepercayaan. Peperangan panjang antar muslim dengan Byzantine di Yerusalem pada masa khalifah Umar bin Khattab, akhirnya dimenangkan oleh kaum Muslim. Kemenangan itu tidak serta merta membuat kaum muslim bertepuk dada, apalagi bercita-cita untuk mengislamkan semua kaum Nasrani yang ada di situ. Salah satu obsesi Umar adalah bagaimana menciptakan rasa aman bagi masyarakat Nasrani. Bersama raja Katolik di Baitul Maqdis, St. Sofronius, Umar bin Khatab membuat perjanjian yang sangat fundamental dan terkenal dengan sebutan perjanjian Aelie, Mitsaq Aelie. Dalam perjanjian itu ditulis “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, dari Umar Bin Khatab kepada penduduk Aelia (Iliya, yakni Bayt-u’l Maqdis atau Yerusalem) bahwa jiwa mereka (maksudnya kaum Nasrani), anak keturunan dan wanita-wanita mereka dijamin aman, serta semua gereja tidak boleh diduduki dan dirusak..”. Jaminan Umar bin Khatab ini adalah sebuah contoh kongkrit bagaimana mengamalkan seruan Allah “Tidak ada pemaksaan dalam agama.” (QS. Al-Baqarah: 256). Umar juga ingin menegaskan kembali firman Allah “Kalau Tuhan menghendaki, maka akan berimanlah semua manusia yang ada di muka bumi. Apakah kalian akan memaksa manusia agar mereka beriman?” (QS. Yunus:99). Umar yang keras dalam menegakkan syiar Islam ternyata adalah seorang sahabat yang begitu menghargai hak asasi manusia. Sesungguhnya Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai Hak Asasi Manusia. Jauh sebelum dideklarasikannya Hak Asasi Manusia pada 1948 oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) Islam telah mengajarkan bagaimana memanusiakan manusia. Manusia dalam Islam menduduki posisi mulia dan terhormat. “Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam..” (QS al-Isra’:70), “Orang-orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang bukan Arab. Orang kulit putih tidak mempunyai kelebihan atas orang kulit hitam, selain dalam hal ketaqwaan pada Allah” (al-Hadis), “kaum wanita adalah saudara kandung kaum laki-laki” ( al-hadis). Nabi Muhammad telah mencontohkan bagaimana penghargaan terhadap hak asasi manusia bisa mengangkat derajat manusia. Bilal bin Rabah, seorang budak hitam keturunan Habsy melalui Abu Bakar dimerdekakan oleh Nabi menjadi manusia yang bebas. Nabi mengangkatnya sebagai muazin yang bertugas menyeru orang untuk melaksanakan Shalat lima waktu. Menurut Khalid bin Khalid dalam Man Behind the Messenger, muazin waktu itu adalah sebuah posisi yang diinginkan oleh setiap bangsawan atau pemimpin Quraisy yang telah masuk Islam. Ajaran Rasulullah hakekatnya melahirkan pandangan kesamaan dan persamaan pada manusia. Karena hanya Allahlah zat yang maha tinggi dan absolut, sementara manusia adalah sama-sama, sama relatif dan sama berkekurangan. Selain itu, perbedaan-perbedaan yang dibuat oleh Allah pada ciptaannya bukanlah untuk melegalkan praktek membeda-bedakan. “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal.” (QS. Al-Hujurat:13). *** Momentum paling bersejarah saat-saat menjelang datangnya ajal Rasulullah adalah ketika beliau melakukan haji wada’. Pada saat itulah turun ayat terakhir dari wahyu al-Quran. “Hari ini aku sempurnakan agamamu, dan aku merelakan Islam sebagai agamamu” (QS. Al-Maidah:03). Dan yang terpenting mengiringi ayat di atas adalah pidato Arafah Nabi yang berisi pesan-pesan penghormatan hak asasi manusia. Di hadapan puluhan ribu jamaah muslim yang mengikutinya, Nabi dengan lantang berpidato. “Wahai umat manusia sesungguhnya darahmu (al-dima’), hartamu (al-amwal), kehormatanmu (al a’radl) suci. Cobalah kalian dengar! Hiduplah, tapi jangan sekali-kali kalian berbuat kezaliman, jangan sekali-kali berbuat kezaliman, jangan sekali-kali berbuat kezaliman… “(hadis diriwayatkan oleh Ahmad). Apa yang disabdakan oleh Rasulullah di atas adalah sama, selaras dengan konsepsi John Locke dan Thomas Jefferson tentang hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup, life; kebebasan, liberty; dan kebahagian, pursuit of happines. Dengan demikian dapat disarikan bahwa sedari awal Islam telah mengajarkan untuk menghormati hak asasi manusia. Islam juga menghargai kebebasan nurani yang meliputi kebebasan beragama dan berkeyakinan bahkan untuk kafir sekalipun, kebebasan untuk berbeda pendapat, kebebasan dari rasa takut dan ancaman penyiksaan, jaminan untuk diperlakuakan adil di hadapan hukum. Untuk yang terakhir, al-Quran bahkan menyebutkan suatu hal yang tidak tersurat pada deklarasi universal hak asasi manusia, yaitu “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil“. (QS. al-Maidah/5: 8). Wallahu a’lamu bi al-Shawwab. Irwandi. Alumnus IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Liputan Sekolah Gratis Buah Kepedulian Remaja Masjid Realitas pendidikan formal di Indonesia sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan, fasilitas yang tidak menunjang, sistem yang amburadul adalah bagian dari realitas yang memprihatinkan tersebut. Ekses dari fenomena ini, sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak usia didik tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan formal. Mencari selogam dan secarik kertas uang dengan menjadi anak jalanan, pengamen, pemulung adalah pilihan terakhir bertahan hidup, di tengah minimnya kesempatan itu. Apa yang harus kita lakukan jika dihadapkan pada realitas di depan mata seperti di atas? Sekelompok remaja yang tergabung dalam Remaja Islam Masjid Baitul Hikmah memberi contoh produktif. Mereka tergerak melihat pemandangan keseharian seperti itu. Mereka jenuh melihat kemiskinan dan kesenjangan yang semakin tinggi menghalangi anak jalanan dan pemulung itu memperoleh pendidikan. Sekolah gratis, jika boleh dibilang demikian, menjadi pilihan implementasi kepedulian mereka. Agung, salah seorang remaja yang mandegani “gerakan” itu, secara sederhana merumuskan tujuan dasar pembentukan sekolah gratis itu; memberantas buta huruf di kalangan anak-anak yang kurang berkesempatan itu. Sejauh ini secara sukarela ia bersama teman-temannya bergilir mewujudkan tujuan dasar itu Bangunan sederhana itu terletak di kompleks pemulung Jl. Jeruk Purut Rt 09/01 Kelurahan Cilandak Timur Pasar Minggu Jakarta Selatan, tepat di belakang PT Elnusa Cilandak. 60-an anak, yang oleh masyarakat sekitar diidentifikasi sebagai TK (Tukang Kardus), TB (Tukang Beling), dan TN (Tukang Ngamen), secara bergilir memanfaatkan waktu luang mereka untuk sekedar belajar a, b, c, dan alif, ba, ta. Waktu luang itu pun mereka punya setelah seharian, subuh sampai magrib, keliling mengais sesuatu yang dibuang oleh para orang kaya Jakarta. Ruang kelas, yang juga bagian dari rumah pibadi Agung, tersebut tentu saja tidak bisa dianggap layak untuk sebuah poses belajar mengajar yang ideal. Tidak mudah mewujudkan obsesi para remaja ini, yakni membuat semacam musholla semi permanen yang multi-fungsi; sebagai tempat ibadah, sekaligus tempat belajar-mengajar dan perpustakaan. Bisa ditebak, kendala utamanya adalah persoalan klasik; dana. Mereka telah memulainya. Tinggal kita yang mesti mendukung, membantu, dan minimal mempunyai rasa trenyuh melihat kondisi ini. Sudah sepatutnya kita menyadari bahwa anak-anak itu adalah bagian dari masa depan bangsa kita, masa depan umat manusia. Wajib bagi kita menjadikan kepedulian remaja masjid itu menjadi kepedulian kolektif seluruh anak bangsa. M. Istijar, Anick H. Tohari | |
I tentang LS-ADI I redaksi I dialog I jaringan I depan I
copyrights @ LS-ADI Online 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/
Faks. 021-9227463
for further information
mailto:ls-adi@plasa.com