Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia
Edisi 8 |
EditorialBom“Islam adalah agama yang toleran, yang menempatkan jiwa manusia dalam rasa hormat yang tinggi dan menganggap serangan terhadap orang yang tak bersalah sebagai dosa yang besar. Islam tidak pernah membolehkan seoang muslim membunuh orang yang tak bersalah dan orang yang tak berdaya”. Demikian kutipan pernyataan Dr. Yusuf Qardhawi dalam satu kesempatan di Doha, Qatar. Dalam sejarah kelam perkembangan manusia, peperangan dan penghancuran selalu menjadi momok yang mengakibatkan jutaan nyawa manusia mengalami koban dan derita kemanusiaan. Mungkin kita tidak perlu menyesali mengapa bom diciptakan, karena perkembangan kecerdasan manusia memang meniscayakan itu. Yang mesti kita sesalkan adalah kenyataan bahwa bom itu ternyata juga dimanfaatkan orang yang tidak bertanggung jawab untuk membunuh sesama yang tak bersalah, menghancurkan manusia dan kemanusiaan, serta meluluhlantakkan peradaban yang ia anggap “berbeda”. Kadang kala memang kita harus menyadari bahwa kemajuan kecerdasan manusia tidak selalu diikuti dengan kemajuan untuk menghargai hak hidup dan kehidupan sesama. Menjadi tugas kita untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan umat. Anick H. Tohari
Kajian Bom di Rumah Tuhan Tepat pada pergantian tahun 2001-2002 yang lalu kita dikagetkan kembali oleh berita memilukan yang sebenarnya sudah tidak asing dalam kehidupan keseharian kita; terjadinya ledakan bom di empat gereja di Palu, Sulawesi Tengah. Ledakan itu merusakkan keempat umah ibadah agama Kristiani tersebut serta melukai beberapa orang di sekitarnya, termasuk petugas penjinak bom. Kejadian di Palu itu mengingatkan saya pada cerita seorang kawan Kristiani yang dengan sedih pilu menuturkan lebih kurang 100 gereja yang dirusak dan dibakar massa radikal, sejak zaman reformasi sampai sekarang ini. Tak hanya gereja, masjid pun tak kalah seringnya menjadi sasaran amuk massa di berbagai tempat. Menyikapi hal itu, sebenarnya kita sudah letih bersuara dan bertindak mengatasinya. Tapi karena pertimbangan umat, agama dan bangsa, kita pun tak henti-hentinya menyampaikan pendapat, saran, dan bahkan tindakan konkrit untuk menghapusnya. Kesadaran dan nurani kita tersentak, karena lagi-lagi yang menjadi sasaran ledakan itu adalah gereja, rumah ibadah umat Kristiani. Bayangkan, betapa kesadaran beragama kita mengalami keterkoyakan yang luar biasa, jika mata dan hati kita dihadirkan pada peristiwa peledakan bom, justru di masjid dan gereja yang akhirnya menelan korban dan derita kemanusiaan. Derita umat manusia adalah derita kita juga. Kita pun tersentak, karena tindakan biadab ini kembali diulang oleh ‘tangan-tangan jahat’ yang sama sekali tak bertanggung jawab. Dengan argumen apa pun, tindakan perusakan dan apalagi peledakan bom di rumah ibadah, jelas-jelas bertentangan dengan moral agama dan kemanusiaan. Merusak, apalagi meledakkan bom di rumah ibadah, menurut perspektif al-Qur’ân sama saja dengan merusak dan menghancurkan “rumah Tuhan”. Karena, rumah ibadah dalam ajaran Islam, disebut dengan bait Allah (rumah Tuhan). Tidak saja kesucian rumah Tuhan kemudian wajib dijaga oleh umatnya, melainkan juga siapa pun di antara kita, yang memasuki rumah Tuhan, wajib pula dijaga keamanannya, karena ia menjadi tamu Tuhan. Sebagai rumah Tuhan, tindakan merusak, apalagi meledakkan bom di dalamnya, mudah sekali menimbulkan reaksi, emosi, dan bahkan “titik pengorbanan” dan “penghabisan darah” dari pihak umatnya. Hal ini bisa dipahami, karena rumah Tuhan menjadi simbol yang paling tinggi dalam menjalin kemesraan spiritual dengan Tuhannya. Di rumah Tuhanlah, kita memenuhi dahaga spiritual. Di rumah Tuhan pula, kita melakukan hubungan transendensi-spiritual antar sesama (hablun min al-nas) dan sekaligus imanensi dengan Tuhan Yang Maha Agung (hablun min allah). Di rumah Tuhan jua, kita mengadukan segala kekhilafan, tumpuan dan harapan hidup kita, agar menjadi lebih baik. Nah, kalau rumah Tuhan dibakar, bayangkan, bukankah itu tidak saja “membakar” rumah Tuhan itu sendiri, melainkan juga sudah “membakar” tumpuan dan harapan hidup kita. Padahal, bagi umat Islam, sehabis shalat di Masjid (rumah Tuhan), kita selalu berdo’a “rabbana atina fiddun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah waqina azabannar”, (“wahai Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat kelak dan selamatkan kami dari siksa neraka”). Untuk itulah, sekiranya Tuhan sejak awal meridhai keganasan manusia atas yang lain, tentulah sudah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja, sinagog, dan masjid. Namun, sedikit pun Tuhan tak merestuinya. Dalam Kitab Suci umat Islam, al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, dan sinagog-sinagog orang Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah” (Q.S. al-Hajj 22:40). Hal itu juga menjadi bukti bahwa keberadaan biara-biara Nasrani, gereja, sinagog, dan masjid telah direstui keberadaannya dan sudah menjadi hukum-Nya (sunnatullah). Sebagai hukum Tuhan, tentu kita tak mungkin men-sweeping salah satu rumah ibadah, yang berbeda dengan rumah ibadah kita. Ini karena tindakan seperti itu sama saja melawan hukum Tuhan. Karena itulah, Islam mengajarkan kepada kita agar menghormati dan memelihara rumah ibadah pemeluk agama lain, sebagaimana pemeluk agama lain menghormati rumah ibadah kita. Kenyataan pluralisme rumah Ibadah, memang harus kita sikapi secara positif, dan bahkan optimis sebagai sebuah aturan dan kehendak Tuhan, yang tidak mungkin kita lawan ataupun kita hindari. Apalagi, dari sudut pandang spiritualitas-keagamaan, rumah ibadah yang menjadi tempat ibadah para penganut agama, juga tercatat disisi-Nya dan bahkan kelak tidaklah termasuk orang yang merugi. Bukankah dalam salah satu firmannya Tuhan juga menegaskan bahwa “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’în, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta berbuat kebajikan, bagi mereka adalah pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati” (Q.S. al-Baqarah 2:62). Sukidi. Penulis buku "New Age, Wisata Spiritual Lintas Agama" (Gramedia, Maret 2001) dan "Teologi Inklusif Cak Nur (Penerbit Kompas, April 2001).
Liputan Yayasan Masjid Al-Ikhlas: Pendidikan Go Internasional Berbasis Masjid Melihat sekilas gedung masjid yang megah berlantai dua dan dikelilingi gedung sekolah, kita akan membayangkan bahwa masjid ini didirikan belakangan untuk memfasilitasi siswa sekolah tersebut. Namun kita akan terperangah jika mengetahui bahwa gedung-gedung sekolah itulah yang muncul belakangan, sebagai pengembangan dari masjid yang dibangun lebih dulu. Berdiri sebagai Yayasan Masjid Al-Ikhlas (YMAI) pada tanggal 11 April 1967, masjid Al-Ikhlas yang berlokasi di Cipete Jakarta Selatan adalah masjid biasa yang didirikan hanya sebagai tempat peribadatan. Para pendiri masjid ketika itu tidak bermaksud untuk mendirikan lembaga-lembaga apapun di sekitar masjid. Ini karena di sekitar masjid sudah ada beberapa sekolah, di antaranya SMPN 68 dan SD Yapenka. Tetapi ketika pengurus masjid melihat aula masjid tidak terpakai maka tecetuslah sebuah gagasan untuk mendirikan Taman Kanak-Kanak di aula tersebut. Sambutan masyarakat terhadap Taman Kanak-Kanak Al-Ikhlas ternyata sangat menggembirakan sehingga murid TK Al-Ikhlas semakin hari semakin bertambah banyak. Maka di buatlah gedung TK di halaman masjid. Melihat animo masyarakat yang cukup tinggi, pada tahun 1979 pengurus yayasan memutuskan untuk mendirikan SD atas beberapa usulan para wali murid TK Al-Ikhlas. Dengan menggunakan kurikulum sendiri yang mengacu pada konsep kesatuan masjid dan sekolah, SD Islam Al-Ikhlas berkembang dengan pesat dan hingga sekarang beberapa muridnya tercatat sebagai peraih NEM tertinggi di Jakarta. Tidak cukup sampai di situ, pada tahun 1987 YMAI meneruskan kegiatannya dengan menyelenggarakan pendidikan SLTP Islam Al-Ikhlas. Untuk kepentingan tersebut, YMAI membangun gedung bertingkat dua, berseberangan dengan kompleks masjid. Sebetulnya YMAI pun sudah merencanakan untuk menyelenggarakan pendidikan SMU juga. Tetapi karena kekhawatiran beberapa pengurus tentang peliknya permasalahan remaja, maka usaha tersebut ditunda dengan lebih meningkatkan mutu lembaga-lembaga pendidikan yang telah ada. Saat ini, lembaga yang menempati ruas tanah seluas 10.891 m2 tersebut memiliki jumlah siswa TK mencapai 272 orang, siswa SD 998 orang dan siswa SLTP 358 orang. Selain bidang pendidikan, YMAI pun melakukan kegiatannya dalam bidang pengembangan masjid dan bidang kemasyarakatan. Bidang pengembangan masjid bertujuan membangan jamaah yang kokoh dalam memakmurkan masjid dengan melaksanakan pengajian dan kajian-kajian keagamaan bagi masyarakat, serta menyelengggarakan kursus dan pelatihan; seperti pelatihan kepribadian dan tata boga. Melalui bidang kemasyarakatan YMAI melaksanakan kegiatan sosial dengan menjadi bapak asuh bagi 85 orang anak dan menghimpun santunan-santuanan bagi kaum dhuafa. Menghadapi persaingan global, menurut H. Suratno, S.Sos, Ketua Bidang Pendidikan, YMAI memiliki visi untuk bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain, bahkan lembaga pendidikan manca negara yang belakangan kian menjamur di Indonesia. Saat ini pun YMAI telah mendapatkan permintaan agar YMAI membuka sekolah-sekolah cabang dari Bumi Wisata Cibubur, Bukit Sentul, dan Lippo Cikarang. Di tengah rendahnya mutu pendidikan di Indonesia secara umum, tentu saja keberhasilan ini sangat menggembirakan dan patut dicontoh oleh masjid-masjid lain. Dengan begitu umat Islam tidak lagi menjadi katak dalam tempurung. Irvan A. Fauzi | |
I tentang LS-ADI I redaksi I dialog I jaringan I depan I
copyrights @ LS-ADI Online 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gang Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/
Faks. 021-9227463
for further information
mailto:ls-adi@plasa.com