Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

 

Masjid Attaqwa1

Masjid Nurul Iman

Masjid Attaqwa2

Masjid Al-'Ajilin

Masjid Baitul Hikmah

Masjid Aljihad

Masjid Atthaibah

Masjid Al-Maghfiroh

Masjid Al-Amin

  Dialog Ahad Pagi

Tempat       : Masjid Nurul Iman, Jl. Al-Barkah I Rt. 003/03 Rawa Buaya Cengkareng, Jakarta Barat

Hari/Tgl       : Minggu, 27 Januuari 2001

Tema          : Islam dan Kekerasan

Narasumber : Jamaluddin F. Hasyim

Moderator    : Mujiburrohman, Desantara


 

Moderator (Mujib):

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Yang saya hormati seluruh rekan remaja masjid Nurul Iman, Rawabuaya dan seluruh peserta dialog ahad pagi.

Pada pertemuan pagi hari ini, kita telah memasuki obrolan bersama remaja masjid yang bekerja sama dengan LS-ADI (Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia), pada pertemuan ke tiga ini, kita akan membicarakan suatu masalah yang sangat menarik bagi kita semua, yaitu tentang Islam dan Kekerasan. Tentunya teman-teman semua, sebelum memasuki masjid yang begitu indah ini, sudah membawa segudang pertanyaan tentang Islam dan kekerasan itu sendiri, dan mungkin sudah banyak hal yang ingin dibicarakan tentang Islam dan kekerasan.

Dalam sejarah peradaban Islam, kalau kita menengok konteks sejarah, kita akan ingat ternyata, walaupun Islam dikenal dengan agama rahmatan lil ‘alamin,  yang membawa kedamaian pada umatnya, tidak bisa dipungkiri dalam sejarah peradaban itu sendiri, selalu kita lihat banyak terjadi peperangan dan kekacauan. Islam seolah-olah diajarkan dengan perang, anda bisa melihat, misalnya dalam sejarah awal Islam bagaimana pertarungan antara Sayidina Ali dan Siti Aisyah dalam perang Jamal, begitu juga perang Siffin, pemenggalan kepala putra Ali Sayidina Husen, di samping juga, dalam sejarah Islam kita kenal seorang tokoh yang menyebarkan Islam begitu luar biasa dengan kekerasan yaitu Timur Lenk, sampai-sampai untuk menyebarkan agama Islam, Timur Lenk telah memenggal ribuan kepala umat manusia dan membuat satu piramida yang terdiri dari kepala-kepala manusia.

Dari uraian di atas, banyak sekali kita lihat, Islam sangat identik dengan kekerasan, itu tidak bisa dipungkiri. Sementara dalam Al-Quran ada bunyi tersendiri yaitu kebebasan beragama, laa ikroha fi ad-din, kebebasan beragama, lakum dinukum waliyaddin dikuatkan dengan laa ikroha fi ad-din qod tabayana rusydu minal ghoyyi, tidak ada paksaan dalam agama.

Di sisi yang berbeda, kita mengenal bahwa hukum untuk orang-orang Islam yang murtad justru dikenakan hukuman mati. Bagaimana kemudian Islam menyikapinya? Apakah Islam tidak anti kekerasan?

Untuk pembicaraan lebih lanjut tentang kekerasan, telah hadir di depan kita seorang pembicara dialog kali ini. Selama ini beliau tidak pernah masuk penjara dan tidak pernah terlibat kekerasan. Jadi sangat cocok sekali untuk berbicara tentang anti kekerasan. Langsung saja kesempatan kami berikan kepada Bapak Jamaluddin F. Hasyim.

 

Pembicara (Jamal F. Hasyim)

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillah robin ‘alamin, assonate wassalam ala Sayidina Muhammad in waa ‘ala ‘alih washbasin jamin.

Teman-teman sekalian, baik dari LS-ADI maupun dari remaja Masjid Nurul Iman yang saya hormati dan saya banggakan.

Mungkin uraian pertama saya sebagai pancingan atau stimulus yang akan dilanjutkan dengan diskusi interaktif. Baiklah, tema kekerasan atau katakanlah hubungan antara Islam dan kekerasan atau lebih jauh antara Agama dan kekerasan, mencapai puncaknya ketika terjadi tragedi 11 September yang menghancurkan gedung menara kembar (WTC, New York-ed), gedung Pentagon, dan beberapa pesawat terbang yang hancur karena diajak dan diledakkan, kemudian diikuti oleh serangan besar-besaran Amerika ke Afghanistan.

Kita tahu kemudian, muncul fenomena yang luar biasa, orang-orang barat khususnya orang-orang Amerika tiba-tiba menoleh ke dunia Timur khususnya dunia Islam. Saya dengar penjualan-penjualan buku tentang Islam itu melonjak sampai 60% di Amerika, semua orang ingin tahu sebenarnya apa  Islam itu? Bagaimana agama bisa menjadi kekuatan yang luar biasa, menjadikan orang rela untuk mati, menjadikan orang bermimpi dan ingin mencapai mimpi itu dengan segala cara, kalau perlu dengan menghancurkan dirinya sendiri, dengan meledakkan gedung WTC yang merupakan simbol kapitalisme ataupun sistem ekonomi global yang saat ini sedang berjalan. Menara kembar merupakan simbol dari kejayaan, kalau dulu simbol kejayaan itu Piramidnya Fir’aun, atau sebuah Koloseum di Roma.

 Sebelum 11 september, banyak orang yang terlena untuk berpikir bahwa memang dunia seperti ini, kemudian orang tidak tahu melakukan apa. Tapi ketika seorang Osama Bin Laden (kalau memang benar dia) mengorganisir sebuah serangan, kemudian orang terhenyak dari lamunan dan keterbuaiannya. Kemudian orang mulai mencari-cari jawaban dalam hidup Osama, dan salah satu yang dilihat adalah tentang Islam. Seperti yang saya katakan, penjualan buku melonjak drastis, bukan orang-orang tertarik untuk mempelajari Islam tetapi ingin tahu what is Islam?  Apa itu Islam?

Teman-teman sekalian, untuk lebih singkatnya langsung saya katakan, hal ini menyadarkan banyak pihak. Tragedi 11 september adalah puncak dari terjadinya benturan-benturan antar golongan dan antar kelompok yang hidup di dunia, kalau istilah Samuel Huntington sebagai clash of civilization, benturan peradaban, namun terlalu mewah untuk kita terjemahkan atau kita namakan fenomena yang kita lihat saat ini, tapi yang jelas, bahwa hal ini (Tragedi 11 september-ed) menjadi puncak dari pertarungan yang tidak pernah selesai. Pertarungan antara Israel dan Palestina, India dengan Pakistan, pertarungan antara Cina dengan Taiwan, pertarungan antara Amerika dengan Kuba, dengan pertarungan di tingkat negara dan di tingkat bangsa itu yang berlangsung setiap hari.

Kejadian 11 September kemudian mengingatkan banyak orang, bahwa kita berada dalam dunia yang serba salah dan serba kacau, serba tidak menentu ke mana arah tujuannya. Orang kemudian mencari-cari apa yang melatarbelakangi kekerasan yang terjadi. Orang Barat menamakannya sebagai terorisme, atau untuk kelompok agama yang bersangkutan dinamakan fundamentalisme—kelompok Islam Fundamentalis atau kelompok agama fundamentalis—untuk kelompok-kelompok Islam seperti ini, berlakulah label atau cap yang diberikan kelompok lain, yang menganggap liberal atau pluralis. Pluralis artinya sangat menghargai perbedaan (walaupun menurut saya pribadi, cap-cap yang diberikan oleh kelompok di luar kelompok keras itu, seperti, terorisme, anti perdamaian, lebih kepada penghakiman-penghakiman atau lebih kepada klaim yang diberikan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain).

Saya yakin, tidak ada satu kelompok pun yang mau dibilang sebagai teroris, sebagai fundamentalis, sebagai anti perdamaian, karena kata-kata perdamaian, kebebasan dan seterusnya, merupakan kata-kata mulia dan luhur, yang semua orang merasa mewakili nilai-nilai itu walaupun dengan ekspresi yang berbeda-beda. Istilah fundamentalisme, istilah terorisme, tidak lebih diberikan orang lain ketimbang mereka sendiri. Mereka tidak merasa apa yang mereka lakukan adalah teror.

Ketika 6000 orang mati dalam tragedi 11 september itu, mereka  katakan bahwa apa artinya 6000 orang dengan sekian juta rakyat Palestina, dengan sekian juta rakyat-rakyat di dunia ketiga yang mati, baik karena perang, kemiskinan, kelaparan akibat dari ketidakadilan sistem yang mereka buat, jadi mereka punya alasan kebenaran masing-masing, kemudian akhirnya  berada dalam pertanyaan, siapa  yang benar dan siapa yang salah? Apa jangan-jangan kita kemudian berpikir, apakah masih relevan untuk bertanya siapa yang benar dan siapa yang salah? Karena kebenaran atau kesalahan lebih sering menjadi claim dari pada pernyataan, semua orang pasti menganggap dirinya benar dan menganggap kelompok lain adalah salah. Di sini saya tidak akan memposisikan diri sebagai orang yang akan mengatakan ini salah, ini benar, ini baik, ini buruk, karena hanya orang yang moralis yang berhak untuk mengatakan itu, sehingga saya tidak punya otoritas untuk menyatakan itu.

Saya kira kita akan mencoba, apa faktor-faktor yang melatar belakangi fenomena-fenomena kekerasan berbasis agama itu? Baik kekerasan di tingkat global, sebagaimana saya contohkan di atas dalam kasus WTC tadi, atau kekerasan di tingkat nasional dengan munculnya kelompok-kelompok Islam garis keras, atau pun di tingkat lokal dengan timbulnya kekerasan yang lebih kecil, yang dilakukan oleh kelompok lainnya yang dalam beberapa kesempatan mengatasnamakan agama, baik itu antar agama, antar Islam dan non Islam, maupun intra agama yaitu Islam dengan Islam. Pada kelompok Islam yang mengaku dirinya benar dan mengklaim kelompok lainnya salah, begitu juga dengan kelompok yang mengatakan dirinya benar dan mengklaim kelompok yang lainnya salah.

Saya melihat, minimal ada dua persoalan yang harus kita renung kan. Pertama, mulai dari tingkat internal masing-masing artinya dari daerah suprastruktur idiologis, suprastruktur idiologis  masyarakat  atau kelompok yang berhaluan garis keras, seperti Hard Liner. Garis keras persoalannya ada di tingkat teologis, di mana agama lahir atau hadir bagi mereka dengan wajah-wajah penuh keperkasaan dan kegagahan. Dan kemudian wajah agama, katakanlah Islam yang lembut, santun dan beradab, kemudian tertutupi oleh gambaran-gambaran kekerasan dan keperkasaan  Islam sebagai sebuah kekuatan. Saya tidak menganggap fenomena ini sebagai sebuah gejala yang berdiri sendiri karena kemudian akan saya kaitkan dengan gejala yang lain, tapi pada tingkat penafsiran agama kita mempunyai permasalahan cukup serius khususnya di kalangan umat Islam.  

Saya kira kita berbicara Islam saja, karena kalau bicara fundamentalisme, kemudian terorisme, keduanya  bukan hanya punya Islam tapi juga punya agama lain. Dalam sebuah tabel, tentang kelompok yang dikategorikan  teroris internasional, ada sekitar 30-40 grup teroris internasional dari yang berbau Arab seperti Al-Qaeda, kemudian Ikhwanul Muslimin seperti HAMMAS dan seterusnya yang katanya teroris, kemudian di Eropa seperti IRA, kemudian juga di Amerika Latin seperti Zafatista dan lainnya. Ternyata hampir lebih dari 60% itu adalah kelompok teroris yang berbasis agama, sisanya adalah kelompok teroris yang berbasis kelompok perjuangan kemerdekaan, seperti halnya di Kashmir atau di Irlandia  Utara itu, ada juga yang berbasis misalnya, berbasis bisnis seperti Red Army, tentara merah Jepang yang menerima order untuk melakukan kerja teroris atau pertarungan idiologis, seperti kelompok kiri, seperti Zafatista dan seterusnya yang mempunyai haluan kiri garis keras dan gerakan mereka melawan sistem kapitalisme dunia.

Menarik bahwa kelompok-kelompok teroris banyak sekali yang berbasis agama, baik agama Islam maupun agama Kristen. Agama lain saya kira, seperti Budha dan Hindu, saya kira ada tapi tidak banyak. Permasalahan yang saya katakan pada tingkat teologis. Pertama pada tingkat penafsiran terhadap teks atau Nash dari agama itu sendiri, katakanlah pada hal ini adalah Islam. Dalam Islam Nash itu sering dipahami sebagai Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang mutlak kebenarannya, kemudian Al-Hadits adalah penjabaran-penjabaran dari Al-Qur’an itu, yang dijabarkan dalam ucapan Nabi maupun dalam keseluruhan kehidupan Nabi Muhammad SAW yang kita kenal sebagai sunnah itu. Dalam konteks ini, ada tiga wilayah, saya kira yang memuat nuansa-nuansa kekerasan dalam umat Islam. Pertama wilayah teks, wilayah teks itu, saya katakan dalam konteks Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kemudian wilayah tradisi, dan yang ketiga wilayah doktrin.

Wilayah teks itu, kita lihat ayat-ayat yang sering dikatakan kelompok garis keras, misalnya ayat-ayat Walan tardha anka al-Yahudu walaa Nasara hatta tattabi’a millatahum, kemudian juga Qotiluu fissabilillahi dan seterusnya, dan waktuluhum haitu tsakiftimuhum dan seterusnya kemudian juga banyak sekali misalnya dari Hadis Laa tabda’u AlYahuda wannashoro bissalamin dan seterusnya. Juga hadis-hadis yang menunjukan superioritas dan eksploitasi  Islam terhadap kelompok lain atau agama lain. Ini memang benar, karena Islam adalah teologi agama yang berusaha membangun sistem teologinya sendiri, kemudian dicobalah dibangun dalil-dalil yang menegaskan kebenaran dan klaim kebenaran atau truth claim terhadap agama itu sendiri, seperti ayat  Innaa dinaa indallahi Islam, Agama yang paling benar di sisi Tuhan adalah Islam, kemudian yang sering digunakan juga misalnya ayat Wamaa yabtaghi ghoiro Islami dinaa walla yuqta lahu wafil Akhiroti minal khosyirin, barang siapa yang mencari agama selain Islam maka dia tidak akan diterima agamanya dan di akhirat nanti mereka termasuk kedalam orang-orang yang merugi. Klaim-klaim kebenaran Islam yang menunjukan, kalau kita baca secara  harfiah dan secara parsial sendiri-sendiri. Ayat ini menunjukan bahwa hanya Islam-lha yang satu, yang benar, yang lain semua salah, yang Islam sudah pasti benar meskipun rusak, betapapun korup, betapapun jahat, betapapun sadis, misalnya, pasti akan masuk Surga. Sementara kelompok agama lain, betapapun baik, santun, sopan, melindungi sesama, kerja untuk kemaslahatan dunia, tetap salah dan akhirnya masuk kedalam neraka, ini sistem teologis yang kita terima selama ini. Ada permasalahan serius. Pertama, sering kali teks itu ditafsirkan atau dibaca  sebagai sebuah entitas atau wujud yang berdiri sendiri, tidak sebagai rangkaian dari teks-teks yang lain. Ayat Al-Qur’an itu kan beralur, betapapun alurnya tidak  seperti alur sistematika penulisan modern, misalnya, ada pembukaan, batang tubuh, kesimpulan dan penutup.

Al-Quran berbicara banyak hal dengan irama-irama yang punya nuansa sastra dan juga alur-alur yang berkaitan satu dengan yang lainnya, bahkan juga mungkin ada beberapa hal yang melompat-lompat satu dengan yang lainnya, misalnya ketika Islam berbicara di surat Al-Kahfi misalnya, ketika cerita tentang Nabi Musa dan Nabi Khaidir, ayat terakhir dari kisah itu kemudian melompat “Wa Yas’aluunaka ‘Anda Dzul Qarnain”, mereka bertanya tentang Qornain. Jadi dari cerita Nabi Musa loncat kepada Dzul Qarnain seolah-olah ada keterputusan dari ayat sebelumnya. Itulah yang seringkali dianggap dan dibaca sebagai entitas yang dianggap berdiri sendiri.

Itulah konteks yang sering kita temukan, ketika muncul ayat-ayat tadi, contohnya walan tardlo ‘ankal yahudu wannashara hatta tattabi’a millatahum, orang Yahudi dan orang Nasrani takkan pernah rido kepada kamu sebelum engkau mengikuti agama mereka. Kemudian juga inna ad-dina ‘indallahi al-Islam, sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.

Sementara ayat-ayat lain yang berkaitan dengan konteks hubungan antar agama, hubungan antara teologi, antar kepercayaan dengan ayat yang tadi dibaca oleh moderator lakum diinukum waliya diin, juga ayat misalnya likullin ja’alnaa minkum syirkatan wa minhajan, bagi setiap kelompok itu kami jadikan aturan dan jalannya sendiri-sendiri, atau ayat lain misalnya yang sering dikutip oleh Nurcholish Madjid, Innalladzina amanu walladzina haaduu wannashara wasshobi’ina wa’amana minhum billahi wal yaumil akhir wa’amilu solihan fala khaufun ‘alaihim walahum yahzanun. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang Yahudi dan orang Nasrani, washobiin  menurut sebagian ahli tafsir sebagai penyembah Malaikat, dulu pernah ada, kelompok seperti itu, barang siapa yang beriman di antara mereka beriman kepada Allah dan pada hari pembalasan dan yang berbuat baik, tidak ada ketakutan dan kesedihan pada  mereka, berarti mereka selamat hidupnya.

Ayat-ayat yang menunjukan bahwa antara Islam dengan yang lain terdapat relatifitas tertentu bahwa Islam sebagai  agama adalah jalan, bukan tujuan. Karena dia sebagai jalan, maka jalan itu harus mengambil bentuk yang berbeda-beda, kenapa Islam kemudian dinamakan Syari’ah. Syari’ah berasal dari kata syaro’a yang artinya berjalan, artinya memang ada. Pertama, proses bahwa di jalan itu banyak pilihan. Kedua, di dalam pemaknaan, sebagai jalan ada proses yang dinamakan dinamika, kalau orang itu berjalan, tentu saja berada dari satu titik ke titik yang lain. Kalau kita belajar filsafat itupun sebetulnya seluruh dunia ini berada pada titik-titik. Orang berubah saja berpindah dari satu titik ke titik yang lain. Kita setiap kali berproses, kita hari ini, mungkin bukan hari ini, detik ini, tidak sama dengan beberapa menit yang lalu ketika duduk di sebelah sana. sesudah perubahan, itu kemudian yang melandaskan apa yang dinamakan Syari’ah itu, tapi kemudian beberapa hal kepentingan-kepentingan, dan saya kira lebih kepada pertimbangan-pertimbangan, yang katanya kemaslahatan itu kemudian menjadikan Syari’ah sebuah kejumudan, menjadi kevakuman, seolah ini berjalan di tempat, tidak lari tidak mundur ya lari di situ-situ saja.

 Itulah kondisi umat Islam yang kita alami sekarang, pada tingkat penafsiran teks, ada permasalahan serius yang mungkin kita perlu telaah bersama-sama, karena pas, teks itu tidak bisa menafsirkan dan membaca dirinya, ia akan dibaca dan diinterpretasikan oleh setiap orang yang berbeda, apalagi Al-Qur'an.

Menurut Suhrawardi, Al-Qur’an adalah multi tafsir, ibarat berlian yang penuh dengan irisan-irisan, setiap orang bisa melihat dari irisan yang berbeda-beda dan setiap irisan bisa memantulkan cahaya yang beda-beda, warna yang beda-beda, dan setiap orang punya apresiasi yang berbeda-beda terhadap benda itu, dan tidak bisa satu penafsiran mengklaim sebagai yang benar dan menyalahkan penafsiran yang lain.

Dalam bahasa Ushul Fiqh dikenal Al-Ijtihad laa yankudu bil ijtihad, Ijtihad dalam suatu agama tidak bisa dikalahkan dengan ijtihad agama lain, sehingga dalam penafsiran ini terdapat yang namanya relatifitas, tidak ada yang bisa menyatakan bahwa saya lah yang paling benar, para mufasir-mufasir itu tidak bisa mengatakan bahwa merekalah yang paling tahu tentang Al-Qur’an dan merekalah yang paling berhak untuk menerjemahkan Al-Qur'an.

Ulama-ulama dulu punya kearifan untuk mengatakan bahwa Wallahu A’lam bishowab, hanya Allah-lah yang paling mengetahui, apa Imam Syafi’i Rohimallah itu pernah mengklaim bahwa mazhab saya dan inilah yang paling benar menurut saya, tidak! Imam Syafi’i dengan ungkapan yang terkenal  idza shoha Al-Hadits fahuwa madzhabi, kalau hadis itu shohih maka itulah mazhabi, kalau saya punya kaul atau pendapat, yang kemudian muncul hadis yang shohih, dan terbukti keshohihannya dan mendapat saya berlawanan dengan hadis itu maka saya akan tinggalkan pendapat saya itu dan saya akan  mengikuti hadis itu.

Artinya ada relativitas yang dibangun oleh Imam Syafi’i, termasuk ketakutan dia, ketika ungkapan-ungkapan atau fatwa-fatwanya menjadi mazhab tersendiri, tapi kemudian pengikutnya yang membangun sebuah bangunan kokoh bagai benteng yang utuh, yang besar sehingga bukan hanya antar agama, tapi antar mazhab dalam Islam sendiri.

 Kalau kita berguru pakai fiqih Hanafi misalnya, pasti ada perbedaan, setelah berwudlu terus menyentuh mahram maka tidak batal menurut Hanafi, tapi batal menurut fikih Syafi’i. Dalam Islam tidak dibiasakan untuk mengeksploitasi kekayaan sendiri dengan bacaan yang baru, dinamis, tidak berhenti dan selalu berubah. Inilah persoalan yang ada di tingkat umat Islam. Potensi-potensi agama saya katakan, Islam menyimpan dua potensi, dan mungkin bukan hanya Islam, dikatakan oleh banyak pakar termasuk Johan Galtung seorang pakar dari Norwegia, “Bahwa di dalam agama ada dimensi hard dan dimensi soft. Hard adalah ketika agama membangun teologinya dengan ayat-ayat yang bersifat internal, ayat-ayat itu untuk membangun keimanan di masing-masing kita. Dimensi soft, dimensi lembut yang mencoba berdialog sesuai dengan kearifan yang dibangunnya”.  Tinggal orang kemudian memilih mana yang hard dan yang soft, apakah yang berat itu yang keras ataukah yang lembut, itu yang kemudian membedakan kelompok Islam  garis keras atau tidak.

Sebab yang ketiga ini di luar dari pada doktrin sendiri, ini adalah para pengamat atau para Sosiolog sering menganalisis munculnya Islam garis keras itu sebagai konsistensi, contistion identity, identitas konsistensi yang sering dibangun, ketika suatu kelompok atau satu orang merasa terdesak oleh suatu kondisi yang tidak bisa dilawannya, kemudian ia membangun identitas perlawanan. Katakanlah dalam hal ini, umat Islam terdesak oleh proses yang namanya globalisasi, yang diawali oleh proses yang dinamai modernisasi, karena apa? Karena bangunan globalisasi, bangunan modernitas.

Modernisme itu berawal dari barat, dibangun dengan kerangka berpikir barat, dengan cara pandang IQ nya orang barat, kemudian diglobalkan, seolah-olah dunia dalam kerangka berpikir modern. Orang modern misalnya, kalau sekolahnya tinggi, gaya hidupnya, gaya bicaranya dan gaya berpikirnya tinggi, jadi sudah ada standarisasi-standarisasi yang dipaksakan kepada dunia atau peradaban lain. Peradaban timur, yang terdiri dari peradaban Hinduisme, Konfusianisme dan peradaban Islam atau bulan bintang.

Itulah yang kemudian menimbulkan benturan-benturan luar biasa, ketika proyek modernisasi dijalankan oleh orang-orang barat, muncul resistensi dari orang-orang Islam dan kelompok-kelompok agama di dunia ketiga.

Istilah dunia ketiga juga istilah dari mereka sendiri, ada dunia pertama, dunia kedua. Ada dunia maju, dunia terbelakang. Ada negara kaya, negara miskin. Itu merupakan standar-standar yang mereka buat, negara-negara pihak ketiga melakukan perlawanan terhadap modernisasi itu, kemudian modernisasi mencapai puncaknya ketika sistem ekonomi dunia mencapai apa yang dikatakan globalisasi. Dalam sistem itu, dunia ekonomi mereka menyatu, menghilangkan batas-batas teritorial negara. Ini mengancam bagi sebagian umat Islam, bagi sebagian warga dunia ketiga.

Globalisasi adalah sebuah ancaman dan memang ancaman, karena apa? Karena bagaimana mungkin dalam sebuah free market (pasar bebas) seorang bandar sembako harus melawan seorang penjual rokok yang warungnya kecil misalnya. Bagaimana mungkin dalam kancah pertarungan globalisasi, seorang Mike Tyson harus melawan seorang Petinju yang baru masuk sasana tinju. Seorang pemain sepak bola sekelas Ronaldo, harus bertanding  melawan  pemain sepak bola kelas kampung.

Berangkat dari satu titik yang berbeda, yang satu sudah menyiapkan supra strukturnya, yang lain belum siap, bahkan belum sempat membangun apa-apa, itu yang mudah menimbulkan perlawanan-perlawanan, ini apa? Inikan cuma kepentingan barat semata, kepentingan Eropa semua, yang dibangun ini semua adalah ketidakadilan  yang tidak pernah terputus. Dulu mereka memaksakan kepentingannya dengan senjata, melalui yang dinamakan kolonialisme, penjajahan dengan fisik. Sekarang melakukan globalisasi, penjajahan  dalam cara yang lebih halus yang tidak terlihat, itu yang disebut Galtung sebagai structural violence, kekerasan struktural, atau kekerasan direct violence, kekerasan yang langsung kita lihat di jalan, pembakaran, pembunuhan dan seterusnya.

Menurut Galtung hal itu adalah structural violence, yang tidak terlihat, tidak terwujud tapi terasakan akibatnya, siapa yang bisa menunjuk siapa yang salah. Dalam pandangan  modernisme, orang miskin itu dianggap miskin karena mereka bodoh, miskin karena dia malas, miskin karena dia tidak mau bekerja keras. Kalau dalam pandangan kelompok kritis, mereka miskin bukan saja karena mereka malas atau bodoh atau apapun, banyak orang yang rajin, banyak orang yang beretos kerja tinggi tapi mereka tetap miskin.

Orang Jawa, kalau menurut Jhonis Lombat seorang peneliti dari Perancis itu, orang Indonesia itu dicap oleh orang kolonial Belanda malas-malas, karena mereka bodoh, miskin, sehingga bisa terjajah oleh bangsa lain. Ternyata Jhonis Lombat itu mematahkan tesis itu, bagaimana  mungkin orang-orang Jawa, petani-petani itu miskin, dibilang malas. Jam empat pagi mereka sudah berangkat ke sawah, tengah hari istirahat, kemudian bekerja lagi sampai sore, mereka hidup dengan sangat teratur, sangat disiplin, sangat rapih, tapi kemudian terjadi perubahan-perubahan drastis pada tingkat masyarakat itu ketika proses demokratis itu tiba.

Orang yang biasa kerja mulai jam lima pagi kemudian diatur menjadi jam tujuh pagi karena masuk kantor, sudah digeser pola kerjanya, kemudian dirubah pola hidupnya. Mereka tidak menyadari, sehingga terjadilah apa yang dibilang pemalasan, dan lain sebagainya. orang kemudian tidak mengerti apa yang dia lakukan, jadi sebenarnya orang Indonesia itu menurut Lombat adalah rajin dan tekun. Bahwa mereka malas adalah teoritik yang sebenarnya dibangun oleh orang-orang di luar atau negara-negara maju dengan kerangka berpikir modern. Itu yang kemudian perlu kita lakukan logika terbalik, bahwa orang miskin harus berangkat dari sistem struktur sosial yang memiskinkan, bahwa seorang miskin akan miskin ketika sumber daya alam itu tidak adil dan tidak rata.

Selain terdapat proses-proses internal di dalam, agama sendiri yang menjadikan seseorang menjadi pengikut dari kelas itu. Oleh Al-Asmawi diusulkan melalui rekonstruksi Syari’ah, Al-Asmawi maupun   Dr. Syahrur dari Mesir mengatakan pendekatan dekonstruksi syariah bahkan kalau rekonstruksi itu membangun kembali, kalau dekonstruksi itu menghancurkan dan meratakan Syari’ah seperti yang digagas oleh Mahmud Muhammad Toha dan Abdullah Ahmad Na’im.

saya kira itu yang bisa saya sampaikan untuk menjadi pengantar diskusi kita kali ini, mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua, terima kasih.

 

Moderator (Mujib)

Sudah cukup panjang diutarakan tentang anti kekerasan, paling tidak kita tahu garis besar, ketika tadi mas Jamal mengutarakan bagaimana sebenarnya standar kebenaran dan ketika mengutip berbagai ayat dari Al-Qur’an, di ayat Al-Qur’an sendiri ternyata banyak sekali ayat-ayat yang mengutarakan, yang menunjukan sisi anti kekerasan dari orang-orang Islam, tapi di sisi lain banyak juga ayat-ayat yang menunjukan bahwa Islam sebagai bagian dari agama kekerasan juga, kalau bijak kita mengambil pola penafsiran mengapa tidak kita mengambil sesuatu yang anti kekerasan.

Saya kira teman-teman juga mempunyai banyak hal yang perlu ditanyakan tentang anti kekerasan dan bisa mengeksplor sendiri tentang anti kekerasan itu.

 Tadi Mas Jamal mengungkapkan bahwasanya forum ini bukan forum ceramah yang kebenaran ada di depan, tapi bisa jadi teman-teman punya ide besar tentang anti kekerasan yang kita bisa realisasikan dalam realitas kita sendiri. Makanya langsung saja kita buka dengan sangat cair, siapa saja yang ingin berpendapat, ingin mempertanyakan tentang anti kekerasan, silahkan.

 

Penanya I (M. Nur Mekkah)

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Saya ingin bertanya tentang satu hal. Misalnya, dalam ayat suci Al-Quran berbunyi  Yaa Ayuhannas Innaa kholaknakum min dzakarin waa untsa waa jaalnakum syu’uban wakobail  Artinya di situ Allah telah mengatakan, bahwasanya Allah telah menciptakan orang yang berbeda-beda, laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Saya mencoba melihat, ternyata Allah telah menekankan kepada kita bahwa kekerasan itu dapat dieliminir dengan kita memahami keberagaman itu sendiri.

Permasalahan sekarang ini, banyak orang yang tidak mampu memahami konsep-konsep seperti itu. Saya ingin bertanya kepada pembicara, kenapa sering kali orang-orang yang mengerti Qur’an dan Hadits kemudian mengingkari itu, sehingga menimbulkan kekerasan, karena menurut saya kekerasan itu bukan hanya kekerasan fisik, tapi pemaksaan suatu kehendak itu adalah merupakan suatu kekerasan, Terima kasih.  

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

 

 

Penanya II (Fakhrudin)

Mengingat  tentang kejadiannya di WTC New York, lalu MUI (Majlis Ulama Indonesia-ed) mengajak orang Islam untuk ikut berjihad ke sana. Seperti  ayat yang artinya berbunyi “Hendaklah kamu sekalian melawan mereka dengan sekedar tenaga, kekuatan dan kuda yang terpaut, dengan demikian kamu mempertakuti musuh Allah dan musuhmu, begitu juga orang lain selain mereka yang tiada kamu ketahui, yang Allah mengetahui apa-apa sesuatu yang kamu belanjakan di jalan Allah. Niscaya Allah akan menyempurnakan balasannya kepadamu sedangkan kamu tidak teraniaya”.

Saya sebenarnya setuju dengan jihad? Kenapa saya menyetujui usulan jihad? Karena yang menjadi teoris Osama Bin Laden, tapi yang diserang orang-orang Islam, sebagian besar orang-orang yang tidak berdaya. Orang-orang tidak berdosa itu dihancurkan  oleh Amerika, sampai-sampai negara lain pun mendapat ancaman, “Barang siapa yang menolong Afghanistan maka diapun akan digempur pula oleh Amerika!”. Tetapi bagi Indonesia, mungkin yang jihad itu tidak perlu pergi menolong ke Afghanistan, sedangkan pemerintahan Indonesia sendiri sedang terpuruk, maksudnya dari pada kita pergi ke sana mendingan kita benahi dulu negara kita sendiri. Assalamu’alaikum.

 

Penanya III (Vijay)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Mengenai jihad tadi, jihad itu sebenarnya Afghanistan diserang Amerika gara-gara gedung WTC itu diserang oleh teoris atas nama Osama Bin Laden. Tapi sekarang, Amerika menyerang ke sana kemari, ke negara Islam, sedangkan yang dituju Amerika mencari Osama, sekarang Osama tidak keluar lalu yang menjadi sasaran adalah negara Islam. Di sini, kita sebagai orang Islam merasa sedih sesama kaum muslim, sedangkan kita tidak bisa berbuat kecuali jihad dan jihad.

Sedangkan Islam sendiri banyak sekali kata-kata jihad seperti Gus Dur akan diturunkan pendukungnya berkata jihad, sekarang apakah benar jihad-jihad yang kita sebutkan itu, Jihad, karena apa, karena jihad itu kebanyakan di jalan Allah walaupun secara tidak langsung banyak jalan yang kita gunakan seperti jihad itu.

Sekarang Osama tidak bisa mengaku karena Osama dituduh oleh Amerika, Osama sebagai biang kerok, kenapa Osama tidak keluar dan mengaku, apa Osama sengaja memberi kesempatan kepada Amerika untuk menyerang negara-negara Islam, itu sebuah pertanyaan, maksudnya apakah Osama tega melihat negara-negara Islam menjadi sasaran. Terima kasih, Assalamu’alaikum Wr. Wb.

 

Pembicara (Jamal F. Hasyim)

Baiklah, sekarang saya mau tahu pendapat atau persepsi dari masing-masing peserta dialog ahad pagi, juga pendapat tentang perlu atau tidaknya kita melaksanakan jihad ke Afghanistan. Pertama saya minta pendapat dari peserta putri dulu, silahkan.

 

Peserta (Nina)

Menurut saya, kalau masalah jihad dalam konteks sekarang ini kayanya sudah tidak relevan lagi, karena jihad itu sebenarnya untuk memperluas agama. Kalau menurut saya pribadi, untuk pengembangan agama Islam saya kira sudah cukup, pada zaman sekarang ini jihadnya untuk pribadi saja, dalam artian memerangi kejelekan-kejelekan dalam diri kita pribadi. Jadi saya tidak setuju  sekali kalau jihad itu untuk pergi ke Afghanistan, memang itu saudara kita seagama tapi kita juga perlu tahu hal itu tidak bisa lepas dari kebersihan diri kita sendiri, menurut saya jihad itu dalam bentuk lain, kita bisa memberikan bantuan dalam bentuk lain, dengan tidak datang sendiri ke sana ikut berperang. Terima kasih.

 

Peserta (Yessy)

Assalamu’alaikum

Saya setuju dengan jihad. Tapi jihad juga tidak harus mesti dengan turun kelapangan seperti perang, bukan itu yang dinamakan jihad. Jihad itu bisa dengan memberikan doa dan kalau bisa kita memberikan bantuan, kenapa tidak. Jadi berjihad itu bukan dengan turun kesana, kalau mungkin ada yang mau,  ya silahkan. Intinya, jihad itu bukan hanya perang saja. Assalamu’alaikum Wr. Wb.

 

Peserta (Arifin)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Menurut saya jihad tidak perlu, apalagi dalam keadaan krisis seperti ini. negara seperti Amerika selalau memburu negara Islam,  di mana negara-negara Islam itu selalu dipressure, ditekan dengan sedemikian rupa, sehingga banyak yang ketika mereka melihat ada celah sedikit untuk mengekspresikan kekesalan-kekesalan mereka, mereka langsung membentuk organisasi-organisasi untuk mengikuti apa yang dinamakan jihad atau jihad fi sabilillah,  seperti Al-Qaeeda.  Menurut saya  Al-Qaeeda  terbentuk dikarenakan adanya tekanan dari negara-negara barat terhadap negara-negara Islam, jadi menurut saya jihad itu karena ada tekanan, dan kekerasan itu umunya dikarenakan tekanan juga. Terima kasih.

 

Peserta (Ridwan Rahmatullah)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Mungkin pembicaraan di sini begitu luas mengenai Islam, terutama tentangj ihad. Jihad itu sangat luas, kita sebagai umat Islam tidak boleh berpikiran sangat sempit, kita harus luas, kita harus banyak wawasan.

 Mengenai fatwa dari MUI yang menganjurkan jihad ke Afganistan, saya agak ragu juga, kenapa? Karena Amerika Serikat dengan pola pikir adu domba di sana antara Taliban dan Aliansi Utara, kita mengirimkan pasukan jihad kesana, tapi yang terjadi disana adalah adu domba antara Taliban dan Aliansi Utara. Makna jihad disitu sangat ragu sekali, mungkin yang pergi kesana untuk berjihad menolong saudara kita umat Muslim, mungkin tujuannya untuk membela agama Allah dengan jaminan Surga-Nya Allah, tetapi disini saya perhatikan juga, karena melihat kondisi di sana malah yang terjadi adalah pejuang kita jadi terombang-ambing, artinya apa yang kita pejuangkan? sedangkan yang terjadi di sana adalah Aliansi utara dengan Taliban. Aliansi Utara adalah agama Islam juga, jadi disini kita harus lebih kritis sebagai umat Islam untuk masalah dunia.

Tapi kita kembali lagi k enegara kita, negara Indonesia, yang konon sudah 40 tahun merdeka tetapi kekerasan masih terus terjadi sampai sekarang, di mana Aceh belum tuntas kasusnya, Tanjung Priok sampai sekarang, jadi negara kita ini mungkin belum memakai tali agama Allah kekerasan akan tetap berjalan, kekerasan akan tetap berlangsung, kenapa?

Musibah akan terjadi kalau kita semua belum berani untuk mengambil sikap sebagai umat Muslim, intinya kedamaian tidak akan tumbuh di negara Indonesia, kalau para pemimpin-pemimpin kita belum berani menegakan tali agama Allah, karena kata Allah “Barang siapa yang berani menegakkan agama Allah maka Allah akan memakmurkan negara itu sendiri, tetapi kalau mereka mengingkari ayat-ayat kami niscaya malapetaka akan terjadi di negara tercinta ini. Assalamu’alaikum Wr. Wb.

 

Pembicara (Jamal F. Hasyim)

Peserta sekalian, kalau tadi telah dikemukakan bersama  oleh pendapat–pendapat tadi mengenai jihad dan pelaksanaan jihad ke Afghanistan. Saya cukup mengagumi pemikiran kawan-kawan yang cukup luas. Jihad memang tidak harus dengan perang namun dapat dilakukan dengan hal-hal lain, juga dengan tanpa kekerasan.

Baiklah kiranya hanya ini yang dapat saya bicarakan pada hari ini, semoga diskusi pada hari ini berguna buat semua. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

 

Moderator ( Mujib)

Beginilah hasil diskusi panjang kita tentang persoalan kekerasan, yang saya kira sampai detik ini juga, tidak pernah bisa menyimpulkan sebenarnya kebenaran itu ada di mana. Untuk menyikapi tentang persoalan jihad, ada baiknya kita tengok kembali bagaimana kemudian Osama memposisikan diri, ketika beliau diserang oleh Amerika, itu paling bijaksana untuk kita amati, menurut saya.

Ketika Nabi dulu dilempari kotoran dan Nabi tidak melawan itu bukan berarti Nabi meninggalkan aspek-aspek jihad, begitu juga ketika Nabi bersama 10.000 pasukan yang berhasil menyerang Makkah beliau tidak pernah bernafsu untuk menyerang orang-orang Makkah,  malah beliau menyeru “Barang siapa yang berlindung di rumah Abu Sofyan maka orang itu akan terjaga keselamatannya”, itu merupakan pernyataan yang luar biasa bagi seorang Nabi. Dan kemudian Nabi juga tidak meninggalkan sisi-sisi jihad ketika orang-orang Islam dimusuhi, ada baiknya juga untuk pesoalan keterangan itu.

  Kalau kita tengok pejuangan Gandhi dengan anti kekerasannya, bagaimana kita tahu orang seperti Gandhi bisa merobohkan sebuah rejim penjajah Inggris waktu itu di India dengan tanpa menggunakan kekerasan. Gandhi hanya mengumpulkan ribuan orang yang sanggup dipukuli, tindakan seperti itu memancing sisi kemanusian dari setiap orang, jadi orang-orang Inggris tidak kemudian menembaki orang-orang India dan kemudian mereka menyerah kalah hanya dengan pasrah seperti itu, ini merupakan kebijakan yang luar biasa ternyata kita bisa mengalahkan tindakan kekerasan dengan tidak melakukan kekerasan, begitu juga di Philifina,  kalau teman-teman tahu.

Saya pribadi tidak berani menyimpulkan hasil diskusi dan saya harap ini bisa menjadi tindakan awal yang bisa dibicarakan oleh teman-teman tanpa harus dibimbing orang lain, saya yakin teman-teman mempunyai solusi dan jalan keluarnya.

Demikian saya rasa diskusi kita kali ini, saya sendiri mohon maaf apabila ada kesalahan.  Assalamu’alaikum Wr. Wb.       

 


 

Transkriptor          : Sumarna

Editor                    : M Nur Mekkah

Tanggal                 : 5 Pebruari 2002

 

 

 

Biodata Narasumber

 

Nama                   : Jamaluddin F. Hasyim.

TTL                      : Jakarta, 02 April 1975.

Pekerjaan            : Ketua Umum Lakpsdam NU DKI Jakarta.

Alamat rumah     : Jl. Kayu Manis 99 Matraman Jatim

Alamat kantor    : Jl. Asem Gede No. 5 Utan Kayu Selatan Jaksel

 

Pendidikan:

1. Pondok Pesantren  Darurohman Jakarta.

2. Institut Islam Darurohman.

3. STF Driya Karya Ekstention cost.

 

Pengalaman organisasi:

1. Ketua PMII cabang Jakarta Selatan.

2. ICRP ( Indonesia Conpertion of Religian and Peace)

3. GEMARI.

4. Lakspedam NU Jakarta,

      

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gg. Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com