Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia 

Edisi 1

Edisi 2

Edisi 3

Edisi 4

Edisi 5

Edisi 6

 

Masjid Attaqwa1

Masjid Nurul Iman

Masjid Attaqwa2

Masjid Al-'Ajilin

Masjid Baitul Hikmah

Masjid Aljihad

Masjid Atthaibah

Masjid Al-Maghfiroh

Masjid Al-Amin

  Dialog Ahad Pagi

Tempat       : Masjid Alfajri, Jl. Masjid Al Fajri, Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan

Hari/Tgl       : Minggu, 14 Oktober 2001

Tema          : Islam dan demokrasi

Narasumber : Imdadun Rahmat, Lakpesdam Jakarta

Moderator    : Andi Syafrani, ICCE IAIN Jakarta

MC             : Sofathullah, Alfajri


 

Sofathullah (MC): Assalamu’alaikum Wr. Wb. Bismillah alhamdulillah wa sholatu wassalamu ala asofil anbiyai war mursalin. Wa’ala alihi wa sohbihi ajmain. amma ba’du.

Yang terhormat pembicara Bp. Imdadun, moderator, rekan-rekan dari LS-ADI, rekan-rekan dari remaja masjid Al-fajri, serta para undangan yang dimulyakan Allah SWT. Hadirin yang berbahagia dialog ahad pagi kita kali ini membahas tentang Islam dan demokrasi. Apa yang menjadi hubungan antara Islam dan demokrasi silakan memahami kritik-kritik, nilai-nilai apa yang dituju. Mudah-mudahan kerukunan yang terjadi di dalam tema Islam dan demokrasi. Semoga Islam tetap selalu dalam lindungan Allah SWT. Selanjutnya lebih dan kurangnya kami persilakan kepada moderator. Kepadanya kami persilakan.

Andi Syafrani: ya. Assalamu’alaikum Wr. Wb.Bismillahirahmanirrahim alhamdulillah wa sholatu wassalamu ala rosulillah wa’ala alilhi wasohbihi wama walah, la haula wala kuwwata illa billah, amma ba’du. Rekan-rekan yang saya hormati, bapak pembicara yang saya hormati, alhamdulillah, pada kesempatan hari minggu ini, kita bersama-sama dapat berkumpul di masjid Jami’ al-Fajri untuk melakukan ta’lim, belajar bersama-sama dan sekaligus kita diskusi tentang tema Islam dan demokrasi. Teman-teman sekalian,2 mungkin bagi teman-teman tema ini adalah suatu hal yang sudah sering didengar, bahkan bisa jadi tema ini yang sehari-hari kita dengar, kita perbincangkan. Akan tetapi, mungkin dari tema yang sering kita dengar ini masih ada salah yang perlu kita telaah, kita kaji lebih dalam antara keterkaitan Islam dan demokrasi. Teman-teman sekalian memang banyak sekali pendangan dari para pemikir Islam maupun dari kaum ulama tentang demokrasi. Yang memang istilah ini sendiri secara aslinya itu bukanlah berasal dari istilah Islam. Dalam istilah Islam demokrasi biasanya, di bahasa arab itu dikenal dengan istilah najib mukoti. Memang ini istilah berasal dari istilah Yunani. Dan tentu saja konsep ini kemudian disebarkan dari kalangan banyak. Dan dalam proses perdebatan itu, temen-temen sekalian, banyak sekali masalah yang berkaitan, terutama munculnya tanggapan-tanggapan dari para pemikir Islam tentang konsep demokrasi. Secara umum temen-temen ada beberapa komentar tentang konsep demokrasi dari barat ini. Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya Islam itu adalah suatu agama yang sudah mencakupi atau sudah jami, sudah sami’, meliputi seluruh konsep tentang keduniawian. Islam tidak hanya ada dalam daerah ukhrowi. Tapi, Islam juga mempunyai konsep sendiri tentang pandangan hidup atau tentang konsep politik. Atau katakanlah Islam bisa menjadi salah satu bagi alternatif dari konsep demokrasi yang disebarkan oleh barat. Alternatif ataupun ada pandangan lain yang mengatakan bahwa sesungguhnya antara Islam dan demokrasi itu adalah suatu konsep yang berbeda dan sama sekali bertentangan. Karenanya antara Islam dan demokrasi itu tidak bisa kemudian dipersatukan atau dipersatu padukan. Temen-temen, akan tetapi, ada juga pandangan yang lebih akomodatif. Yaitu bahwa Islam dan demokrasi pada hakekatnya memiliki beberapa keterkaitan, beberapa kesamaan, dan di samping itu Islam juga memiliki beberapa hal yang mungkin, apa namanya, berbeda  secara langsung berhadapan dengan konsep demokrasi. Nah, untuk membicarakan konsep ini, terutama sekalian, temen-temen sudah menerima tulisan dari pembicara kita yaitu, Bp. M. Imdadun Rahmat, alamat pak Imdadun adalah jalan stasiun Angke no 20 Jakarta Barat. No. telp. 6339849, emailnya. lakpesdam@cbn.net.id Tempat tanggal lahir di Rembang, 6 September 1971. pengalaman organisasi dari OSIS, Pramuka, IPNU, PMII, Foskobara, Kel. Kajian 164. riwayat pendidikan: MI, MTS, MA, Pesantren, D4 LIPIA Jakarta, S1 IAI At-Thahiriyyah Jakarta, dan S2 UI Depok. mohon saya langsung mempersilakan kepada pembicara kita Bp. M Imdadun Rahmat untuk ke depan. Mungkin temen-temen pe… yang ada di depan, dan barisan bisa dirubah….agar bisa maju ke depan, sehingga kita bisa akrab, lebih dekat.

Imdadun: Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahirrobil ‘alamin, washolatu wasalamu  ala asrofil anbiyai’ wal mursalin wa’ala alihi wa soh bihi ajmain. Robisrohli sodri wayasirli amri wahlul ukdatam minlisani yaf kohu kauli, ama ba’du. Saudara sekalian, adik-adik remaja dan yang putri-putri yang saya hormati. Sekali lagi saya sudah sepatutnya mengucapkan syukur alhamdulillah. Saya bisa berkesempatan untuk berdiskusi bersama-sama dengan anda sekalian. Dan saya juga memperoleh kehormatan besr diundang untuk memberikan prolog diskusi tentang tema yang menurut saya sekarang menjadi Main. Dan kesempatan ini pula akan saya gunakan untuk belajar bersama anda sekalian. Sehingga dalam diskusi nanti tidak hanya saya yang memberikan sesuatu pada anda tetapi, saya juga akan memperoleh sesuatu dari anda sekalian. Jadi, saya memberi dan saya menerima. Oleh karena itu dalam diskusi ini, akan lebih ideal jika anda meberikan umpan balik kepada saya, sehingga fokus kita ini tidak sepaham atau satu arah. Karena perlu anda ketahui bahwa saya bukan penceramah yang tahu segala hal. Ada satu hal yang saya tahu dan anda tidak tahu, ada juga yang anda tahu dan saya tidak tahu. Oleh karena itu saya berharap dalam diskusi ini ada proses take and give yang positif. Baik saudara-saudara, tadi sebagaimaan dihantarkan oleh saudara moderator, bahwa mengenai hubungan antara Islam dan demokrasi terdapat banyak sekali pandangan. Di sana ada istilah ikhtilafu rabbi fil arabi baina Islam wa demokratiyyah, kira-kira begitu. Tadi juga sempat dibicarakan bahwa ada juga pandangan yang bercampur/ heterogen. Nah saya akan  memberikan latar belakang dari setiap pandangan tersebut. Saudara sekalian, pemikiran itu tidak datang dengan tiba-tiba. Pemikiran itu memiliki latar belakang, konteks sosial politik, ideologi maupun main stream dari setiap pemikir. Saya berpikir A tidak bisa saya tiba-tiba berpikir A. ada latar belakang dari apa yang saya pikirkan itu.

Mengenai latar belakang yang pertama, yang menyebutkan tidak terdapat hubungan apapun antara Islam dan demokrasi. Artinya ia bi latif wa demokrasi fi wad’ihi. Islam ada di barat dan timur. Islam di kidul demokrasi di kalor, itu kata Prasmuntadi. Jadi ia la kodu bainahuma, tak ada hubungan di antara keduanya. Kenapa? Karena kelompok ini menganggap bahwa sesuatu yang datang dari luar ajaran Islam sendiri, itu tak mungkin diserap atau dihubungkan dengan Islam. Pandangan ini menegaskan garis yang tegas antara milik kita dan milik mereka. Nah biasanya dalil yang dipakai adalah Al halallu bayyan wa Al-harramu bayyan, yang halal itu datang dari tradisi Islam sendiri dan yang haram datang dari luar. Nah, pnapat seperti itu biasanya dikemukakan olek kelompok yang tradisi pemikiranya relatif keras. Jadi, bisa dikatakan ini ekstrim kanan. Kita letakan pada sebelah kanan. Kenapa pandangan ini muncul? Karena pengalaman umat Islam dalam interaksinya dengan barat itu sangat bergantian ditandai dengan satu hubungan yang tidak adil. Di maan sekian abad, sekian puluh tahun yang lalu, barat tampil di dunia Islam dengan wajah yang mendominasi. Baik melalui kolonialisme maupun bidang epoleksosbud hankam, yang disebut dengan neo-kolonialisme. Sehingga hubungan yang tidak kondusif, antagonistik difahami umat Islam sebagai korban dari barat. Dan Islam menutup diri karenanya. Karena kita menganggap barat itu buruk, menguasai kita, jahat, tak baik, maka yang muncul kemudian adalah sikap yang tidak ada dukungannya dengan barat. Putus hubungan dengan barat kira-kira begitu. Ketertutupan seperti ini mengakibtkan kecurangan yang berlebihan terhadap apapun yang datang dari barat, termasuk salah satunya demokrasi. Oleh karena itu dalam kelompok ini ada satu dogma atau jargon ynag terkenal: al-ghosh al-fukui, jadi perang pemikiran. Nah, isyu atau tema tentang pemikiran itu mengakibatkan kita menjadi dibatasi, sangat takut dan menahan diri untuk melakukan hubungan dengan barat. Khususnya dengan produk-produk pemikiranya. Dan karenaya demokrasi menjadi sesuatu yang tak bisa diterima karena itu dicurigai sebagai alat untuk menindas umat Islam. Kira-kira begitu. Inilah latar belakang pandangan/ pemikiran pertama. Selain itu ada latar belakang intern yang lebih berkutat dengan pemahaman teologi. Kalau tadi alasan politik dan sejarah, ini teologis. Di maan kelompok ini punya keyakinan atau mungkin juga kita, dalam pemahaman yang berbeda, bahwa Islam ya’lu wala yu’la alaihi. Islam itu tinggi dan tidak da pemikiran atau peradaban yang lebih tinggi dari Islam. Islam itu kaffah, sudah cukup menjadi jawaban atas berbagai pesoalan yang ada. Nah, pemahaman atas ke-kaffah-an atau susfisiensi Islam itu agak berbeda dengan kelompok lain. Misalnya kelompok satu mengatakan bahwa Islam itu kaffah, itu diartikan bahwa Islam itu telah menyediakan segala konsep, aturan. Segala konsep bagaimana manusia hidup dai muali pagi sampai tidur kembali. Itu sudah diatur dalam Islam. Saya itu waktu nyantri dulu masih terngiang-ngiang ucapan kiayi saya. Bagaimana nggak kaffah, beliau mengatakan Islam itu kaffah karena mengatur mulai dari hal sepele (ke wc, tidur, mandi, makan). Apalagi soal negara, ekonomi, wong kita mau masuk wc aja diatur oleh Islam. Nah, pemahaman seperti ini mengakibatkan kita tidak perlu lagi mengadopsi pemikiran-pemikiran dari luar. Karena dianggap Islam itu cukup memberikan jawaban di dunia dan akherat. Nah, pemahamanya demikian. Mengenai ketakwaan, masih interpretabl,masih ada ikhtilaf. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kekamilan Islam itu sendiri. kelompok tadi mengatakan seperti yang disinggung, bahwa sebenarnya ke-kaffah-an Islam itu semata-mata pada aspek moral dan etik saja. Jadi Islam itu hanay membeikan dasar-dasar, prinsip-prinsip yang utama dari aturan-aturan kehidupan ini. Jadi tidak emmberikan aturan yang detail. Misalnya saja soal bernegara. Di dalam ayat-ayat atau hadist-hadist itu hanya terdapat garis besaranya saja. Misalnya saja konsep Syura, keadilan, konsep pengangkatan dan penurunan pejabat atau pemimpin negara, bagaimana suatu keputusan diambil, bagaimana konsep teritorial dan lain-lain. Detil-detinya belum cukup. Nah, inilah kemudian yang mengakibatkan ada kelompok lain, yang tengah, seperti tadi tumbuh, kelompok mutawasittin. Yang mengatakan Islam itu kamal, benar. Tetapi pengertian tantang kesempurnaan Islam itu bukan berarti bahwa Islam telah menyediakan segala hal tentang kehidupan dunia dan akherat. Kalau akherat itu la roiba fihi, tapi tentang keduniawian, di dalam Islam tidak menyediakan seluruh aturan. Jadi hanay aturan-aturan yang besar saja. Nah, mengenai persoalan besar duania itu tugas kita (muslim) untuk melakukan ijtidah, kira-kira begitu.

Saudara-saudara sekalian, oleh karena itu, dalam kelompok moderat itu tadi mengatakan bahwa pemuka-pemuka Islam masih butuh sama yang lain. Jadi tidak mungkin bagi Islam untuk mengandalkan hanya kepada Al-qur’an dan hadist untuk mengatur kehidupan. Itu ternyata memang tidak cukup. Pertanyaanya kemudian adalah bukan persoalan benar atau tidak tapi mengapa. Mengapa di dalam Islam atau Al-qur’an itu yang telah melahirkan berbagai prinsip dasar yang sangat berharga itu ternyata tidak mampu dikembangkan menjadi konsep aplikable di dalam menjwab problem-problem kehidupan masyarakat. karena di dalam Islam selama ini tidak muncul situasi dan kondisi yang mendukung upaya pengembangan pemikiran Islam. Memang kondisi yang baik dan idela pernah dialami oelh Islam, kira-kira sejak Nabi Muhammad sampai kurang lebih abad 8-9 H. di mana di sana ada suasana yang bebas dalam melakukan pengembangan-pengembangan pemikiran keagamaaan melalui ijtihad. Tetapi. Semenjaka abad pertengahan hingga kini terjadi proses penutupan kembali. Jadi, pada jaman dulu Al-qur’an itu terbukan dikaji, diaji, ditafsiri, dikembangkan, dihubungkan dengan berbagai pemikiran yang datang dari maan-mana. Lalu muncul khasanah intelektual Islam yang sangat kaya. Oleh karena itu, pemikir-pemikir Islam sekarang tidak terdapat di dalam Islam. Tetapi pada masa lalu lahir yang namanya Madaribul arba’a, dalam konteks fikih ada Imam Syafi’i, Maliki, Hambali, Hanafi,dan sebagainya. pasca itu mandeg. Jadi tak ada pemikir-pemikir yang melebihi Madaribul arba’a . itu di dalam fikih. Didalam kancah teologis kita mengenal imam yang melahirkan firqoh-firqoh besar di dalam Islam. Di sana ada tokoh Sunni, Syi’i, Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, dan sebagainya. yang melahirkan pikiran-pikiran brilian tentang pandangan-pandangan teologis di dalam Islam. Di dalam ilmu-ilmu filsafat dan kedokteran kita mengenal Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Arabi, Ibnu Tufail, dan lain-lain. Tokoh-tokoh sekaliber itu sekarang tidak muncul lagi di dalam Islam karena Al-qur’an telah tertutup. Jadi dia hanya difungsikan menjadi bacaan setiap hari saja. Tetapi masyarakat yang membacanya tidak diberikan kebebasan untuk melakukan interpretasi, ijtihad terhadap ayat-ayat dan hadist yang kita miliki. Oleh karena itu saudara-saudara sekalian di dalam Islam tidak muncul konsep-konsep pemikiran yang aflikable seperti di barat. Sehingga dengan sangat terpaksa kita mengadopsi seluruh pemikiran yang muncul di barat. Tidak ada satu negara Islam satupun yang par-excellent, murni menjalankan/ menyelenggarakan kenegaraan berdasarkan konsep-konsep islami, tidak ada satupun itu. Ada memang negara-negara seperti Arab Saudi, Pakistan, yang mengadopsi hal-hal prinsip dari Islam, selebihnya adalah hasil impor dari barat. Ini kenyataan yang terjadi. Jadi ke-kamal-an, ke-kaffah-an, kesempurnaan Islam itu telah dirontokkan, didistorsi oleh umat Islam sendiri. karena kesempurnaan itu berhenti hanya sebagi bahan baku, tidak dikembangkan menjadi konsep-konsep yang bisa dipraktikan secara nyata. Ibaratnya kita ini orang yang tinggal di pinggir hutan dan punya bahan baku kayu yang banyak sekali. Dan kita hanya bisa menjual kayu gelondongan. Sementara orang barat yang tidak punya hutan mengambila kayu gelondongan dari kita, lalu mengolahnya menjadi produk yang kita paaki sehari-hari. Kita punya kayu jati, tapi kusen kita impor dari barat. Punya hutan tapi kursi kita impor dari Amerika. Inilah konsep tentang kekamalan Islam. Oleh karena itu yang menjadi tantangan berikutnya dalah generasi berikutnya. Kita punya kewajiban untuk melakukan pengolahan ayat-ayat Al-qur’an menjadi konsep-konsep yang lebih aplikatif sehingga kita tidak lagi meng-impor dari barat. Nah kira-kira ini sebutan untuk kelompok Mutawasittian. Nah sekarang ada lagi jawaban dari kelompok Mutathariqin, yang radikal kiri. Kalau tadi al-muthathariqin al-yamini, sekarang al-muthathariqin al-syimani, yang menyatakan bahwa Islam itu sama sekali beda dengan barat. Islam itu besar sekali perbedaanya dengan demokrasi. Menurutnya tidak emmpunyai persamaan apapun dengan konsep-konsep demokrasi. Oleh karena itu demokrasi akan rusak bila diintervensi oleh Islam. Karenanya kelompok ini mengatakan ya sudah kita nggak usah pakai Islam-islaman. Kita pake demokrasi apa adanya, tanpa kita memasukan sedikitpun unsur Islam di dalamnya. Karena Islam tak ada sama seklai hubungan, similaritas, kesamaanya dengan demokrasi. Oleh karenanya kita di dalam kenegaraan kita pake konsep-konsep demokrasi. Islam agama keyakinan kita tinggal, kita di dalam publik, agama kita tinggal di rumah. Ketika di luar kita dalam wilayah publik. Sebuah isme murni. Nah itu radikal kiri.

Sobat-sobat dan saudara sekalian yang saya hormati, saya kira sesuatu itu lebih afdhal apabila tengah-tengah. Karena biasanya kata orang tua yang tengah itu lebih enak dari pada yang pinggir. Jadi al-muthawasittin lebih afdhal dari al-muthathariqqin. Kalau ada yang berdebat dengan yang dua itu, ada yang tengah. Oleh akrena itu di dalam diskusi ini saya akan menawarkan konsep yang lebih sesuai dengan yang tengah tadi, yang muthawasittin. karena afdhalul amri bi wastiha. Jadi segala seuatau lebih afdhal kalau moderat, jika sedang-sedang saja, jika ada di tengah-tengah. .

Saudara-saudara sekalian sekarang muncul pertanyaan. Kalau kita memilih yang tengah, yang mengatakan ada similaritas, titik temu antara Islam dan demokrasi, kira-kira titik temunya pada aspek apa. Saudara sekalian, dalam artikel saya yang dibuat hanya dalam dua jam kemarin malam, jadi sangat tidak mencukupi. Saa menyindir satu pemikiran yang sederhana mengenai demokrasi. Demokrasi itu apa? Kira-kira gambaranya begini, demokrasi adalah sistem politik yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Dengan ada hak dari masyarakat untuk menentukan kehidupan kenegaraan. Mulai dari memilih pemimpin. Jadi yang mengangkat dan memberhentikan pemerintah itu rakyat. Selain itu yang menentukan keputusan-keputusan yang menjadi aturan-aturan kehidupan sehari-hari adalah rakyat dan bukan pemerintah. rakyat juga punya kebebasan untuk mengemukakan pendapat. Jadi tidak ada wewenang dari pemerintah untuk melakukan peolakan terhadapa kebebasan mengemukakan pendapat dari rakyatnya. Di dalam negara yang demokratis terdapat juga perlindungan terhadap hak-hak sipil/ civil right/ al-hukum al-madaniyah, hak memperoleh keamanan, perlindungan hukum, jiwa dan raga, kehidupan yang layak, memperoleh jaminan kehidupan layak, hak milik, lindungan keturunan, melindungi kebebasan berekspresi dan sebagainya. Nah, pada bentuknya kita menengal ada lembaga-lembaga demokrasi yang berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Jadi di sana ada pemilihan umum, ada sistim pemilihanya, termasuk pemilihan kepala RT, juga lembaga demokrasi. Di sana ada sistim kepartaian sebagai penyalur dari hak suara, hak politik masyarakat. di sana ada lembaga perwakilan DPR, DPRD kabupaten sampai pusat. Di sana ada pers yang selalu mengatur, memantau kehidupan kenegaraan masyarakat secara bebas dan independen. Di sana juga ada konsep trias politika, ada balance of power, ada perimbangan kekuasaan yang saling mengawasi antara penegak hukum, pembuat undang-undang dan pengawas pelaksanaan ini semua: Yudikatif. Nah kalau kita lihat pada aspek ini, sesungguhnya sama seklai tidak mempunyai pertentangan apapun dengan Islam. Karna apa, karena Islam juga mempunyai beberapa nilai mendasar, yang ternyata kalau kita komparasikan itu sama persis dengan apa yang ingin diperjuangkan demokrasi.

Saudara-saudara sekalian, di sini saya mengutip dua intelektual yang cukup berpengaruh di negera-negara Arab, bahkan dunia Islam: DR. Yusuf Qordowi dan seorang kolumnis Mesir, Fahmi Ghairu. Nah, kira-kira dua orang ini mengemukakan beberapa prinsip, negara menurut Islam itu bagaimana.

Yang pertama bahwa negara di dalam konsep Islam menempatkan undang-undang: gusnun alkonun,  di dalam supremasi yang tertinggi. Jadi prinsip-prinsip kenegaraan itu mengacu pada konsep undang-undang. Prinsip ini merupakan kritik atau penolakan terhadap sistem pemerintahan yang digunakan oleh raja-raja ketika Islam belum hadir: sistim kerajaan monarkhi yang absolut. Di mana yang paling tinggi bukan undang-undang tapi, kehendak dan kemauan raja-raja. Raja sama dengan undang-undang, undang-undangsama denganraja-raja. Oleh karena itu yang paling tinggi supremasinya adalah kemauan raja-raja. Nah, ini ditentang oleh Islam dengan mengatakan bahwa raja dan pemerintah bukan penlti segala-galanya, tetapi, dia memiliki hak dan kewenangan yang sama dengan warga negara yang lain. Selain itu saudara-saudara sekalian, aspek penting yang jadi prinsip penting di dalam negara Islam adalah yang mempunyai kekeuasaan mutlak: rakyat. Jadi rakyat adalah pemilik tunggal kedaulatan, rakyatlah yang menentukan siapa yang akan menjadi penguas, kapan ia diangkat dan diberhentikan. Rakyatlah yang memiliki kebijakan-kebijakan dan aturan yang seharusnya menajdi perjalanan sebuah negara. Oleh karena itu partisipasi rakyat menjadi prinsip yang sangat penting dalam negaa Islam. Partisipasi ini tidak hanya berwujud hak tetapi juga kewajiban. Waga negara di dalam Islam selain punya hak hukuf al-madani-nya, dia juga punya tanggung jawab yang harus diemban. Yang di dalam Islam disebut al-amru bi ma’ruf wa nahi anil munkar. Al ini tidak semata-mata usaha pemberantasan kemaksiatan. Tetapi kemaksiatan itu harus diatikan secara luas. Menyatakan tidak kepada penguasa-penguasa dzalim sama dengan amal ma’ruf nahi munkar, menentang kebijakan yang menyengsarakan rakyat, mengingatkan rakyat mengenai kecenderungan-kecederungan hedonisme (poya-poya, bersenang-senang dan lain-lain), materialisme, konsumtifisme. Amar ma’ruf nahi munkar juga tidak saja memberantas perjudian, pelacuran, dan narkoba, itu hanya salah satu aspek saja. Bahkan afdholu jihad kalam jahid anda sulthonu dzalim, jihad yang paling besar adalah mengemukakan kata-kata jujur di hadapan penguasa yang dzalim. Jadi keberanian untuk menyatakan kebenaran di depan pemimpin yang tidak demokratis adalah jihad, yang merupakan salah satu dari aspek amar ma’ruf nahi munkar.

Saudara-saudara sekalian, aspek lain yang dikemukakan Islam adalah hak sama bagi seluruh manusia, seluruh umat, al-musawah, persamaan. La fakru baina kowina wa kafi baina kabir wa shogir, baina mizan wal misan, prinsip Islam yang menyatakan tak ada perbedaan antara masyarakat kaya dan miskin, intelektual dengan awam, orang besar dan kecil, DPR dengan tukang becak, laki-laki dan perempuan. Hatta lafardo bainal muslim wa kafir, tak ada perbedaan hak-hak dalam kenegaraan antara orang muslim dan kafir, jadi prinsip-pinsip di dalam Islam al-musawah. Yang membedakan umat manusia hanya dalam ketakwaan. Ketika ternyata tukang becak lebih takwa dari yang duduk di senayan maka, kedudukan sang tukang becak lebih baik. Ketika ketakwaan sang mukmin lebih besar dari orang kafir maka, orang kafir itu lebih rendah dari muslim, demikian seterusnya. Selain itu saudara sekalian di dalam Islam juga mengacu kepada al-hukum al-insaniyah as-sittah, di dalam Islam melindungi hak-hak dasar kemanusiaan, yang diterangkan oleh Al-ghazali dalam maqosyidu tasyrik. Ajaran Islam itu diturunkan untuk melindungi enam dasar hak yang dimiliki manusia. kebebasan, al muhatodoh ala nas (perlindungan terhadap keberlangsungan regenerasi), al muhatodoh al nafs ( perlindungan terhadap keselamatan diri), al-muhatodoh ala akl (pelindungan terhadap akal pikiran), al muhatodoh alal maal (terhadap hak milik), al muhatodoh ala din (terhadap hak untuk beragama) dan al muhatodoh ala iradh (terhadap kehormatan). Nah sobat-sobat sekalian, penjabaran al muhatodoh alal umur al-sittah, perlindungan terhadap enam dasar hak-hak kemanusiaan itu sangat luas sekali. Dalam soal al muhatodoh alal maal, maka tidak konsekuensinya tidak dibenarkan penggusuran, tidak dibenarkan perebutan hak milik orang lain seperti yang dilakukan oleh negara. Tidak diperbolehkan perampasan hak rakyat oelh negara, pemerintah dan pengusaha serta siapapun. Tak ada hak bagi para koruptor untuk mengambil dengan memanipulasi harta yang dimiliki oleh rakyat dan sebagainya. ini semua akan terjadi apabila supremasi hukum ditegakkan. Oleh karena itu dalam Islam salah saru ciri kenegaran yang paling penting adalah supremasi hukum, penegakan undang-undang dan hukum. Demikian juga mengenai kebebasan di dalam perlindunganya terhadap akal pikiran. Selain Islam melarang meminum minuman keras, karena akan merusak akal, juga melarang pembatasan hak akan informasi yang akan membuat orang bodoh. Pembodohan adalah salah satu pelanggaran hak memelihara akal sehat. Oelh karena itu kebebasan mengemukakan pikiran, pers, informasi, merupakan sesuatu yang sangat diperintahkan dalam Islam. Karena itu sangat berkaitan dengan al muhatodoh alal akl. Nah, demikian seterusnya.

Sobat-sobat sekalian, kalau kita perhatikan uraian serba singkat ini. Maka akan ada satu kesimpulan yang dapat kita ambil: ternyata apa yang ingin diperjuangkan oelh gerakan demokrasi sama sebangun dengan apa yang dcita-citakan oleh Islam. Nah, masalahnya adalah ternyata similaritas/ keterkaitan tersebut pada saat ini baru pada prinsip yang mendasar. Sementara bangunan prinsip-prinsip yang mendasari ciri ini harus diwujudkan dalam bentuk nyata. Ini adalah tantangan yang sedang dihadapi oleh kalangan intelektual saat ini. Karena apa, karena kalau kita melakukan kajian terhadap pemikiran-pemikiran dahulu paling tidak yang terrepresentasi dalam fikih. Itu ada ketentuan yang tidak sesuai dengan asas persamaan ini. Misalnya begini, yang tidak beragama Islam berbeda dengan muslim, yang hak berpolitiknya lebih besar dan bebas. Tentang orang kafir atau non-muslim itu memperoleh lakum din la kull dinikum. Jadi din adalah warga negara yang statusnya dilindungi, sehingga dia tak memperoleh status politik kewarga negaraan yang sama dengan muslim. Ini adalah penafsiran fikih lama dan klasik. Selain itu muncul juga hak-hak di dalam kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Beberpapa bulan yang lalu kita masih ingat perdebatan bu Megawati itu sah atau tidak sebagai presiden, karena dalam fikih kalsik perempuan tidak mempunyai hak politik. Jadi hakim saja dipertentangkan, apalagi jadi presiden/ kepala negara. Selain itu dalam persoalan kebebasan kayakinan dan beragama, di dalam fikih klasik juga ada konsep yang namanya hadul fikoh. Jadi yang keluar Islam itu akan diancam dengan hukuman pancung. Padahal di dalam demokrasi hak masyarakat untuk meemluk agama apapun itu dijamin saudara-saudara sekalian. Di sini kita melihat ada tabrakan antara demokrasi dan kosep fikih klasik. Usaha yang dilakukan DR. Yusuf Qordowi salah satunya bukan untuk menyamakan antara demokrasi dan Islam. Tapi adalah ijtihad ketika umat Islam dihadapkan pada perkembangan terus-menerus dan bukan persoalan memperalat agama. Tapi mencari pemaknaan agama, yang nantinya akan menjadi jawaban trhadap persoalan yang terus bergulir. Sementara ayat-ayat kita tidak tanggung-tanggung setelah nabi wafat dan ayat-ayat yang ada di dalam Al-qur’an sudah berhenti penurunannya. Sehingga ketika tantangan kehidupan terus bergulir maka, yang harus dilakukan adalah melakukan tajdid di dalam menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an. Oleh karena itu kita tak perlu merasa curiga terhadap apa yang dialkukan Yusuf Qordowi dan tokoh-tokoh lain. Sebenarnya banyak sekali para ulama Islam yang mencari jalan keluar dari benturan antaar Islam dan demokrasi. Ada banyak sekali ikhtilafnya, perbedaanya. Tetapi saya mengambil Yusuf Qordowi sebagai representasi intelektual yang masih bisa diterima kredibilitasnya, oleh kaum radikal maupun konservatif sekalipun. Karena ia tokoh yang paling unik, yang oleh tokoh keadilan dinggap sebagi guru, master of main. Jadi saya mengemukakan pendapat beliau. Sebenarnya ada yang lebih radikal dari dia, tapi saya mengambil jalan tengah saja, al mutawasittin. Yusuf Qordowi memberikan gambaran yang cukup manarik. Misalnya dalam ketidak setaraan  antara laki-laki dan perempuan, kiayi atau ustad kita sering memaknai kata ar-rijalu kowamuna alan nisa dengan laki-laki kedudukanya lebih tinggi dari pada perempuan. Dimaknai sebagai ketentuan agama bahwa perempaun itu harus selalu dipimpin oleh laki-laki. Oleh karena itu yang sah memimpin itu kaum laki-laki, yang selalu di atas dan perempuan di bawah. Kira-kira begitu, sehingga muncul hukum istibat yang menyatakan bahwa perempuan itu tidak boleh menjadi pemimpin. Jangankan kapala negara, ketua RT saja tidak boleh. Menurut DR. Yusuf Qordowi ayat ini tidak tepat benar, tapi hanya mengatur pada aspek domestik rumah tangga. Jadi yang harus memegang kendali ituterbatas pada urusan umah tangga saja. Kalau ada kepala keluarga atau kepala RT perempuan itu tidak boleh menurut Islam, kira-kira begitu. (menurut ayat tadi) yang jadi kepala keluarga itu seharusnya bapak atau laki-laki. Sementara itu di luar perempuan boleh menjadi pemimpin. Ia boleh menjadi hakim, anggota DPR, tukang becak kalau kuat, boleh jadi presiden tertinggi menurutnya. Tetapi Yusuf Qordowi juga memberikan semacam batasan, bahwa supremasi universal itu harus di tangan laki-laki. Yaitu boleh saja ibu megawati menjadi presiden, tetapi mayoritas yang menjadi anggota DPR secara umum itu harus laki-laki. Karena apa, karena yang menentukan negara itu bukan seorang presiden tetapi parlemen. Supremasi umum kepemimpinan secara luas harus dipegang oleh laki-laki. Jadi konsep kepemimpinan laki-laki itu hanya pada aspek rumah tangga, yang paling kecil dan paling besar, hanya pada ujung kanan atau negara dan ujung kiri yaitu rumah tangga. Sementara yang lainya itu perempuan boleh saja memimpin, kira-kira begitu. Jadi ini teologi hiduplah.

Sobat-sobat sekalian ada juga al-mutaakhiru, yang lebih jauh dari beliau, yang menurut  kelompok ini perempuan punya hak yang sama dalam hal apapun, maksudnya dalam ranah politik, jadi yang sifat fungsionalnya berbeda. Jadi ini lebih radikal dari DR. Yusuf.

Mengenai persoalan kedua, persoalan ketidak samaan antara muslim dan non-muslim. Yusuf Qordowi mengatakan bahwa kaum non-muslim tidak punya hak-hak politik itu salah. Jadi itu berawal dari Islam (dahulu), di mana kaum non-muslim tak punya hak mendirikan partai, ikut pemilu, tak boleh mencalonkan sebagai pemimpin publik, pejabat negara, pemerintahan dan sebagainya.bukan itu, tetapi belum adanya gerakan poli, gerakan pembebasan, bahwa (dari dahulu) kepemimpinan itu selalu dipegang oleh kaum muslim. Jadi masih adalah batas-batas semacam itu secara umum.

Sobat-sobat sekalian, yang kita petik dari upaya yang dilakukan DR. Yusuf Qordowi adalah bukan pada persoalan pendapatnya yang ia berikan, tetapi pada semangatnya, bahwa sebetulnya fase atas ajaran agama itu tidak statis. Fase terhadap ajaran agama itu harus terus dikembangkan melalui ijtihad yang terus-menerus. Kaul-kaul yang dikemukkan oleh para ulamatidak harus menjadi aturan yang abadi. Tetapi karena kondisi berubah, maka kaul-kaul itu harus dilakuakn perubahan/ dirubah. Ibn taimi yamin al-Jauziyah mengatakan bahwa perlu dan memang syariat kita selalu mengacu kepada keadilan, kepada kemaslahatan, dan sesuai dengan konteksnya. Bahkan ia mengatakan bahwa hukum-hukum itu adalah (hanyalah) hasil ijtihad hukum para ulama fikih. Jika berbenturan dengan Maqosidus ahklak maslahatul aulia al-adalah, maka ia harus ditakwilkan kembali, reinterpretasi. Tapi ada al-jariyah juga yang mengatakan bahwa perkembangan kondisi masyarakat tidak harus diikuti dengan berkembangnya fatwa dan hukum penguasa. Unsur ini juga nampak pada susunan kabinet kita dan nampaknya bukan karena faktor beupa proses. Tetapi intinya adalah, bahwa bergesernya hukum itu sama proses politik berarti berubahnya illat. A takholul wahdah bi takhulil illah wujudatul adzamah.  “jadi hukum itu harus dirubah ketika konteks masyarakatnya berubah”.

Saudara-saudara sekalian, dalam khidupan yang mnjadi hampa oleh modernitas, menjadi problem atau tantangan tersendiribagi kita untuk selalu berupaya mencari pemikiran-pmikiran baru. Sehingga Islam itu tidak menjadi semacamorang lumpuh yang tidak bisa berbuat apa-apa. Oleh karena itu kita harus menjadikan Islam itu lebih super power, kalau misalnya kita sosoknya yang mencerahkan anggota-anggota tiap modernitas. Kira-kira begitu. Tetapi yang penting adalah ijtihad terus-menerus tiada henti dan itu adalah cita-cita kita berasama.

Saudara-saudara sekalian sudah terlalu panjang dan munkin anda bisa menggugat saya, memberikan tanggapan-tanggapan terhadap saya atau pertanyaan-petanyaan. Saya kira sebagaiprolog cukup sekian dan mohon maaf atas segala kekurangan dan kita lanjutkandengan diskusi. Wassalamu’alaikum wr. wb

Andi Syafrani: Terima kasih kepada beliau, temen-temen tadi telah dengarkan paparan tentang uraian bagaimana pendapatnya tentang konsep demokrasi dari hal-hal Islam sampai konsep tentang bebas teologis demokrasi yang plural. Yang mencoba mengadopsi konsep demokrasi dari barat. Bila tadi konsep Islam ada konsep-konsep atau paparan-paparan yang disatu pihak mencoba mengadopsi konsep/ paparan dari barat. Lain juga yang melakuakan penelitian terhadap berbagai praktek demokrasi yang berkembang di negara-negara Islam. Misalnya kita mendengar hasil dai penelitian Pos Katoli, Genoko  dan segala macamnya. Bahkan terakhir untuk konteks Indonesia, kita melihat penelitian yang dilakukan oleh Robert W Hafner. Yang mencoba menjelaskan problem kultural dan struktural yang berkaitan dengan konsep negara Islam dan demokrasidi berbagai negara Muslim. Bahkan dari para pemikir sampai kepada kesimpulan bahwa sebelumnya ada juga berbagai nilai seperti yang dijelaskan pembicara tadi. Yang itu inhern. Artinya ini suara asli berdasarkan sumbangan Al-qur’an dan Sunnah bahwa demokrasi itu ada. Dan bahkan kalau kita merujuk pada praktek kehidupan jaman Rasulullah sampai pada khalifah Harun al-Rasyid misalnya. Kita akan melihat bagaimana konsep negara yang demokrasi itu dipraktekan dalam Islam. Dan itu mengacu pada al-qur’an dan Sunnah.

Temen-temen sekalian, akan tetapi dari suasana demokrasi saya ingin juga mengungkapkan di sini bahwa berdasarkan indeks Freedom yang dibuat reed the pooh dari barat, ternyata dari berbagai negara muslim di dunia ini kira-kira yang mayoritasnya muslim, ini sedikit sekali yang tercatat sebagai negara demokrasi. Baru ada dua kira-kira Bangladesh  dan Mali. Dan itupun belum sepenuhnya demokratis menurut barat. Akan tetapi, kira-kira mendekati demokratis: secara prosedural dan substantif mengikuti dan sesuai dengan konsep demokrasi barat. Apalagi kalau kita tarik di sini Indonesia, berdasarkan indeks dinyatakan negara yang otoriter. Padahal Indonesia mayoritas penduduknya adalah Muslim. Yang kira-kira problem seperti ini adalah bagaimana kita mempertautkan Islam secara konseptual yang diterangkan mas Imdadun, sebenarnya memiliki nilai-nili atau substansi demokrasi, kita kaitkan dengan prosedural-prosedural demokrasi yang berkembang di barat. Pada kesempatan kali ini saya memberikan waktu kepada teman-teman untuk bertanya atau mengemukakan pendpatnya.Untuk termin pertama dua orang laki-laki dan dua untuk perempuan. Silakan. Sebelumnya sebutkan nama dan dari mana. Mungkin ada juga hal-hal yang ingin ditanyakan. Silakanjangan malu-malu kita semua sama di sini.

Assalamu’alaikum, nama saya Nuraedi dari Risfa (Remaja Islam Masjid Al-fajri): kalau di konteks makalah di sini bahwa menurut surat an-Nisa ayat 34, menguntungkan kepentingan laki-laki hanya dalam rumah tangga saja. Sedangkan di luar perempuan boleh menjadai seorang pemimpin hingga jadi seorang presiden. Sedangkan waktu Pemilu sebelum itu, pemilu 99. Itu sebagian ulama menentang kepemimpinan seorang perempuan. Yang ingin saya tanyakan kalau menurut pandangan bapak nara sumber itu bagaimana, berikut pada jamaah dan laporanya? Sedangkan rakyat PPP sudah menolak jelas-jelas bahwa pemilu 99 menolak kepemimpinan seorang perempuan. Dari Nu-pun menyatakan menolak. Tapi kok tau-tau sekarang menerima. Mungkin bapak nara sumber bisa menjelaskan. Hanya itu wassalam.

Andi Syafrani: waalaikumsalam, mungkin ada yang lain silakan. Dari keoompok lain.

Assalamu’alaikum wr wb. Nama saya Soleh dari RISFA. Saya hanya menanyakan termin Arab tentang konsep Islam itu bagaimana? Karena Islam adalah Rahmatan Lil’ Alamin, kemudian, akan tetapi pemerintahan yang berhasil itu tidak akan mempunyai kira-kira bagaimana. Karena menurut aline ke 3 dari text reding: demokrasi adalah hak dari rakyat untuk memilih pmerintah yang mengatur isi pemerintahan. Kalau di sini Al-Tasamuh. Islam telah mengajarkan dari Nabi Muhammada itu demokrasi. Itu hal-hal yang mendahulukan kpentingan ummat dari pada kepentingan pribadi maupun perorangan. Kemudian yang pertanyakan adalah bagaimana pemerintahan kita di Indonesia. Apakah semua penduduk menjalankan demokrasi yang Islami. Karena dari, jadi, ada partai politik dengan sistem multi partai, itu seakan-akan tidak ada yang jelas dari setiap partai. Memntingkan kepentinganya sendiri. Nah jadi, untuk konteks seharusnya bagaimana supaya konsep demokrasi bisa berjalan. Terima kasih Wassalamu’alaikum wr wb.

Andi Syafrani:  saya masih menunggu . mungkin dari rekan-rekan wanita ada yang ingin menyampaikan tanggapan kalau tidak ada sialkan dari putra.

Nama saya Ahmad Syukur dari RISFA. Sebelumnya saya terus terang saja, tema ini tujuannya apa? Hasilnya nanti untuk membentuk negara Islam demokratis atau bagaimana? Apaakh IAIN ingin membuka bahwa Islam itu menjungjung tinggi demokrasi? Artinya bahwa Islam itu betul-betuk mengjungjung tinggi keagamaan. Bahwasanya Islam itu menjungjung tinggi demokrasi. Apa tujuanya seperti itu? Ada yangb mengakui. Tapi kalau untuk kepentingan rakyat sepertinya mau berpihak kepaa demokrasi. Kalau tujuanya demikian, mungkin saya sendiri entah bagaimana. Pendapat nara sumber bagaimana? Kalau saya melihat ke sana. ini untuk memperkenalkan bahwasanya Islam sangat menjungjung tinggi demokrasi. Tapi, rasanya diri saya sendiri sulit (untuk mempraktekanya). Karena kita sendiri untuk ruang lingkup yang kecil kita sendiri tidak memiliki demokrasi. Kenapa saya berkata demikian. Itu menurut pendapat pribadi saya. Saya ambil (contoh) keluarga. Dari sekian juta umat Islam, itu Cuma seberapa persen yang menjungjung tinggi deemokrasi dari kehidupan keseharian. Jadi, sejauh mana umat Islam sendiri menerapkan demokrasi dalam lingkup yang kecil. Dalam rumah saya sendiri, belum dalam RT/RW, kelurahan, dst. Perlu pendekatan. Jadi saya juga tidak menyatakan tentang ini karena dalam konteks ini saya mau menanyakan nanti tujuan ini mau dibawa ke mana? kalau tema ini dibawa ke suatu rezim, rezim kanan atau rezim demokrasi. Saya menyatakan demikian, sedangkan kita sendiri umat Islam jangan lagi ngurusin hal kebesaran, hal kecil saja seperti kemenakan kita sndiri saja, kita ini belum apa-apa. Membuat kita, menjadikan kita, apa kita sudah mencicipi nilai demokrasi? Tapi, jangan-jangan ita ditawari berbicara tentang diri/ Islam, sementara kita (takut) terbawa-bawa kultur (barat). Itu saja.

Andi Syafrani: terima kasih mas Syukur, sudah ada 3 pertanyaan yang masuk, temen-temen sekalian dari termin pertama persoalan tentang konstelasi ekpemimpinan Megawati yang kita ikuti perkemabnaganya dari masa awal kemarin dan memang sekarang terlihat ada berbagai kontroversi yang sifatnya belum jelas. Sekarang bahkan untuk NU sendiri misalnya kalau saya tidak salah berbagai pandangan terjadi pada waktu Gusdur naik. Pada masa awal-awal itu mendukung kepemimpinan Megawati dan ketika Gusdur mulai dipojokan bahkan mau diturunkan, kalau tidak salah ada fatwa tidak mendukung kepemimpinan perempuan. Dan ini memang masih didiamkan begitu saja. Kita khawatir kalau kontroversi ini tidak selesai akibatnya akan panjang. Terus ada pertanyaan dari saudara Soleh, tentang bagaimana posisi pemerintahan kita sekarang. Pemerintahan kita ini sudah dikatagorikan pemerintahan demokatis dan juga islami atau bagaimana. Terakhi tadi disebut tujuan tema dari diskusi kita kali ini. Kalau saya sebut ini lebih mendasar, karena mencoba mangungkit kaitan antara realitas umat Islam dengan konsep demokrasi itu sendiri. baik langsung saja silakan pembicara.

Imdadun: terima kasih, ini pertanyaan penting dan berat-berat. Saudara sekalian mengenai perdebatan kepemimpinan perempuan sesunguhnya terjadi di mana-mana di dunia Islam. Bahkan tidak hanya di Islam saja. Pada kira-kira 100 tahun yang lalu itu di dunia barat muncul pertanyaan demikian. Apakah mungkin seorang perempuan menjadi pemimpin. Sesunguhnya bukan saja menjadi masalah Islam tetapi masalah kekuasaan, masalah siapa saja. Tetapi kebetulan kita mengalami dan slalu kalah star dari barat. Maka, ketika orang lain sudah mempunyai jawaban, kita masih berputar pada persoalan-persoalan pertanyaan. Jadi, belum ada jawaban memadai mengenai penetapan konsep perempuan menajdi pemimpin. Nah menjadi pedebatan tempo hari apakah kepemimpinan perempuan boleh atau tidak yang dipicu oleh adanya kesempatan lebih dari ibu Megawati yang kebetulan perempuan dan jadi Presiden. Dan itu mendorong masyarakat untuk melakukan penelitian terhadap ajaran agama, sebenernya itu boleh atau tidak. Proses mencari pengetahuan dengan hukum mengenai hampa karena ini sudah kita hadisi/ terdapat di dalam Islam. Di dalam khazanah keagaamaan kita. Kita sama saja dengan ketika dahulu. Ketika tahun 70-Anda ada program KB. Sebelum kita menerima program ini kita juga ada pertanyan pada ajaran kita mengenai hal ini, apakah (KB) itu boleh atau tidak. Nah kebetulan tempo hari kita dihadapkan pada suatu program baru yang mana kepemimpinan perempuan / Presiden. Maka, kita sebagi amsyarakat bertanya dahulu pad aajaran agama kita. Tapi, begini dengan logika menegnai perjuangan itu kita bisa melihat dari dua kelompok yang diangkat. Pertama perdebatan yang dilakukan keluarga besar umat Islam. Kongres umat Islam (KUI) yang diikuti oleh semua organisasi masyarakat, yang di dalamnya ya terdapat ikhtilaf aro (perbedaan pendapat). Namun, dalam kesimpulanya ada butir tentang prempuan haram menjadi Presiden. Itu KUI. Satu lagi dipegangi oleh beberapa partai, termasuk salah satunya adalah PDKP. Ia sampai sekarang masih memegang paham ek-haraman perempuan menjadi Presiden. Meskipun dalam PPP sendiri satu kata, ada perbedaan pendapat. Tetapi sebuah organisasi itu harus berjalan sesuai dengan kehendak mayoritas, maka sama, semuanya dala partai jadi mengatakan kepemimpinan permpuan itu haram. Selain KUI, NU juga melakukan semacam work shop/ halaqah yang membahas khusus tentang kepemimpinan seorang perempuan. Sama saja di sana juga terdapat ikhtilaf ulama terhadap ini. Terdapat berbagai pendapat mengenai kepemimpinan perempuan. Tetapi secara resmi memang yang muncul adalah kepemimpina pereempian itu tidak salah. Jadi Megawati menjadi Presiden itu boleh. Dan sejauh kajian saya terhadap keputusan ini ada kesamaan dengan yang dikemukakan oleh Insiko. Jadi bahwa sejauh kepemimpinan universal/ otoritas tertinggi sebuah negara tetep dipegang laki-laki maka, itu boleh. Jadi pendapatnya hampir sama dengan yang dikemukakanYusuf Qordowi. Ia seorang tokoh Ikhwanul Muslimin dan partai keadilan tetapi dalam hal ini NU sama dengan pendapatnya. Saya juga terkejut dengan ceritera Gusdur keti8ka dia bertemu dengan serombongan ulama dari Pakistan. Rombongan itu datang menemui Beliau sambil bertanya imana kita menajdi bangsa Pakistan jadi bangsa Abu Rajam. Gusdur kaget endosa apa katanya. Karena pemimpinya perempuan kata mereka. Saat itu Gusdur menjawab bahwa sejauh kepemimpinan supremasi suatu negara tertinggi tetp dipegang oleh laki-laki maka, tidak apa-apa. Terus Gusdur balik tanya  jumlah angota parlemen antar laki-laki dan perempuan besaran mana? kata mereka besar laki-laki. Kata Gusdur itu enggak apa-apa. lhamdulillah kta mereka, kiota enggak jadi bangsa pendosa. Kira-kira begitu saudara sekalian.

Memang di dalam menafsirkan Al-qur’an itu selalu saja terdapat ikhtilaf ulama yang satu. Satu ayat dan sama itu bisa diartikan berbeda-beda. Oleh karena itu di dalam hal sholat saja, dalil ayatnya kemudian hadistnya seperti yusollu kama roaitumu usolli. Hadistnya sama tetapi prakteknya berbeda-beda. Inilah nash itu, inilah ayat itu selalu terbuka ditafsiri. Jadi selain hukum kangdar itu terdapat juga Musyariqah. Di dalam Islam yang Musyariqah itu banyak sekali tafsirnya. Oleh karena itu melihat kenyataan di dalam soal kepemimpinan perempuan saja itu ada berbagai pendapat kita tidak perlu kaget. Tidak hanya soal tentang perempuan, soal beragama, cara berwudhlu berbeda-beda juga. Ada yang mengusap bagian-bagian wudhlu lebih dan ada yang hanya sekali saja. Ada yang nyampe pergelangan saja dan ada yang sampai sikut. Itu baru persoalan wudhlu, belum lagi pada persoalan yang lebih besar menyangkut pada hukum. Sudah terdapat ikhtilaf. Oleh karena itu sikap yang mutlak-mutlakan menurut saya tidak relevan. Selain soal-soal yang  muhkamat, soal sholat berapa rakaan itu sudah jelas ada ikhtilaf, tetapi bagaiman sholat itu dilakukan sulit terdapat ikhtilaf. Karena itu tidak usah kaget dengan adanay pluralisme mendatang. a’abadul aro fil Islam itu biasa-biasa saja. Perbedaan terhadap ajaran Islam apa saja entah itu hadist shahih atau tidak/ dhoif, ikhtilaful ummatti rammah. Kir-kira begitu. Jadi soal kepemimpinan perempuan dalam konteks ibu Megawati itu menurut saya tidak melanggengkan orang yang mempunyai anggapan bahwa ibu megawati itu menjadi Presiden harus mengakomodasi yang mengatakan ibu Megawati menjadi Presiden halal. Demikian sebaliknya yang mengatakan bu Megawati Presiden haram haru ditekan. Kita kembalikan kepada pertarungan yang berlangsung di dalam mekanisme demokrasi. Ya kalau yang memenagkan begitu besar, kita bertarung pada pemilu berikutnya. Tampilkan seorang tokoh laki-laki yang bisa diterima oleh mayoritas umat. Termasuk mayoritas yang masih menginginkan Bu Megawati, kita bertarung pada mekanisme demokrasi. Sehingga konsep demokrasi itu terlembagakan. Sehingga yang mengatakan halal itu tidak melakukan intimidasi terhadap yang menyatakan haram. Demikianjuga satgas PDIP tidak boleh melakukan pemaksaan kehendak terhadap kalangan satgas PPPyang menyatakan Bu Megawati haram menjadi Presiden. Apa iu namanya tidak sah menurut suatu agama. Karna masing-masing punya hak untuk melakuakn interpretasi terhadap ajaran agamanya. Jadi jangan bertentangan dengan mekanisme demokrasi. Mengenai pertanyaan bubng Soleh, saya sepakat dengan anda bahwa Islam itu indah dan demokrasi yang ideal itu juga indah. Yang kemudian menjadi poblem adalah keindahan Islam dan demokrasi itu telah dirusak oelh penganutnya sendiri. tadi diskusi panjang mengenai masalah hasanuh misalnya. Ini jelas dalam Islam itu dekemukakan. Islam itu rahmatan lil ‘alamin. Tetapi oleh penganutnya sendiri sering dikatakan bahwa Islam itu keras, kejam, sangar dan menakutkan, kalimat Islam menjadi hilang. Karena di dalam Islam selain terdapat ayat-ayat yang menempatkan ketegasan, kekerasan dan keteguhan keimanan, juga terdapat ayat-ayat yang menempatkan kerahmatan, kerahiman, ketasamuhan dan lain-lain. Kalangan muththarifhin, selai hanya mengambil aspek satu saja. Kalngan ini juga hanya mengambil satu ayat saja (di dalam berdalil) misalnya: ahsyid alau uhfar, rusami bainakum. Jadi yang diangkat dan dikemukakan hanya dari aspek itu saja, mengenai ayat, hadist dan ajaran yang lain yang berbeda tidak dikemukakan. Sehingga Islam muncul dalam wajah yang menakutkan. Demikian juga muthatharifhin al-yasari. Kalangan garis keras yang kiri, menyatakan ya Islam itu tasamuh terus-menerus, lalu hilang ketegasan, kehilangan integritas diri. Menurtu saya muthatharifhin keduanya tidk ideal. Kita harus jelasa menempatkan pemaknaan Islam yang seseungguhnya. Jadi tetap yang kita tampilkan aspek mengenai keindahan dari Islam. Islam menganut keseimbangan, at-tawazzun immi ubiyyun. Jadi Islam itu memiliki selalu dan berorientasi pada keseimbangan. Ada keras dan lunak, ada galak dan rahim. bahkanharta wajah Allah itu dikatakan dalam pemaknaan yang seimbang. Asma Allah yang 99 itu seimbang antar apa yang keras dan halus. Al qawiyyu, al mattin, ar-rahim sb. Jadi selalu seimbang. Oleh karena itu saudarasaudara sekalian, kita harus melakukan kajian terhadap Islam, sesungguhnya itu seperti apa? Itu sekaligus juga menjawab bung Ahmad. Bung Ahmad Syukur yang bertanya  apa tujaun diskusi ini, kira-kira begini. Saya bagi dalam intern dan ekstern. Nah internya, kita ini sedang dihadapkan pada persoalan-persoalan kemasyarakatan yang menumpuk, salah satunya adalah tantangan kenegaraan yang sekarang ini menuntut keseriusan umat Islam. Kalau pada tahun 70-an Islam itu selalu mengalami penurunan pemikiran, jadi kalau ada pejabat yang soleh itu tidak disukai dan susah sekali naik pangkat. Jadi dia dikelompokan ekstrim kanan oleh pemerintahan. Teapi setelah rezim mulai runtuh umat Islam mulai memperoleh pukulan amat besar, sehingga mau tidak mau kita harus terlibat dalam proses kenegaraan. Dan di dalam tatanan negara kita ini yang dianut secara besar-besaran adalah kekerasan. Oelh karena itu kita mencari jawaban-jawaban mengenai demokratisasi ini dari ajaran agama kita sendiri. sekaligus kita melakukan kajian sesungguhnya ajaran agama kita ini maunya apa. Karena apa saudara-sauadara sekalian, yang muncul akhir-akhir ini adalah kecenderungan Islam yang keras. Ini tidak bisa kita tekan, sehingga ini berkaitan dengan kepentingan ekstrim, yang mana kalangan dunia barat ada semacam problema ketakutan-ketakutan dan kecurigaan-kecurigaan atas umat Islam. Jadi kalu barat mendengar Islam dan arab, yang terbayang adalah terorisme, pedang, perang yang ganas dan sebagainya. sehingga yang muncul kemdian adalah penilaian yang tidaka dil terhadap Islam. Fenomena, gempuran terhadapAfghanistan itu salah satunya, disebabkan oleh pandangan yang tidak benar terhadap orang Islam. Nah ini harus kita netralisir dengan emnekankan bahwa Islam itu seimbang, keras dengan alim dan lembut. Oleh karena itu dalam konteks ini hubungan yang positip dan saling take and give antaar kita dan mereka harus segera kita lakukan. Agar umat Islam tidak selalu menjadi momok dan selalu dikritisi di mana-mana. kita perlu mengedepankan nilai-nilai yang sesungguhnya dari kita, agar kesalah pahaman tidak terjadi terus-menerus. Jadi kira-kira itu tujuanya.

Nah, mengenai pertanyaan bung Soleh tadi, kalau Islam dan demokrasi ini indah maka, Indonesia juga ikut indah. Saudara-saudara sekalian bahwa untuk menilai Indonesia apakah sudah demokratis atau tidak busa kita lihat dari dua aspek. Legal formalita sdan aspek kultural kebudayaan. Karena di dalam sebuah demokrasi di dalam menilai keberadaan demokrasi itu kita harus memperhatikan aspek- aspek legal institusional dan aspek kultural dan kebudayaan. Misalnya kalau kita menilai kelembagaan yang ada di negara kita, menilai pemilu yang kita lihat. Perlu kita syukuri yang man pemilu yang lalu lebih baik, tidak hanya satu taraf tetapi melimpat jauh, bisa dikatakan ada lompatan perbaikan. Bisa anda tanyakan kepada bapak/ ibu anda dan tetangga-tetangga anda yang lebih tua di daerah. Bagimana para pendukung nonpartai mendapat tekanan yang luar biasa, mereka tidak hanya didiskriminasi, bahkan penyiksaan-penyiksaan fisik terjadi di mana-mana. jadi dulu kalau anda misalkan dikenal pendukung PPP, itu ngurus KTP aja minta ampun susahnya, apalagi untuk naik pangkat. Bahkan kalau anda kebetulan keluarga yang menajdi pegawai negeri itu serba susah. Sudah gaji dipotong terus, kalu sholet dicurigai, kalau kritis itu paling susah, karena dituntut secara legal oleh pemerintah. maka. Kalau saudara yang dulunya akrab itu bisa jadi musuhan kalau pegawai negeri dahulu antara yang soleh dan penurut pemerintah. terjadi perceraian gara-gara pemaksaan partai sebelumnya, diskriminasi dalam kampanye dan lain-lain.  Itu masa lalu dan tidak usah diperpanjang. Tetapi intinya pemilui 99 itu lebih baik dari pada pemilu dahulu, meskipun di luar Jawa masih terdapat praktek-praktek yang terjadi sepeti dahulu. Di sana masih ada penyalah gunaan wewenang, sarana dan prasarana negara, money politic, tekanan-tekanan kepada dunia kepartaian dan lain-lain. Saudara-saudara sekalian dulu yang namanya PPP dan PDI itu hanya parati pelengkap. Hak-hak dan kebebasanya selalu diintervensi oleh pemrintah saat itu. Jadi susahlah pemimpin umat yang kritis terhadap pemerintahan waktu itu. Oleh karena itu yang muncul Husein Naro, Zaelani Naro yang lebig terikat pada Golkar sendiri. dari PDI muncul Suryadi, yang tak lain adalah kaki tanganya pemrintah. Jadi independensi parati tidak ada. Sekarang ini sudah mulai terbuka, seperti tokoh-tokoh kritis seperti Megawati bisa jadi ketua partai lalu bisa jadi Prsiden. Pada masa lalu sangat tidak mungkin seorang tokoh kultus dalam dunia kepartaian. Teta[i saudara sekalian yang masih jadi problema dari partai ke konstitusinya. Meskipun mereka sudah menentukan kepentingan sendiri. tetapi kemudian kepentingan sendiri partai itu berlebihan, akhirnya keepntingan rakyat terabaikan. Mereka tidak lagi seperti janji-janji pemilu yang lalu. Hubungannya dengan para pendukungnya ya sudah. La kalama wala salamah. Putus hubungan dengan nyamuk, kira-kira begitu. Sehingga yang muncul kemudian adalah partai politik sebagai sarana agregasi kepentingan masyarakat, sebagai mediator aspirasi masyarakat, itu tidak terjadi. Yang terjadi adalah perebutan kekuasaan di antara mereka sendiri. perebutan-perebutan kepentingan, ya bagaimana soal menaikan gaji, mendapatkan kredit mobil, mesin cuci dan sebagainya. jadi sekitar kepartaian berputar pada aspek itu. Hal yang sama juga ditunjukan oleh para wakil dan lembaga perwakilan kita. Saudara-saudara sekalain kita sangat terpukul ketika kita melihat masyarakat hidupnya ancur-ancuran sementara mereka/ para wakil rakyat memiliki anggaran untuk beli baju puluhan juta. Yang namnaya mesin cuci itu minta dibeliin. Yang namanya studi banding itu jalan-jalan. Kalau kita lihat perbandingan antara untuk angaran khususnya di DKI Jakarta atau kepentingan Legislatif dengan alokasi untuk masyarakat, itu gede untuk gubernur dan anggota DPRnya.Itu yang tak habis pikir kita. Kenapa pemimpin-pemimpin yang kita pilih demokratis dan bebasnya  masih menjadi kendala yang luar biasa. Oleh karena itu dalam amaklah saya saya sebutkan bahwa salah satu nilai dalam Islam adalah perlawanana terhadap otoritarianisme penguasa, siapapun pengausanya termasuk eksekutif dan anggota DPR. Nah, kalu saya rujuk kembali ayatnya supaya afdhal. Jadi Islam itu sangat menentang keras otoritarianisme dan ketidak bertanggung jawaban mereka terhadap rakyat. Wal ladzina kafaruu auliya uhum tholuthu ikhijuuna minan nuri ila dzulumati : mereka-mereka yang inkar, yang akfir, pemimpin mereka adalah para tiran yang kecenderunganyamengajak masyarakat dari cahaya inan nuri ila dzulumati ke alam kegelapan. Potret kepemimpinan kita itu kira-kira masih seperti itu. Dan orangorang, pemimpin yang thoghut itu masih masuk kategori kafir. Karena apa, karena mereka masih banyak yang tiran, menentukan seenak udelnya, menentukana nggaran untuk kepentingan sendiri dan mengabaikan kepentingan masyarakat. nah yang salah dalam konteks ini bukan saja pemimpinya, tetapi juga masyarakatny, akerna mendiamkan praktek-praktek demikian. Seperti firman Allah kira-kira bunyinya begini: kolu nussun robbi annahum assauni watthabau’ malan yazid humaluhu wawaladuhu ila khosaro;  nabi Nuh mengeluh pada Allah kira-kira begini terjemaahanya  ya Tuhanku umatku ini menentang saya dan cenderung mengikuti orang-orang yang tidak memberikan manfaat kepada mereka apapun, kecuali hanay kerugian jadi yang dikritik Allah tidak hanya pemimpin yang dzalim, tetapi juga masyarakat yang membiarkan kedzaliman pemimpinya. Itu mendapat kritikan dari Al-qur’Anda. Oleh karena itu masyarakat kita dimeja hijaukan oleh Allah, mengnai otoritarianisme yang amsih ada di negeri kita. Kita ikut bertanggung jawab, selain para wakil rakyat yang mementingkan kepentinganya sendiri. intinya saudara-saudara sekalian demokrasi kita masih jauh dari ideal. Oleh karena itu kalu kita mengatakan negara demokrasi itu tak baik apa buktinya. Buktinyanegar Indonesia aja masih begini. Padahal Indonesia itu demokrasi, sama saja menyalahkan umat islamnya karena miskin. Dan kalu begitu Islam jeelk dong. Kira-kira begitu, karena praktek idel dari demokrasi itu belum terjadi. Demikian juga dalam aspek budaya, karena kita ini orang jawa budayanya masih adigung adiguno sopo siri sopo eksum, jadi mengatakan yang paling besar, yang kuat adalah saya, kelompok saya, ideologi saya dan sebagainya. Oleh karena itu kita tidak punya toleransi yang cukup. Inilah yang kemudian menyebabkan orang Dayak saling bunuh dengan orang Madura.  Di Ambon orang kristen dan Islam saling bunuh, saling bacok di tempat lain juga dan sebagainya. dan ini terjadi juga pada arasy elit kita juga. Kalau di bawah bacok-bacokan di aats ledek-ledekan, saling caci-maki, menejlek-jelekan dan lain-lain. Nah budaya intoleran ini masih menajdi problem dari dalam. Oleh karena itu dalam kesempatan ini kita tekankan kembali bawa di dalam Islam terdapat aspek-aspek yang luhur, termasuk dalam budaya masyarakat yang disebut al-musawah dan al-tasamuh, wal- ukhuwah, solidaritas, toleransi dan kesetaraan. Nah aspek-aspek ini terpaksa hilang dari pemahaman keagamaan kita. Oleh karena itu kita harus bangkitkan kembali, gali kembali, kira-kira begitu saudara-saudara sekalian. Saya kira cukup.

Andi Syafrani: temen-temen sekalian tadi kalau kita mengeluarkan dalil yang cukup sesuai dengan kontek bahwa dipakai dalil oleh orang-orang yang menolak kepemimponan Presiden seorang perempuan, karena itu hadist ahad. Yang lebih sekuler begini tayamu minal qaumu akrojil walad: tidak akan sukses suatu pemerintahan apabila mereka mempercayakan kepemimpinanya pada seorang perempuan. Ini salah satu hadist yang dikategorikan ahad. Ini terlihat sekali bagaimana menolak perempuan sebagi pemimpin. Teman-teman sekalian memang hak baiat dan hukum sesungguhnya belum kita akui (laksanakan) sepenuhnya. Hanya sayang kita tidak punya kesempatan waktu. Tak terasa kita sudah dua jam di masjid ini.

Imdadun Rahmat: sebentar saya sedikit , ada yang menggelitik yang anda katakan tadi. ,mengnai hadist hasan tadi. Ada satu kaul yang kita takut telusuri kembali. Jadi kaul itu adalah, hadist iu konteksnya, asbabul wurudnya adalah muncuulnya seorang kaisar perempuan di Persia. Nah pada saat itu antara nabi dan Persia terjadi permusuhan, sehingga muncul hadist ini. jadi kalau negara yang dipimpin oleh seorang perempuan maka, hancurlah negeri itu maksudnya adalah imperium Persia. Jadi kaul ini mnegatakan bahwa hadist ini tidak relevan atau diperuntukan selama-lamanya. Itu hanay semacam pernyataan nabi untuk menghancurkan legitimasi dari kepemimpinan Persia pada saat umat Islam bersiap-siap untuk menyerang Persia. Jadi supaya lebih semangat nabi berpidati kira-kira begitu. Bahwa negara Persia yang dipimpin seorang wanita itu sebentar lagi akan hancur. Ada kaul yang menyatakan demikian tapi masih debatable (diperdebatkan), apakah ini dalil mengenaoi keharaman pemimpin perempauan atau bukan, kira-kira begitu temen-temen.

Andi Syafrani: temen-temen sekalian. Memang dalam melakukan interpretasi, kita diharuskan dalam konteks hal-hal yang kita lihat asbabul wurudnya dari hadist atau Al-qur’Anda. Saya juga ingin menambahkan bahwa umat dalam konteks tadi ditentukan dengan kata-kata lan bukan la.  Ya dalam kaidah atau pelurusan langgam lan itu adalah ambunya pada artinya akan salah kalau pakai la, itu hanya pada konteks hal. Nah ini terlepas dari konteks tadi, bahwa hadist itu memakai lan. Dalam terminologi Arab, biasanya selalu berarti menjawab. Juga ayat-ayat yang sering kita dengar sering dikutip: walau naroangkal yahudu alan nasoro la am laalhumaa, karena la ‘alahum dipakai lan yang diartikan selama-lamanya Yahudi dan Nasrani tak akan pernah mendasar karena didahului kata la maka berarti inkonsehatan.

Terima kasih temen-temen dan saudara-saudara sekalian ata partisipasi kehadiranya duduk bersama di masjid ini, saya atas nama moderator dan pembicara mewakili LS-ADI mengucapkan terima kasih kepada remaja masjid al-fajri dalam diskusi ini. terima kasih juga kepada bapak pembicara kita, bapak Imdadun Rahmat yang telah bersedia hadir bersama-sama kita ini. akhirul kalam wabillahi taufik walhidayah wassalamualikum warohmatullahi wabarokatuh.       

tentang LS-ADI  I  redaksi  I  dialog  I  jaringan  I  depan  I  


copyright@LS-ADIOnline 2002
Jl. Semanggi II No. 44 Gg. Kubur Cempaka Putih Ciputat 15412
Telp/ Faks. 021-9227463
informasi lebih lanjut hubungi
ls-adi@plasa.com